Bola.com, Jakarta - Scott McTominay tampak sepenuhnya menikmati kehidupan barunya di Napoli. Di dalam maupun di luar lapangan, ia menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi. Penampilannya lebih segar, senyumannya lebih cerah, rambutnya lebih berkilau.
Ia mengenakan seragam rancangan Armani, menyantap tomat lokal dan ikan segar, dan yang terpenting: ia dicintai.
Penampilan gemilangnya saat mencetak dua gol dalam kemenangan 3-0 atas Empoli, Senin dini hari WIB (16-4-2025), membuat media Italia tak segan melayangkan pujian setinggi langit.
Gazzetta dello Sport menyebut McTominay sebagai "Tuan Gelandang aka “Lord of the Midfield" dan bahkan menyarankan ia layak dikloning.
Corriere dello Sport menyebutnya sebagai "pembelian terbaik Serie A musim ini, sejauh ini", sementara Tuttosport menilainya "hampir sempurna".
Di Manchester United (MU), McTominay selama ini hanya dipandang sebagai pelapis, bukan bintang. Seolah hanya numpang lewat hingga pemain besar datang. Ia sering diremehkan.
Salah Profil
Namun, sekarang? McTominay menjadi starter hampir di setiap pertandingan Serie A sejak debutnya pada September lalu, dan mencetak delapan gol dari permainan terbuka — lebih banyak dari siapa pun di skuad MU musim ini.
Padahal, musim lalu, setiap gol yang ia cetak sangat menentukan: menyumbang 12 poin di Premier League dan menjadi kunci di perempat final dan semifinal Piala FA.
Namun di MU, ia malah lebih sering dimainkan sebagai gelandang bertahan oleh tiga manajer berbeda, meski sebenarnya ia adalah gelandang serang dengan kemampuan membaca ruang dan penyelesaian akhir yang luar biasa.
McTominay menyebut itu sebagai bentuk "salah profil" — kegagalan besar dalam aspek scouting dan pengembangan pemain.
Napoli, dengan sejarah dan dinamika kotanya yang penuh kontras, mirip kondisi MU saat ini: kota yang dipenuhi kejayaan masa lalu, tetapi terjebak dalam realitas hari ini. Bedanya, Napoli merayakan gairah dan kultus terhadap pemain, dan McTominay adalah sosok yang mudah dicintai dan memberi energi.
Tekanan Fisik dan Mental
McTominay kini bergabung dalam daftar panjang pemain MU yang menemukan kehidupan dan performa baru setelah keluar dari Old Trafford.
Dalam dua musim terakhir saja, nama-nama seperti Marcus Rashford, Alvaro Carreras, Aaron Wan-Bissaka, Hannibal Mejbri, Axel Tuanzebe, David de Gea, Anthony Elanga, Fred, Dean Henderson, Antony, Jadon Sancho, Anthony Martial, dan Donny van de Beek mengalami hal serupa — entah dengan status pinjaman atau pindah permanen.
Sebaliknya, pemain-pemain yang masih di MU justru terlihat makin terbebani secara fisik maupun mental.
Christian Eriksen kehilangan rambut, Rasmus Hojlund seperti dihantui mimpi buruk Roy Keane, Andre Onana seperti kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri, dan Mason Mount baru mencetak satu gol sejak pindah dari Chelsea.
"Persepsi dari luar sangat negatif," kata Eriksen kepada Sky Sports pekan ini.
"Sulit untuk menyaring semua itu, tapi tetap datang ke latihan dengan normal dan bahagia. Itu menguras energi."
"Apalagi di sini, dengan sorotan yang sangat besar, saat klub sedang dalam masa sulit, tekanan mentalnya jauh lebih besar," lanjutnya.
"Hal itu sangat berat, terutama bagi para pemain muda yang baru pertama kali mengalami tekanan semacam ini," katanya lagi.
Delusi Institusional
Tekanan mental inilah yang menjadi benang merah dari performa buruk dan kelelahan psikologis para pemain MU selama satu dekade terakhir.
Setiap rekrutan baru lambat laun akan "terinfeksi" hal yang sama — tenggelam dalam ekspektasi yang tak realistis dan rasa letih berkepanjangan.
Masalahnya: bagaimana klub bisa keluar dari siklus ini?
Ada harapan bahwa performa buruk bertahun-tahun akan menurunkan ekspektasi, tetapi bahkan pemilik klub masih percaya mereka bisa menjuarai Premier League pada 2028. Ini adalah bentuk delusi institusional — keyakinan yang sama sekali tak berpijak pada realitas.
Berhenti Menjadi MU
Komentar jujur pelatih Ruben Amorim soal "Manchester United terburuk dalam sejarah" mungkin terdengar kejam, tetapi juga menjadi gambaran seberapa jauh klub ini telah tersesat.
Apa yang dibutuhkan skuad ini bukanlah kecaman, melainkan dukungan, tujuan yang masuk akal, dan langkah-langkah nyata untuk membangun kembali kepercayaan diri serta identitas klub.
Lantaran apabila dilihat dari kesuksesan para pemain yang meninggalkan klub, masalah terbesar Setan Merah bukanlah pada kualitas individu, tetapi pada sistem dan lingkungan yang melumpuhkan potensi mereka.
Ironisnya, satu-satunya cara MU bisa menyembuhkan diri adalah dengan berhenti menjadi MU seperti yang mereka kenal selama ini — tetapi, justru itulah satu hal yang tidak bisa mereka lakukan. Makin jatuh, tekanan akan makin besar, dan siklusnya pun terus berlanjut.
Sumber: The I Paper