Bukan Cuma Angka, Menelisik Tekanan Mental di Balik Harga Fantastis Pemain

Tekanan harga. Mengapa transfer mahal bisa jadi bumerang bagi pemain.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 02 Juli 2025, 07:15 WIB
Florian Wirtz, pemain Liverpool mulai musim 2025/26. (@LFC)

Bola.com, Jakarta - Dalam dunia sepak bola modern, nilai transfer pemain tidak hanya mencerminkan kualitas di atas lapangan, tetapi juga menghadirkan tekanan mental yang tak kasat mata.

Ketika seorang pemain dibeli dengan harga selangit, misalnya 100 juta paun (sekitar Rp2,2 triliun), angka tersebut tak lagi hanya menjadi urusan administrasi klub, tetapi berubah menjadi beban psikologis yang terus mengiringi langkah si pemain di lapangan dan luar lapangan.

Advertisement

Menurut ahli psikologi performa olahraga, Dr. Mustafa Sarkar, tekanan ini dikenal sebagai "evaluation apprehension", sebuah kondisi di mana seseorang terlalu menyadari bahwa dirinya sedang dinilai berdasarkan ekspektasi yang dibentuk dari harga transfernya.

"Pemain merasa harus membuktikan nilainya sejak hari pertama, dan itu bisa berujung pada kecemasan, overthinking, bahkan penurunan performa," jelas Sarkar.

Dalam praktiknya, hal ini sering terlihat di pertandingan. Penyerang mahal bisa memaksa diri melakukan tembakan dari sudut sempit demi gol spektakuler, alih-alih mengoper ke rekan yang lebih bebas.

Bek yang dibeli dengan harga tinggi bisa memilih tekel berisiko ketimbang menjaga posisi, hanya demi menunjukkan keberaniannya.


Tekanan Media Memperkeruh Keadaan

Pemain Manchester City, Jack Grealish, tertunduk lesu setelah laga Crystal Palace dalam duel pekan ke-17 Liga Inggris 2023/2024 di Stadion Etihad, Sabtu (16/12/2023). Kali ini dua gol Man City dicetak oleh Jack Grealish (24') dan Rico Lewis (54'). Palace membalas di babak kedua melalui aksi Jean-Philippe Mateta (76') dan penalti Michael Olise (90+5'). (AP Photo/Dave Thompson)

Tekanan tersebut tak berhenti di kepala pemain. Media dan publik juga ikut mengadili setiap langkah mereka.

"Kalau saya dibeli seharga 20 juta paun, saya bisa tampil buruk dan orang-orang tak akan banyak bicara. Tapi, karena 100 juta paun, semua jadi perhatian," kata Jack Grealish, pemain Manchester City yang memecahkan rekor transfer Inggris pada 2021.

Pada awalnya, Grealish menyebut harga itu sebagai kehormatan. Namun, setahun kemudian, ia mengakui bahwa sorotan media dan ekspektasi publik sangat memengaruhi mentalnya.

"Itu memotivasi, tapi sekaligus menyulitkan," ungkapnya.


Tak Semua Terpuruk, Mental Tangguh Jadi Pembeda

Cristiano Ronaldo. Striker Manchester United asal Portugal ini hingga kini tercatat sebagai pemain aktif yang paling sering membobol gawang Barcelona. Total ia mencetak 20 gol dan 3 assist ke gawang Barcelona bersama 2 klub berbeda, yaitu Real Madrid dan Juventus dalam 34 laga. Hanya bersama MU ia gagal mencetak satu gol pun ke gawang Barcelona dari total 3 laga di Liga Champions musim 2007/2008 dan 2008/2009. (AFP/Update Image Press/Isabella Bonotto)

Meski begitu, tak semua pemain tumbang di bawah beban tersebut. Beberapa justru menjadikannya bahan bakar untuk tampil lebih baik.

Cristiano Ronaldo, misalnya, pernah mengatakan usai kepindahannya ke Real Madrid: "Kalau mereka membayar sebesar itu untuk satu pemain, berarti saya pantas mendapatkannya."

Para pemain seperti Ronaldo atau Kevin De Bruyne mempraktikkan strategi psikologis seperti "compartmentalization", yaitu memisahkan ekspektasi eksternal dengan standar pribadi.

"Saya tidak bisa mengontrol apa yang orang pikirkan soal harga transfer saya. Yang bisa saya kontrol adalah persiapan, sikap, dan usaha saya," ujar De Bruyne.


Peran Klub dan Adaptasi Sosial

Liverpool menutup laga pamungkas Liga Premier Inggris musim 2024/2025 dengan hasil imbang 1-1 saat melawan Crystal Palace. (Paul ELLIS/AFP)

Keberhasilan menghadapi tekanan juga bergantung pada dukungan internal klub. Klub-klub seperti Liverpool dan Manchester City telah berinvestasi pada departemen psikologi olahraga untuk memastikan keseimbangan mental pemain tetap terjaga.

Faktor nonteknis pun turut berperan. Pemain yang pindah ke luar negeri sering kali harus beradaptasi dengan bahasa, budaya, hingga gaya bermain baru.

Sebuah studi menyebutkan bahwa pemain yang tetap dalam liga yang sama biasanya lebih cepat beradaptasi dibanding mereka yang pindah antarnegara, terlepas dari besarnya nilai transfer.


Dari Lapangan ke Kehidupan

Pelatih legendaris Setan Merah, Sir Alex Ferguson, tampak tersenyum melihat Manchester United sukses melaju ke final Liga Europa 2024/2025 usai mengandaskan Athletic Bilbao dalam laga leg kedua semifinal yang dihelat di Old Trafford, Jumat (9/5/2025) dini hari WIB. (AFP/Oli Scarff)

Tekanan akibat harga mahal bukan hanya milik para pesepak bola elite. Dalam skala berbeda, siapa pun yang merasa harus membuktikan diri, di tempat kerja, sekolah, atau komunitas, menghadapi tantangan serupa.

"Tekanan adalah bagian dari hidup," kata Sir Alex Ferguson, eks manajer legendaris Manchester United.

"Kalau Anda ingin sukses di sepak bola, Anda harus belajar menghadapinya," imbuhnya.

Bagi para pemain yang terbiasa dinilai dengan angka, kemampuan mengubah tekanan menjadi motivasi adalah kunci.

Harga mahal mungkin mengantarkan mereka ke panggung utama, tetapi yang menentukan adalah bagaimana mereka bertahan di sana, dengan kepala dingin dan hati yang kuat.

 

Sumber: The 1v1 Project