Sukses


Fenomena Cedera Rekayasa Kiper: Apakah Timeout Bisa Jadi Solusi?

Ketika kiper tumbang jadi senjata taktis, saatnya sepak bola punya "timeout"?

Bola.com, Jakarta - Kebiasaan publik Inggris yang kerap mencibir berbagai budaya asal Amerika, mungkin perlu dikesampingkan demi satu hal: mengadopsi "timeout", praktik umum dalam olahraga di Amerika Serikat.

Gagasan itu muncul sebagai respons terhadap maraknya taktik kiper berpura-pura cedera untuk memberi ruang pelatih mengumpulkan pemain dan mengatur ulang strategi di pinggir lapangan.

Kontroversi terbaru terjadi di Premier League, Sabtu (29-11-2025). Manajer Leeds United, Daniel Farke, terlihat hampir meledak emosinya ketika kiper Manchester City, Gianluigi Donnarumma, tiba-tiba menjatuhkan diri dan meminta perawatan di pertengahan babak kedua.

Pada momen itu Man City sedang berada dalam kekacauan. Unggul 2-0 di babak pertama, mereka dikejar hingga menjadi 2-2 pada menit ke-68. Begitu Donnarumma terbaring, seluruh pemain Man City berlari menuju Pep Guardiola untuk menerima instruksi di atas secarik kertas.

Masalah Man City tidak langsung terselesaikan, tetapi ritme Leeds terhenti dan The Citizens akhirnya mencetak gol penentu kemenangan di masa tambahan waktu untuk mengakhiri laga dengan skor 3-2.

Farke marah besar dan menilai alasan Donnarumma "tumbang" sangat jelas.

"Saya bertanya kepada ofisial keempat, 'Anda tidak ingin melakukan sesuatu?'" ujarnya kepada wartawan.

"Dia menjawab, 'Tidak, kami tidak bisa berbuat apa-apa'. Kita harus memikirkan bagaimana mengatasinya," ucapnya.

Baca ulasan dari The Athletic selengkapnya, di bawah ini.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 6 halaman

Memanfaatkan Celah

Guardiola menolak menanggapi ketika ditanya apakah sesi pengarahan itu sudah direncanakan sebelumnya. Namun, dalam konteks lebih luas, Donnarumma bukan satu-satunya yang dituduh memanfaatkan celah aturan.

Dalam dua musim terakhir, kebiasaan kiper Arsenal, David Raya, duduk dan meminta perawatan telah menjadi bahan lelucon.

Tidak seperti pemain outfield, kiper tidak diwajibkan meninggalkan lapangan ketika menerima perawatan, karena gawang akan dibiarkan kosong.

Celah inilah yang kini dibaca banyak tim: selain mengacaukan ritme lawan, momen itu bisa dimanfaatkan untuk mengatur strategi guna mencari gol penentu.

Praktik serupa pernah terjadi ketika Ralph Hasenhuttl menangani Southampton. Staf teknis Southampton melihat performa pemainnya rutin menurun antara menit ke-60 hingga 70.

Maka, seorang pemain biasanya "jatuh" pada periode tersebut, memberi Hasenhuttl waktu untuk menata ulang konsentrasi tim.

3 dari 6 halaman

Tak Hanya di Sepak Bola

Fenomena ini bukan monopoli sepak bola. Dalam tenis, ATP mengubah aturan jeda toilet setelah terlihat jelas pemain memanfaatkannya di momen krusial. Kini, hanya satu kali jeda maksimal tiga menit yang diizinkan di akhir setiap set, dua kali untuk turnamen Grand Slam.

Di kriket, pemukul kerap meminta perawatan atau mengganti sarung tangan demi menghabiskan menit berharga ketika berusaha menyelamatkan pertandingan.

Di football level perguruan tinggi di AS, masalah ini begitu besar hingga aturannya diubah: pemain yang terjatuh setelah bola dihentikan akan membuat timnya kehilangan timeout atau dikenakan penalti lima yard.

Meski begitu, menerapkan sanksi dalam sepak bola tidak mudah. Memberi hadiah sepak pojok kepada lawan ketika kiper "cedera" bisa memicu polemik jika ia benar-benar mengalami masalah.

Memberikan tendangan bebas di area lawan mungkin juga tidak cukup menakutkan untuk mencegahnya.

Di Piala Arab yang berlangsung di Qatar pekan ini, sebuah aturan baru sedang diuji. Pemain yang menerima perawatan harus keluar selama dua menit kecuali cedera tersebut terjadi akibat tekel yang berbuah kartu kuning atau merah.

Namun, kebijakan itu tidak menyelesaikan masalah bila yang "cedera" adalah kiper.

Lalu, apa jalan keluarnya?

4 dari 6 halaman

Melegalkan Sekalian

Sulit bagi wasit untuk secara gamblang menilai pemain berbohong, dan tim pasti akan mencari cara mengakali aturan apa pun untuk tetap bisa berbicara dengan pelatih.

Ketika pergantian pemain khusus gegar otak diperkenalkan pada 2021, langkah mulia agar pelatih tidak mempertaruhkan kesehatan pemain, sebagian pihak justru khawatir aturan itu akan dimanfaatkan dengan alasan benturan kepala yang tidak benar-benar terjadi.

Jika pencegahan hampir mustahil diterapkan dan tim pada akhirnya tetap menciptakan "timeout ilegal" maka satu-satunya solusi ialah melegalkannya sekalian.

Sepak bola seharusnya mengizinkan satu kali timeout berdurasi 60 detik, lebih singkat daripada waktu yang biasanya habis oleh jeda-jeda tidak resmi.

Timeout bisa dipanggil pelatih atau kapten saat bola mati. Waktu pertandingan dapat dihentikan, atau satu hingga dua menit tambahan dimasukkan ke perhitungan waktu tambahan.

Untuk mencegah pemain berlama-lama, pertandingan harus dilanjutkan segera setelah peluit berbunyi menandai habisnya 60 detik, dan mungkin, seperti perubahan aturan soal komunikasi dengan wasit, hanya kapten yang boleh berdialog dengan pelatih.

5 dari 6 halaman

Plus-Minus

Akankah tim tetap "menjatuhkan" kiper, meski timeout sudah dipakai? Mungkin saja, tetapi kemungkinannya kecil jika pelatih sudah menyampaikan instruksi pentingnya.

Setiap perubahan aturan harus meningkatkan kualitas hiburan sepak bola tanpa merusak nilai sakral permainan. Timeout taktis berpotensi menambah drama di stadion, memperkuat pengaruh pelatih selama laga, serta menjadikan kapten benar-benar berperan strategis, bukan sekadar simbolik.

Tidak semua mendukung gagasan itu. Guardiola dengan tegas menolak timeout karena menurutnya hal itu akan memperlambat pertandingan, dan ada benarnya.

Menambah dua menit jeda pada olahraga yang sudah memiliki 15 menit istirahat dan serangkaian penundaan akibat VAR, yang kini makin panjang karena wasit harus menjelaskan keputusannya, pasti menuai resistensi.

Alternatifnya, sepak bola membiarkan praktik manipulatif ini terus berlangsung, sementara durasi pertandingan makin melebar, tetapi tanpa menambah nilai hiburan.

6 dari 6 halaman

Celah Harus Ditutup

Penerapan VAR pada musim 2019/2020 saja menambah rata-rata satu menit waktu pertandingan menjadi lebih dari 97 menit.

Lompatan terbesar terjadi pada 2023/2024 ketika aturan penentuan waktu tambahan diperketat demi mengurangi buang-buang waktu. Rata-rata pertandingan melonjak hingga lebih dari 101 menit.

Durasi bola mengalir pun bertambah cukup signifikan, naik tiga setengah menit. Hal itu dinilai memberi nilai lebih bagi penonton, setara 24 pertandingan tambahan sepanjang musim, tetapi indikator utamanya tetap persentase waktu yang hilang akibat jeda.

Jika angka itu tidak turun, pertandingan hanya menjadi lebih panjang tanpa menambah keseruan.

Perubahan itu sempat efektif, tetapi tren tidak bertahan. Musim ini pertandingan tetap melampaui 100 menit, tetapi persentase waktu yang hilang, karena pelanggaran, kartu, pergantian pemain, pemeriksaan cedera, buang waktu, VAR, hingga selebrasi, justru mencapai 45,4 persen, tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Pelatih Liverpool, Arne Slot, ingin praktik itu dihentikan dan bersedia menyampaikan gagasannya kepada otoritas sepak bola.

Manajer Newcastle United, Eddie Howe, hanya berkomentar singkat, "Itu memang terjadi," sebuah petunjuk halus bahwa kiper Nick Pope mungkin tidak selalu sepenuhnya cedera.

Tidak ada satu klub pun yang sepenuhnya bersalah, tetapi celah ini harus ditutup. Mengintip praktik dari Amerika Serikat mungkin bisa memberi jalan keluar.

 

Sumber: The Athletic via NY Times

Video Populer

Foto Populer