Nostalgia Cabor Sepak Bola SEA Games 1987 dan 1991: Medali Emas Timnas Indonesia yang Tak Kunjung Terulang

oleh Rizki HidayatGregah Nurikhsani diperbarui 08 Apr 2022, 13:30 WIB
Kolase - Timnas Indonesia di SEA Games 1987 dan 1991 (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia berhasil meraih medali emas SEA Games 1987 dan 1991, namun hingga kini tak kunjung terulang. Lantas bisa kah Timnas Indonesia U-23 menyudahi kutukan tersebut dan meraih medali emas pada SEA Games 2021?

SEA Games 1987 dan 1991 memang selalu menjadi standar seberapa jauh Timnas Indonesia mampu melangkah. Sebab, dari 22 kali keikutsertaan tim sepak bola di ajang olahraga tertinggi Asia Tenggara tersebut, hanya dua kali Indonesia meraih medali emas.

Advertisement

Skuad Garuda pertama kali merebut medali emas SEA Games cabang olahraga sepak bola adalah pada 1987. Ketika itu, Timnas Indonesia menang 1-0 atas Malaysia pada laga final yang digelar di Stadion Utama Senayan, 20 September 1987.

Sukses tersebut terulang empat tahun berselang. Timnas Indonesia berhasil meraih medali emas SEA Games 1991. Berstatus underdog, anak asuh Anatoli Polosin tersebut mampu tampil mengejutkan dengan mengalahkan Thailand lewat drama adu penalti.

 

2 dari 7 halaman

Magis Ribut Waidi

Kolase - Ribut Waidi (Bola.com/Adreanus Titus)

PSIS Semarang 1987 menjadi jargon tersendiri bagi pencinta sepak bola Semarang, untuk menggambarkan sebuah tim sepak bola lokal yang ideal. Pada masa itu merupakan penampilan terbaik PSIS sepanjang berkiprah di kompetisi Perserikatan.

Magis Ribut Waidi di PSIS ternyata menjalar ke Timnas Indonesia. Ia dipanggil untuk mengikuti pemusatan latihan menjelang SEA Games 1987.

Ribut membuat Stadion Utama Gelora Bung Karno bergetar pada 20 September 1987. Ya, pada final sepak bola SEA Games 1987, Ribut memastikan kemenangan Timnas Indonesia atas Malaysia pada laga final.

Kala itu, stadion penuh sesak oleh suporter Tim Garuda. Jumlah penonton yang hadir kabarnya menembus 100 ribu orang.

Pertandingan melawan Malaysia itu berlangsung amat ketat. Kedudukan 0-0 bertahan selama 90 menit waktu normal. Ribut Waidi menjadi pahlawan lewat golnya pada menit ke-91. Penyerang kelahiran Pati, 5 Desember 1962, itu membuat SUGBK bergemuruh.

Medali emas 1987 merupakan yang pertama bagi Indonesia sejak SEA Games digelar 1959. Untuk pertama kalinya Indonesia meraih medali emas sekaligus menghentikan dominasi Thailand.

 

3 dari 7 halaman

The Boys of 1987

Bertje Matulapelwa (Istimewa)

The boys of 1987 (istilah ini mengacu pada panggilan spesial buat pemain dari pelatih Bertje Matulapelwa, red), meraih juara berkat gol dramatis Ribut Waidi pada menit ke-91. Ribut membuat Stadion Utama Senayan bergemuruh. Pasalnya, sejak SEA Games digelar 1959 (kala itu bernama Southeast Asian Peninsula Games), Indonesia belum pernah jadi juara.

Kemenangan pada laga puncak SEA Games 1987 juga menjadi ajang balas dendam. Pertama kalinya Indonesia meraih medali emas sekaligus menghentikan dominasi Thailand dan membenamkan negara tetangga, Malaysia.

Langkah Indonesia menuju partai final sebenarnya amat berliku. Pada fase penyisihan, Ricky Yakobi dkk. maju ke semifinal dengan status runner-up di bawah juara bertahan Thailand.

Saat penyisihan, kedua tim bermain imbang 0-0. Indonesia memastikan satu tempat di empat besar setelah meraih kemenangan 2-0 atas Brunei Darussalam.

Pada babak semifinal, Garuda bersua Burma (sekarang Myanmar) dan menang telak 4-1. Pada laga lain, Malaysia menghantam Thailand 2-0. Uniknya, Tim Harimau Malaya saat itu pun juga melaju ke semifinal dengan status runner-up Grup A.

"Kami melangkah ke SEA Games 1987 dengan percaya diri. Persaingan sangat ketat pada waktu itu. Ada keyakinan dalam diri kami untuk meraih juara," kata Rully Nere, salah satu gelandang senior yang sudah berpengalaman di SEA Games.

Menghadapi Malaysia pada laga final membuat pemain Timnas Indonesia sempat tak bisa tidur. Rivalitas kedua negara dan tuntutan meraih juara 'menghantui' para pemain. Namun, hal itu justru menjadikan mental mereka tangguh dan sukses melewati pertandingan melelahkan serta menang lewat gol pada menit akhir.

The boys of 1987 adalah pasukan pencetak sejarah yang penuh keunikan. Kata 'boys' selalu diucapkan Bertje Matulapelwa ketika memberikan instruksi kepada seluruh anggota tim. Seperti apa karakter pemain Timnas Indonesia pada era itu?

Laga final Timnas Indonesia melawan Malaysia pada SEA Games 1987, 20 September 1987 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. (Facebook Zona Memory Sepak Bola)

Ada pemain yang bergaya flamboyan, seperti Ricky Yacob dan Robby Darwis. Wajah mereka yang tampan ala Onky Alexander di film Catatan Si Boy yang meledak pada tahun yang sama, memikat para wanita untuk menonton langsung timnas di stadion atau menjadi penggemar sepak bola.

Herry Kiswanto, kapten skuat timnas pada Asian Games 1986, tampil sebagai juru bicara yang bertugas mengusulkan peninjauan uang saku dan bonus kepada PSSI. Herry belum naik gaji sejak masuk timnas pada 1979 hingga 1980.

Ada juga pemain yang 'bandel' dan tidak bisa diam, seperti Rully Nere. "Bang Rully yang paling tidak bisa diam, tapi dia memang jago. Lini tengah lawan bisa diacak-acak sama dia," kata Patar Tambunan, junior Rully Nere.

Dalam skuat 1987 juga ada dua pelawak. Menurut Patar, Ricky Yacob dan kiper Ponirin Meka suka membuat semua pemain terpingkal-pingkal. "Pokoknya kalau berdua itu sudah bercanda, ramai betul. Tapi kami walau serius juga tetap bercanda," ucapnya.

Malah, kata Patar, dalam pemusatan latihan, mereka pernah batal latihan gara-gara bermain air penyemprot rumput Stadion Utama Senayan.

Adakah sosok pemain yang ndeso? "Ribut (Almarhum Ribut Waidi) dan Budi (Budi Wahyono). Ribut itu waktu masuk timnas belum lancar bahasa Indonesia, Bicaranya medok. Saya bertanya pakai bahasa Indonesia, dia tetap jawab dengan bahasa Jawa, hasilnya ya tidak nyambung, tapi lucu," kata Patar.

"Wes, pokoke ndeso tenan." Kalimat ini diungkapkan Ribut Waidi saat bercerita pengalamannya di timnas, ketika bereuni dengan mantan pemain PSIS pada 2011.

 

4 dari 7 halaman

Si Kejam Anatoli Polosin

Anatoli Polosin dan asistennya Danurwindo saat menukangi Timnas Indonesia dalam persiapan SEA games 1991. (Bola.com/Dok. Pribadi)

Anatoli Fyodorich Polosin yang didatangkan PSSI buat kepentingan SEA Games 1991 memiliki kiblat sepak bola yang jelas. Sebagai orang Eropa Timur, Polosin lebih mengedepankan kekuatan fisik ketimbang sepak bola indah yang pernah diturunkan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, untuk Tim Garuda pada era 1970-an.

Saat masa persiapan menuju SEA Games, Polosin menempa fisik Raymond Hattu dkk. Selama tiga bulan, fisik seluruh pemain digenjot dengan materi latihan yang di luar batas kemampuan pemain kala itu. Pemain muntah-muntah dan kabur dari pemusatan latihan jadi hal yang lumrah.

Kala itu, Polosin menilai Timnas Indonesia tidak bisa berbicara banyak karena kondisi fisik yang tidak memadai. Oleh karena itu, ia tetap jalan terus dengan metode “Shadow Football” walau Satgas Pelatnas saat itu, Kuntadi Djajalana, mengaku sempat ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras.

“Polosin sempat melihat pertandingan Galatama sebelum memanggil pemain untuk pemusatan latihan. Ia pun bilang bahwa kami hanya kuat main di babak pertama saja kemudian menurun di babak kedua,” kata Sudirman.

Mantan pemain Timnas Indonesia, Sudirman, menghadiri acara diskusi Bincang Taktik di Kantor Bola.com, Jakarta, Rabu (16/11/2016). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Fisik para pemain Timnas Indonesia mengalami peningkatan drastis berkat gemblengan Polosin yang diketahui tidak cukup mahir bicara bahasa Indonesia selama melatih di Tanah Air.

Ia bisa membuat pemain berlari menempuh jarak 4 kilometer dalam waktu 15 menit. Standar VO2Max pemain pun sudah sesuai dengan pemain Eropa.

Kekuatan fisik yang meningkat drastis dijajal Polosin dengan mengikuti ajang Presiden Cup di Seoul. Namun, hasilnya mengenaskan karena Tim Garuda takluk dari klub Austria, China U-23, Mesir, Korea Selatan, dan Malta. Timnas Indonesia kebobolan 17 gol dan hanya memasukan satu gol.

Kegagalan dalam beberapa laga uji coba tak diambil pusing oleh Polosin. Timnas Indonesia tetap melangkah penuh keyakinan ke Manila demi merealisasi target meraih medali emas pertama saat bermain di negeri orang.

“Hasil uji coba nggak bagus karena Polosin juga tidak peduli. Sebabnya intensitas latihan tetap tinggi selama periode uji coba itu dan dia baru menurunkan intensitas jelang tampil di SEA Games. Dia sudah menghitung semua itu menurut cara dia,” kata Sudirman.

 

5 dari 7 halaman

Sampai Menangis

Timnas Indonesia di SEA Games 1991. (Bola.com/Repro)

Untuk mencapai kondisi kebugaran yang diinginkannya, Polosin meggembleng anak-asuhnya dengan sangat keras. Sesi latihan Timnas Indonesia digeber sehari tiga kali. Pagi, siang, dan sore.

Latihan pada siang hari yang dinilai berat. Para pemain dijemur di tengah hari bolong. Mereka diminta berlari keliling lapangan belasan kali. "Kalau lari sendirian sih enggak masalah. Kejadiannya tidak seperti itu, kami diminta lari dengan mengendong pemain lain. Capeknya luar biasa. Setiap selesai latihan pasti langsung para pemain tertidur pulas karena lelahnya," cerita Sudirman.

Selain secara tega menjemur pemainnya di bawah sinar matahari yang terik, Polosin juga doyan menyiksa para pemain Timnas Indonesia lari turun gunung bukit.

“Banyak keluhan, banyak suka, dan juga duka. Kami disiksa Polosin tanpa belas kasihan," kata Peri Sandria, striker Timnas Indonesia saat itu.

"Pemain menangis karena merasa enggak tahan jadi pemandangan rutin tiap harinya. Kalau sekarang mengingatnya bareng sesama pemain terkesan lucu. Tapi saat menjalaninya, diminta mengulang lagi saya enggak akan mau. Ampun deh. Kas Hartadi nangis meraung-raung saat diminta lari turun naik bukit. Dia bilang bal-balan opo iki kok pake naik gunung segala,” kata Sudirman.

Jaya Hartono dan Fakhri Husaini, menjadi pemain yang menyerah dan meninggalkan pelatnas akibat tak tahan menjalani latihan nakhoda asal Rusia tersebut. "Saya pribadi juga hampir menyerah. Siapa sih yang tahan disiksa dengan latihan maha berat setiap harinya," ujar Sudirman.

Lepas kebijakan tangan besi sang pelatih, Timnas Indonesia sukses mempersembahkan medali emas di SEA Games 1991, prestasi yang hingga saat ini belum bisa diulang lagi.

Timnas Indonesia tampil di SEA Games 1991 Filipina dengan memboyong 18 pemain. Dari 18 nama yang dibawa, ada 10 pemain muda yang memiliki masa depan cerah, mulai Sudirman, Rochy Putiray, Widodo Cahyono Putro, hingga Peri Sandria.

Pelatih Tim Garuda saat itu, Anatoli Fyodorich Polosin, memadukan pemain muda tersebut dengan beberapa pemain senior macam Robby Darwis, Hanafing, Eddy Harto, dan juga sang kapten, Ferril Raymond Hattu.

Kombinasi pemain junior dan senior itu terbukti berjalan baik. Di bawah tempaan keras Polosin, Timnas Indonesia tampil impresif di SEA Games edisi ke-16 tersebut.

Meski lebih mengandalkan permainan fisik ketimbang menerapkan gaya penampilan indah, Tim Garuda mampu tampil gemilang. Timnas Indonesia tak sekalipun menelan kekalahan, dan berhasil meraih medali emas SEA Games 1991.

 

6 dari 7 halaman

Young Guns

Kilas Balik Timnas Indonesia Juara Sea Games 1991 (Bola.com/Adreanus Titus)

Dari 18 pemain yang dibawa Anatoli Polosin ke Manila, lebih dari 10 pemain merupakan para pemain muda yang memiliki masa depan cerah. Sebut saja Sudirman, Rochy Putiray, Widodo Cahyono Putro hingga Peri Sandria.

Para anak muda ini dipadukan dengan beberapa pemain senior macam Robby Darwis, Hanafing, Eddy Harto, dan juga sang kapten, Ferril Raymond Hattu. Kombinasi pemain junior dan senior ini terbukti berjalan baik dengan bimbingan keras, Polosin.

“Pemain senior dan junior tidak ada jarak, kami sudah seperti keluarga. Saya pun saat itu sangat fokus ke timnas. Bahkan sampai anak saya lahir, saya tidak tahu karena sudah fokus ke sana (SEA Games). Waktu saya terima medali emas juga sempat menangis karena kerja keras saya tidak sia-sia,” kata Peri.

Satu nilai plus lain dari Polosin adalah ia tidak peduli dengan status pemain bintang di Timnas Indonesia. Hal itu pula yang membuat ia berani menepikan pemain sekelas, Ricky Yakob, yang tidak ia bawa ke Manila.

“Dia tidak butuh pemain dengan nama besar. Dia butuh pemain yang bekerja keras dan mau menjalankan program dia. Tidak ada yang mengeluh di tim walau kerap ada kejadian yang tidak menyenangkan,” ucap Sudirman.

Pria yang kini berusia 48 tahun ini pun bercerita saat ia bersama Herrie Setiawan, Robby Darwis, dan Peri Sandria baru pulang pukul lima pagi setelah keluar sejak malam hari saat Timnas Indonesia menggelar pemusatan latihan di Bandung.

“Namanya grup ini grup metal. Saat itu kebetulan manajer (IGK Manila) sedang senam pagi di luar hotel dan memergoki kami baru pulang jam 5 pagi. Kami dilaporkan ke Polosin tetapi pelatih cuek saja. Dia tidak peduli soal itu karena terpenting pemain tetap ikut latihan jam 7 pagi,” ucapnya seraya tertawa.

Mantan kapten Timnas Indonesia ini juga mengungkapkan sekelumit cerita yang mewarnai keberhasilan Tim Garuda meraih gelar kedua SEA Games di Manila tahun 1991. Saat adu penalti melawan Thailand, Polosin tidak mendampingi para pemain di pinggir lapangan.

Pelatih asal Uni Soviet (sekarang Rusia) itu memilih untuk berada di ruang ganti Timnas Indonesia saat berjalannya adu penalti. Praktis hanya Vladimir Urin dan Danurwindo menjadi pendamping Sudirman dan kawan-kawan.

“Dia tidak menonton kami saat adu penalti. Dia masuk ke dalam kamar ganti pemain karena tegang. Om Danurwindo yang memimpin tim walau lima penendang pertama sudah ditentukan oleh Polosin,” kata Sudirman menuturkan.

Begitu ada penalti memasuki fase sudden death karena tidak ada pemenang di antara Timnas Indonesia dan Thailand hingga penendang kelima, Sudirman akhirnya maju sebagai eksekutor penalti tambahan. Ia menjadi pengganti seniornya, Robby Darwis yang menolak mengambil tendangan 12 pas.

“Saat penendang keenam saya akhirnya yang maju karena Robby menolak dan tidak ada pemain lain yang berani. Biasanya Robby yang ambil untuk adu penalti karena dalam sesi latihan pun sering seperti itu,” ia menuturkan.

 

7 dari 7 halaman

Timnas Indonesia U-23 Akhiri Kutukan?

Timnas Indonesia - Ilustrasi Timnas Indonesia U-23 (Bola.com/Lamya Dinata/Adreanus Titus)

Pada SEA Games 2021, Timnas Indonesia U-23 ditargetkan untuk mengakhiri kutukan tersebut. Di bawah asuhan Shin Tae-yong, Tim Garuda Muda optimistis bisa meraih medali emas SEA Games yang perdana dalam 31 tahun terakhir.

Sebagai langkah awal, Timnas Indonesia U-23 tergabung di Grup A bersama tuan rumah Vietnam, Myanmar, Filipina, dan Timor Leste. Kepastian itu didapat melalui undian yang digelar di Hanoi, Rabu (6/4/2022).

Lawan yang dihadapi Timnas Indonesia U-23 memang sudah tidak asing. Mereka sudah saling bertemu di SEA Games, terutama sejak menggunakan skuad U-23 pada edisi 2001.

Pelatih Shin Tae-yong menyebut Vietnam sebagai kandidat kuat peraih medali emas SEA Games 2021. Namun, Timnas Indonesia U-23 tak gentar untuk bersaing demi meraih medali emas SEA Games edisi ke-31.

"Terkait pengundian SEA Games, memang ada Vietnam di sana dan mereka mungkin calon juara juga. Namun, kami akan berusaha maksimal untuk mencapai final," kata Shin Tae-yong.

"Memang jadwal pertandingan pertama pada 6 Mei 2022. Saya akan bicarakan dengan federasi agar kami bisa lebih cepat sampai di Vietnam tepat pada waktunya," tegasnya.

Berita Terkait