Aturan Kepemilikan Multi-klub Jadi Sorotan usai UEFA Jatuhkan Sanksi Berat

Membedah aturan kepemilikan multi-klub (MCO) yang menimbulkan perdebatan.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 27 Agustus 2025, 13:45 WIB
Para pemain Crystal Palace merayakan gelar juara setelah mengalahkan Manchester City dalam laga final Piala FA yang berlangsung di Stadion Wembley, London, Inggris, Sabtu (17/05/2025). (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)

Bola.com, Jakarta - UEFA kembali berada di bawah tekanan setelah sejumlah klub tersingkir dari kompetisi Eropa musim panas ini akibat pelanggaran aturan kepemilikan multi-klub (multi-club ownership/MCO).

Kasus Crystal Palace menjadi yang paling mencuat, tetapi bukan satu-satunya.

Advertisement

Palace, yang seharusnya tampil di Liga Europa, justru diturunkan ke Conference karena saham mayoritas klub saat itu masih dipegang John Textor, yang juga memiliki kendali atas Olympique Lyon, klub di Ligue 1.

Kedua tim sama-sama lolos ke Liga Europa, dan aturan UEFA melarang dua klub dengan pemilik berpengaruh sama tampil dalam satu ajang.

Palace akhirnya memulai kiprahnya di Conference League dengan kemenangan 1-0 atas Fredrikstad di babak play-off.


Diskusi Serius di Level Eksekutif UEFA

Bendera UEFA dipajang di tribune saat penonton menunggu dimulainya pertandingan sepak bola Grup A UEFA Euro 2024 antara Skotlandia dan Swiss di Stadion Cologne di Cologne pada 19 Juni 2024. (Kirill KUDRYAVTSEV/AFP)

Buntut kasus ini, sejumlah klub kecil yang berada dalam jaringan multi-klub mendesak UEFA menunda batas waktu 1 Maret untuk menunjukkan kepatuhan. Mereka menilai tenggat tersebut tidak realistis karena perubahan aturan tahun lalu yang memajukan deadline dari 1 Juni.

Palace merasa dirugikan lantaran baru memastikan tiket Eropa usai menjuarai Piala FA di Mei, jauh setelah batas kepatuhan yang ditentukan.

Namun, argumen itu ditolak Badan Kontrol Keuangan Klub UEFA dan dikuatkan oleh Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS).

Tidak hanya Palace, klub asal Irlandia, Drogheda United, dan tim Slovakia, Dunajska Streda, juga dipaksa angkat kaki dari Eropa karena persoalan serupa.

Kondisi ini memicu diskusi serius di level eksekutif UEFA mengenai perlunya revisi regulasi, meski belum jelas seperti apa solusinya.

Isu tersebut dijadwalkan masuk agenda rapat Komite Eksekutif UEFA di Tirana bulan depan.

"UEFA mengubah tenggat karena 1 Juni terlalu dekat dengan kualifikasi. Tetapi. menuntut klub mengubah struktur kepemilikan di tengah musim, hanya dengan kemungkinan lolos ke Eropa, terasa tidak proporsional," sumber internal menyebut.


Kepemilikan Multi-Klub Terus Berkembang

Manajer Nottingham Forest asal Portugal, Nuno Espirito Santo (tengah), berbicara dengan gelandang Leicester City asal Inggris #22, Oliver Skipp (kiri), dan pemilik Nottingham Forest asal Yunani, Evangelos Marinakis (kanan), di akhir pertandingan Liga Primer Inggris antara Nottingham Forest dan Leicester City di The City Ground di Nottingham, Inggris bagian tengah, pada 11 Mei 2025. Nottingham Forest dan Leicester City menyamakan kedudukan 2-2. (JUSTIN TALLIS/AFP)

Ironisnya, Nottingham Forest justru diuntungkan. Klub Premier League itu naik kasta ke Liga Europa menggantikan Palace.

Pemilik mereka, Evangelos Marinakis, bahkan sempat menaruh saham Forest dalam blind trust agar tidak bertabrakan dengan Olympiakos jika keduanya masuk Liga Champions. Langkah itu ternyata tak diperlukan karena Forest hanya finis ketujuh dan awalnya mengantongi tiket ke Conference League.

Namun, efektivitas blind trust dipertanyakan. Beberapa pihak meragukan jarak yang benar-benar tercipta antara pemilik dan klub.

Contohnya, Marinakis terlihat tetap aktif di Forest, bahkan sempat turun ke lapangan dan berkonfrontasi dengan pelatih Nuno Espírito Santo setelah laga kontra Leicester.

Terlepas dari polemik, fenomena kepemilikan multi-klub justru terus berkembang.

Burnley melalui Velocity Sport Limited membeli saham minoritas di Espanyol, sementara Fenway Sports Group sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa klub Spanyol untuk menambah jaringan bersama Liverpool.


Investor Lebih Berhati-hati

Para pemain Espanyol berpose sebelum laga melawan barcelona di lanjutan La Liga 2024-2025 pada 15 Mei 2025. (AP Photo/Jose Breton)

Meski begitu, pola baru juga mulai muncul. CEO Estrella Football Group, Xander Czaikowski, menilai investor kini lebih berhati-hati.

"Industri ini bergerak menuju kerangka yang lebih profesional dan aturan keterlibatan yang lebih jelas," ujarnya.

Estrella memilih investasi minoritas di 10–20 klub kecil dengan model non-hierarkis, berbagi platform manajemen digital, dan tidak mengutamakan satu klub di atas yang lain.

Namun, resistensi tetap ada. Kelompok suporter Racing Strasbourg, Ultra Boys 90, menegaskan akan terus menentang kepemilikan BlueCo, perusahaan induk Chelsea, meski musim 2024/25 mereka berakhir sukses dengan tiket ke Conference League.

"Masalah yang kami angkat tidak hilang begitu saja. Racing sudah bukan lagi klub yang menentukan nasibnya sendiri," demikian isi pernyataan mereka.

Czaikowski menambahkan, fokus UEFA terlalu berat ke struktur kepemilikan, sementara akar persoalan sebenarnya adalah model finansial klub yang tidak berkelanjutan. Sementara itu, klub-klub seperti Drogheda merasa sanksi yang mereka terima juga dipengaruhi misinformasi soal aturan.

"Harus ada keseimbangan antara mendorong investasi dan menjaga tata kelola. Tantangan terbesar justru memastikan semua klub, termasuk investor baru, benar-benar memahami regulasi yang berlaku," ujar sumber lain di internal UEFA.

 

Sumber: Guardian

Berita Terkait