Achmad Soetjipto Rela Jadi Tumbal asal Satlak Prima Tak Bubar

oleh Zulfirdaus Harahap diperbarui 13 Okt 2017, 20:48 WIB
Ketua Satlak Prima, Achmad Soetjipto, mengaku lebih baik kehilangan jabatannya ketimbang harus melihat organisasi pimpinannya itu dibubarkan oleh pemerintah. (dok. Satlak Prima)

Bola.com, Jakarta - Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), Achmad Soetjipto, rela dijadikan tumbal kegagalan kontingen Indonesia di SEA Games 2017. Namun, Achmad Soetjipto meminta pemerintah tidak membubarkan organisasi pimpinannya tersebut.

Advertisement

Wacana pembubaran Satlak Prima mencuat setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla atas instruksi Presiden Joko Widodo ingin memangkas birokrasi di dunia olahraga. Namun, mencuat alasan lain pemerintah ingin membubarkan Satlak Prima yakni karena melesetnya target prestasi kontingen Indonesia di SEA Games 2017.

kontingen Indonesia hanya meraih 38 medali emas dari 55 medali emas yang ditargetkan. Namun, Achmad Soetjipto menilai lebih baik pemerintah mencopot dirinya dari jabatan ketua ketimbang harus membubarkan Satlak Prima.

"Jika kegagalan SEA Games Malaysia 2017 dijadikan alasan, saya sebagai komandan siap bertanggung jawab. Jangan Satlak Prima yang dibubarkan, akan tetapi saya saja yang diganti dengan orang yg dinilai lebih baik, lebih profesional dan lebih dedicated. Itu demi kemajuan olahraga Indonesia ke depan," kata Achmad Soetjipto di Jakarta, seperti dikutip dari rilis yang diterima Bola.com, Jumat (13/10/2017).

Menurut Pak Tjip, sapaan akrab Achmad Soetjipto, program Indonesia Emas adalah embrio dari suatu program pembinaan atlit elite untuk masa depan. Semua negara yang sukses telah memilikinya, tentu yang berkesesuaian dengan lingkungan budaya negara masing-masing.

"Tradisi ini harus dijalankan ke depan. Ganti saja nakhodanya jika gagal, bukan kapalnya yang dikaramkan. Akan sangat sulit bagi seorang pemimpin manakala sudah tidak dipercaya lagi," ucap mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Indonesia itu.

Keberadaan Satlak Prima sampai saat ini masih diakui pemerintah. Hal itu mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 15 tahun 2016 yang belum diganti atau direvisi.