Kupas Tuntas Sartono Anwar: Dari Gaya Melatih, Topi Pet, dan Kenangan Juara Perserikatan Bersama PSIS

oleh Abdi Satria diperbarui 05 Jun 2021, 15:00 WIB
Sartono Anwar, pelatih yang melegenda di PSIS Semarang. (Foto: Istimewa, Dok Bola.com)

Bola.com, Semarang - Kiprah Sartono Anwar sebagai pelatih tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang sepak bola Indonesia. Mulai berkarier sebagai pelatih usai pensiun sebagai pemain pada 1972, ia tetap berkomitmen pada profesinya itu sampai saat ini.

Pencapaian terbaiknya adalah membawa PSIS Semarang meraih trofi Perserikatan 1986/1987 dan menjadi bagian sukses Persibo Bojonegoro meraih gelar juara Divisi Utama (Liga 2) Liga Indonesia musim 2009/2010.

Advertisement

Di usianya yang sudah 74, ayah dari Nova Arianto (asisten pelatih timnas Indonesia) masih aktif membina pemain usia dini di SSB Tugu Muda yang berlatih di Stadion Diponegoro Semarang.

"Saya sangat mencintai sepak bola dan menjadikan bagian penting dalam kehidupan saya," ujar Sartono dalam channel Youtube Omah Balbalan.

Saat menangani sebuah tim, Sartono dikenal dengan gaya melatihnya yang keras, meledak-ledak dan tak jarang melontarkan kata-kata jorok untuk menegur serta memotivasi anak asuhannya.

"Terus terang, saya juga heran dengan para pemain. Mereka sudah saya maki dengan kata-kata pedas dan jorok tapi tetap mau menjalankan intruksi yang saya berikan," kata Sartono.

Sartono juga menekankan sikap disiplin kepada pemain asuhannya. Di antaranya semua pemain dilarang merokok, tidak boleh datang terlambat dalam latihan yang biasa digelar tiga kali dalam sehari. Kalau ada yang melanggar, Sartono sudah menyiapkan hukuman sesuai kesepakatan awal.

"Saya selalu bilang ke para pemain, kalau tim sukses itu buat mereka. Tapi, kalau gagal, saya yang paling bertanggungjawab."

Dengan karakter khasnya itu, selain PSIS dan Persibo, Sartono pernah menangani PS UMS Jakarta (Galatama), BPD Jateng (Galatama), Assyabaab Salim Group, Petrokimia Putra, Arseto Solo, Putra Samarinda, Persegi Gianyar, Persibas Banyu Mas , Persidikab (Kabupaten Kediri), Persikab Bandung, Persisam, Persak Kebumen dan Madiun Putera.

Di Timnas Indonesia, Sartono Anwar pernah menjadi asisten Wiel Coerver di Diklat Salatiga pada 1976-1978 dan Sinyo Aliandoe di periode 1982-1984.

Video

2 dari 3 halaman

Topi Pet

Tangan dingin Sartono Anwar menjadikan Madiun Putra FC belum terkalahkan pada penyisihan Grup 5 Liga 2. (Bola.com/Robby Firly)

Selain dikenal dengan karakter khasnya saat melatih, Sartono juga lekat dengan kebiasaannya memakai topi pet. Menurut Sartono, ia sudah memakai topi sejak menangani PSIS pada 1982. Uniknya, koleksi topi yang dimilikinya beragam warna.

"Warna topi pet saya sesuaikan dengan warna jersey kebanggaan tim yang saya tangani," ungkap Sartono.

Terkait topi pet ini, Sartono menyimpan kenangan tak terlupakan ketika membawa PSIS bertandang ke markas PSIM Yogyakarta. Topinya itu tertinggal di hotel tempat tim menginap. Ketika ia kembali untuk mengambilnya, pihak resepsionis hotel bilang sudah dibawa orang.

"Padahal topi itu favorit saya karena warnanya khas, biru langit."

3 dari 3 halaman

Kenangan Juara Bersama PSIS

Logo PSIS Semarang. (Bola.com/Dody Iryawan)

Meraih trofi juara Perserikatan musim 1986/1987 bersama PSIS Semarang jadi pencapaian terbaik Sartono yang kemudian menjadikan sosok legenda di tim kebanggaan warga Semarang itu.

Pasalnya, selain merupakan gelar pertama buat PSIS , materi tim Mahesa Jenar dinilai kalah pamor dari tim pesaingnya di kompetisi Perserikatan. Khususnya Persebaya Surabaya yang saat itu jadi kiblat sepak bola nasional.Sartono mengaku suksesnya itu tak lepas dari peran koleganya, Cornelis Soetadi yang melatih tim Pertamina Semarang.

Ada sejumlah pemain Pertamina yang menjadi pilar PSIS seperti Eryono Kasiha, Sudaryanto, Yance Freddy dan Yuli Setyabudi. Mereka dipadukan dengan pemain hasil kompetisi internal PSIS seperti Budi Wahyono, Ribut Waidi, Ahmad Muhariah dan Budiawan Hendratno.

"Saya juga beruntung memiliki materi pemain yang mau kerja keras dan disiplin menjalani program serta taktik yang saya berikan."

Seperti diketahui, PSIS akhirnya meraih trofi juara setelah mengalahkan Persebaya dengan skor 1-0 pada grandfinal yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, 11 Maret 1987.

Sayangnya, pada musim berikutnya, PSIS gagal melangkah ke babak enam besar akibat kasus sepak bola gajah. Persebaya Surabaya sengaja mengalah dari Persipura dengan skor 0-12 agar PSIS tersingkir dari persaingan menuju Senayan.

Selain membalas sakit hati dari kekalahan menyakitkan di Senayan, Persebaya juga tak bisa melupakan kenangan musim 1985/1986. Saat itu, Persebaya harus bermain di babak 6 Kecil atau zona degrasi menyusul kekalahan PSIS atas PSM Makassar dengan skor 0-1 di Stadion Diponegoro Semarang.

Dalam channel youtube Omah Balbalan, Sartono yang menjadi pelatih PSIS musim itu dengan tegas membantah timnya sengaja mengalah untuk menyingkirkan Persebaya.

"Demi Allah, itu murni gol bunuh diri. Saya tidak mungkin menyuruh pemain saya untuk melakukannya. Saya sangat mencintai sepak bola dan tidak mungkin menghianatinya dengan melakukan hal seperti itu," tegas Sartono.

Berita Terkait