Mengapa Aturan Berpakaian di Wimbledon Begitu Ketat? Ini Alasan Tradisi hingga Kontroversinya

Mengapa aturan berpakaian di klub tenis Wimbledon begitu ketat. Simak sejarahnya.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 24 Juni 2025, 17:45 WIB
(Dari kiri) Santiago Gonzalez dari Meksiko dan Giuliana Olmos dari Meksiko yang berada di posisi kedua, serta pemenang Hsieh Su-wei dari Taiwan dan Jan Zielinski dari Polandia merayakan kemenangan dengan trofi mereka di akhir pertandingan tenis ganda campuran pada hari keempat belas Kejuaraan Wimbledon 2024 di The All England Lawn Tennis and Croquet Club di Wimbledon, London barat daya, pada 14 Juli 2024. (Ben Stansall/AFP)

Bola.com, Jakarta - Jika membandingkan empat turnamen Grand Slam tenis dunia, Wimbledon jelas punya karakter paling kuat dalam hal tradisi, dari lapangan rumput yang terus dipertahankan sejak abad ke-19, hingga aturan berpakaian yang sangat konservatif: serba putih.

Di tengah era ketika Australia Terbuka dan AS Terbuka lebih bebas mengekspresikan gaya pemain, Wimbledon tetap bersikukuh: putih adalah satu-satunya warna yang boleh dikenakan petenis saat berlaga.

Advertisement

Aturan ini bukan basa-basi. Seperti tertulis dalam pedoman resmi All England Club, 'setiap pemain harus mengenakan pakaian tenis yang pantas dan hampir seluruhnya berwarna putih, sejak pertama kali mereka memasuki area sekitar lapangan".


Asal Usul Aturan Serbaputih di Wimbledon

Selebrasi petenis Spanyol, Carlos Alcaraz setelah meraih poin saat menghadapi petenis Serbia, Novak Djokovic pada laga final tunggal putra turnamen tenis Grand Slam Wimbledon 2023 di All England Lawn and Tennis Club, London, Minggu (16/7/2023) malam WIB. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Bagi penonton awam, aturan ini mungkin terdengar kuno dan kaku. Namun, bagi penggemar tenis, itu bagian dari identitas Wimbledon.

Sejarahnya dimulai sejak abad ke-19, dan dipercaya lahir bukan sekadar karena putih lebih mampu memantulkan panas matahari, melainkan juga karena alasan sosial.

Dulu, bercak keringat pada pakaian dianggap tak sopan, terutama dalam olahraga seperti tenis yang dipandang elegan di era Victoria.

Warna putih dipercaya menyamarkan keringat, sekaligus menandakan status sosial tinggi. Hanya kalangan elite yang bisa mencuci pakaian putih secara rutin dan menjaga tampilannya tetap bersih.

Dengan kata lain, aturan ini bukan cuma soal estetika atau kenyamanan, tetapi juga mencerminkan nilai sosial dan, dalam pandangan kritis, aroma snobisme. Seiring waktu, aturan ini memang mengalami perubahan, tetapi satu hal tak berubah: semua pemain wajib mengenakan putih di Wimbledon.


Makin Ketat Seiring Waktu

Petenis Spanyol, Rafael Nadal, merayakan kemenangan melawan Francisco Cerundolo dari Argentina pada putaran pertama Wimbledon 2022 di Centre Court, London barat daya, Selasa, 28 Juni. (foto: Glyn KIRK/AFP)

Alih-alih menjadi lebih longgar, Wimbledon justru memperketat aturan ini dalam beberapa dekade terakhir. Pada 2014, tahun ketika Novak Djokovic meraih gelar Wimbledon keduanya, panitia memperkenalkan aturan baru: pakaian dalam yang terlihat pun harus berwarna putih.

"Standar kepantasan harus dijaga setiap saat," kata pihak penyelenggara saat itu, menegaskan bahwa aturan ini tak bisa ditawar.

Namun, pada 2022, tekanan datang dari sejumlah legenda tenis wanita, termasuk Billie Jean King. Mereka menyuarakan keresahan sebagian besar petenis perempuan yang merasa tidak nyaman harus memakai serbaputih saat bertanding dalam masa menstruasi.

Wimbledon akhirnya melunak: pemain perempuan kini diperbolehkan mengenakan celana pendek dalam berwarna gelap.


Roger Federer Pun Pernah Ditegur

Petenis Swiss, Roger Federer, melakukan selebrasi usai mengalahkan petenis Kroasia, Marin Cilic, pada laga final Wimbledon 2017 di London, Minggu (16/7/2017). Federer menang 6-3, 6-1, 6-4 atas Cilic. (AP/Alastair Grant)

Sejumlah pemain memang pernah bersinggungan dengan aturan ketat ini. Andre Agassi, misalnya, pernah memboikot Wimbledon dari 1988 hingga 1990 karena tak setuju dengan aturan busana.

Agassi dikenal dengan gaya nyentrik: baju pink, bahkan celana denim saat berlaga di AS Terbuka. Namun, di Wimbledon, gaya seperti itu dianggap tak pantas.

Bahkan Roger Federer, ikon Wimbledon dengan delapan gelar juara dan selalu tampil anggun dalam balutan putih, tak luput dari teguran. Ia pernah ditegur karena memakai sepatu Nike berwarna putih dengan sol berwarna oranye. Ya, hanya karena warna sol sepatu.


Kebijakan yang Berakar pada Citra dan Eksklusivitas

Petenis Tunisia, Ons Jabeur, merayakan kemenangan atas petenis Kanada, Bianca Andreescu pada hari keenam tunggal putri turnamen Wimbledon 2023 yang berlangsung di The All England Tennis Club, London, 8 Juli 2023. (AP Photo/Alastair Grant)

Wimbledon memang dikenal sebagai turnamen yang menjaga citra eksklusif. Pakaian serbaputih yang kontras dengan hijaunya lapangan rumput memberikan kesan bersih, rapi, dan klasik.

Tak heran Wimbledon menggunakan aturan berpakaian ini sebagai bagian dari brand mereka, berbeda dengan Grand Slam lain yang lebih fleksibel dan modern.

Namun, mengikuti aturan pun tak selalu membuat pemain aman dari teguran. Pada 1985, Anne White datang dengan pakaian catsuit putih ketat yang menutup seluruh tubuh.

Kendati warnanya sesuai aturan, desainnya dianggap terlalu mencolok, dan pihak penyelenggara memintanya untuk tak pernah mengenakan pakaian serupa lagi.

Satu hal jadi jelas: Wimbledon bukan sekadar turnamen tenis, melainkan juga panggung konservatisme dalam olahraga, dan dalam hal aturan berpakaian, Wimbledon tetap jadi yang paling ketat di dunia.

 

Sumber: Give Me Sport