Sukses


4 Klub Ajaib yang Tak Terduga Bisa Menjadi Juara Kompetisi Kasta Tertinggi Indonesia

Bola.com, Jakarta - Perhelatan Shopee Liga 1 2019 menyajikan banyak kejutan. Klub-klub kuda hitam merajai papan atas. Sejumlah klub elite tertatih-tatih langkahnya di seperapat jalan kompetisi kasta elite.

Tak ada yang membayangkan PS Tira Persikabo bisa jadi pemuncak klasemen hingga pekan ke-10 Liga 1 2019 ini. Klub asuhan Rahmad Darmawan itu dua musim terakhir spesialis papan bawah.

Di jajaran lima besar klasemen, tak ada klub-klub dengan besar. Bali United (runner-up), Madura United, Bhayangkara FC, Borneo FC, bukan klub dengan tradisi panjang bertabur prestasi.

Mereka klub-klub muka baru yang berlaga di pentas kasta elite dengan membeli lisensi klub yang kolaps pendanaan.

Tidak ada nama klub-klub top macam: Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSM Makassar, serta Persija Jakarta di deretan papan atas Shopee Liga 1 2019. Persija, yang berstatus sebagai juara bertahan kompetisi kini terdampar di jajaran papan bawah.

Tim Macan Kemayoran ada di posisi dua terbawah dengan koleksi poin minimalis enam. Memang, kans Persija untuk bangkit masih terbuka lebar karena mereka baru memainkan tujuh pertandingan, lebih sedikit dibanding klub kontestan kompetisi lainnya.

Bicara sejarah, sejak awal digulirkan Liga Indonesia (penggabungan Galatama dan Perserikatan) pada pertengahan tahun 1990-an, kompetisi satu ini selalu banjir kejutan.

Beberapa kali mencuat klub ajaib yang tak diperhitungkan sebagai kandidat juara, namun pada pengujung musim menikmati pesta angkat trofi. Klub-klub mana saja yang masuk kategori ajaib tersebut. Simak cerita nostalgia Bola.com.

 

2 dari 5 halaman

Mastrans Bandung Raya (1995-1996)

Bandung Raya lahir pada 17 Juni 1987 di pengujung kejayaan kompetisi Galatama. Mereka tak pernah merasakan madu juara di kompetisi garapan PSSI yang mempertemukan klub-klub semipro di era 1980-an.

Mereka salah satu klub eks Galatama yang ambil bagian di kompetisi model baru PSSI pada medio 1990-an. Pada musim perdana kompetisi yang persaingannya diikuti tim-tim eks Perserikatan dan Galatama, Bandung Raya yang kala itu ditangani Nandar Iskandar membuat kejutan dengan lolos ke babak 8 besar.

Gagal jadi tim terbaik, Bandung Raya boleh berbangga, striker mereka Peri Sandria sebagai top scorer kompetisi dengan koleksi 34 gol. Perolehan gol Peri baru bisa dilewati striker asing asal Belanda, Sylvano Comvalius, di Liga 1 2017 lalu. 

Kembali bicara soal Bandung Raya, usai musim 1994-1995, klub tersebut merger dengan Masyarakat Transportasi (Mastrans).  Namanya berubah menjadi Mastrans Bandung Raya.

Mereka membuat heboh dengan mendatangkan pelatih asal Belanda, Henk Wullems. Menyonsong LI 1995-1996, Bandung Raya mendatangkan sejumlah pemain top. Salah satunya bomber asal Yugoslavia, Dejan Glusevic, yang terbuang dari klub elite Pelita Jaya.

Dengan Slogan "Kagok Edan Juara Sakalian" Bandung Raya sukses menyabet mahkota juara Liga Indonesia 1995-1996 dan menempatkan Dejan Glusevic sebagai pencetak gol terbanyak dengan 30 gol. Musim ini merupakan musim terbaik bagi Bandung Raya.

Tak ada yang menghitung Bandung Raya bisa jadi kampiun. Pengamat serta publik sepak bola Tanah Air lebih menghitung juara bertahan Persib Bandung, PSM Makassar, serta Persebaya Surabaya sebagai unggulan tim terbaik.

Ironisnya setelah berjaya, Bandung Raya membubarkan diri setelah Liga Indonesia 1996/97 selesai dikarenakan krisis keuangan. Pada tahun 2007, nama Bandung Raya kembali muncul di Divisi Tiga Zona Jawa Barat, dimana Bandung Raya gagal lolos ke tingkat Antarzona se-Jawa.

Pada musim 2014, Bandung Raya melakukan merger dengan Pelita Jaya. Mengusung bendera Pelita Bandung Raya, klub satu itu membuat kejutan dengan lolos ke babak 8 besar. Saat itu PBR yang ditukangi Dejan Antonic mengandalkan pemain muda. Mereka sukses membajak Bambang Pamungkas dari Persija.

Ironisnya setelah musim itu, PBR ngadat pendanaan. Pelita Jaya kemudian meninjau ulang kerja sama merger. Hak tampil di kompetisi kasta tertinggi dilego ke Madura FC (kini menjadi Madura United).

3 dari 5 halaman

Persik Kediri (2003)

Persik Kediri bikin heboh jagat sepak bola nasional pada musim 2003 dengan menjadi juara Liga Indonesia, semusim setelah Tim Macan Putih promosi dari kompetisi Divisi I.

Adalah H.A. Maschut, Wali Kota Kediri periode 1999-2009 yang jadi sosok kunci Persik mendobrak persaingan elite.

Jalan kejayaan Persik dimulai dengan menggaet Jaya Hartono, pelatih muda eks jebolan Timnas Indonesia. Urusan membangun tim diserahkan ke menantu Maschut, Iwan Budianto.

Iwan sosok muda yang memulai karier di dunia sepak bola Indonesia dengan menjadi manajer Arema. Saat pindah ke Persik, Iwan sempat mendapat cacian dari banyak Aremania.

Di Liga Indonesia 2003, pengamat lebih menjagokan Petrokimia Putra (juara bertahan), Persija, serta PSM, yang punya kekuatan skuat mumpuni buat jadi yang terbaik. Persik diramal hanya akan jadi papan bawah.

Prediksi yang wajar karena Persik tak melakukan pembelian heboh.

Persik terlihat tertatih-tatih di awal Liga Indonesia. Lima laga awal mereka lalui tanpa kemenangan.

Pertandingan keenam melawan PKT Bontang yang digelar di kandang mereka stadion Brawijaya seakan menjadi sebuah titik balik.  Macan Putih tersebut menang besar 4-0 atas tim asal Kalimantan tersebut.

Empat gol dicetak oleh Aris Susanto, Johan Prasetyo, dan penyerang asing Frank Bob Manuel. Setelah laga ini Persik kemudian melaju kencang dan sulit terkejar oleh tim lain.

Duet penyerang Bob Manuel dan Musikan menjadi ancaman besar bagi pertahanan tim lain.

Total dari 72 gol yang disarangkan Persik Kediri pada musim itu, 69 persen diantaranya dicetak oleh duet penyerang asing-lokal tersebut.

Akhirnya pada 10 November 2003, Persik memastikan gelar juara Liga Indonesia setelah kemenangan besar 4-0 atas Persib Bandung di Brawijaya. Mereka berhasil meninggalkan rival terdekat mereka saat itu, PSM Makassar, dengan jarak lima poin di klasemen akhir Divisi Utama Liga Indonesia 2003.

Pesta juara baru digelar pada pekan pertandingan terakhir yang Persik tutup dengan kemenangan 3-0 atas Persikota Tangerang.

Banyak orang mencibir kesuksesan Persik jadi jawara karena kelihaian Iwan Budianto memainkan faktor nonteknis. Dasarnya, karena materi pemain Persik tak istimewa.

Suara miring terbungkam usai Persik kembali mengulangi cerita sukses juara di Liga Indonesia 2006. Hanya bedanya saat kali kedua juara, kekuatan Persik lebih mentereng.

Ronald Fagundez, Cristian Gonzales, Danilo Fernando, Leo Guttierez, deretan pemain asing Persik yang sedang on-fire di pentas persaingan elite Indonesia. Mereka juga punya pemain lokal berkelas, layaknya: Suroso, Aris Indarto, Hariyanto, dan Jefri Dwi Hadi.

Ironisnya kejayaan Persik terhenti usai merengkuh gelar kedua Liga Indonesia. Kegagalan Iwan Budianto melanjutkan estafet jabatan Maschut sebagai Wali Kota Kediri, membuat Persik oleng. Mereka pun terdegradasi di musim 2010 dan kesulitan bangkit hingga saat ini.

Saat ini Persik berlaga di Liga 2, setelah sebelumnya sempat terlempar ke kompetisi Liga 3.

4 dari 5 halaman

Persebaya Surabaya (2004)

Ya, benar Persebaya Surabaya terhitung klub dengan nama besar yang melegendaris di era Perserikatan. Tim Bajul Ijo tercatat jadi kampiun Perserikatan musim 1951, 1952, 1978, 1988. 

Persebaya juga sempat mencicipi gelar juara Liga Indonesia musim 1996-1997. Namun, selepas prestasi memesona tersebut, performa The Green Force terjun bebas. Mereka sempat terdegradasi ke Divisi I.

Kesuksesan Persebaya menjadi juara Liga Indonesia 2004 terhitung sebuah pencapaian sensasional, mengingat musim sebelumnya klub kebanggaan Bonek baru saja promosi ke kasta tertinggi.

Persebaya bisa dibilang juara sejati, karena kompetisi LI 2004 menggunakan format satu wilayah. Mereka bertemu semua tim elite.

Persebaya yang saat itu ditukangi Jacksen F. Tiago awalnya tak dihitung bakal ikut bersaing di papan atas. Persija dan PSM yang jorjoran belanja pemain diyakini banyak pihak bakal bersaing alot untuk menjadi yang terbaik.

Dan memang benar, kedua klub tersebut silih berganti memuncaki klasemen. Namun, di pengujung musim Persebaya menyalip di tikungan.

Bicara komposisi skuat, Persebaya sejatinya memang tak bisa disepelekan. Mereka mendatangkan striker top, Kurniawan Dwi Yulianto, untuk menambah daya dobrak lini depan. Persebaya juga punya Anang Ma'aruf, Sugiantoro, dan Hendro Kartiko, pelanggan Timnas Indonesia saat itu.

Ironisnya usai juara, Persebaya harus terdegradasi pada musim 2006. Bukan karena performa mereka yang buruk, tapi karena kasus mogok bertanding di Liga Indonesia edisi 2005. Hukuman turun kasta dijatuhkan Komisi Disiplin PSSI.

 

5 dari 5 halaman

Bhayangkara FC (2017)

Bhayangkara FC lahir secara kontroversial di masa dualisme kompetisi (Indonesia Super League Vs Liga Primer Indonesia).

Cikal bakal klub ini berawal dari dualisme Persebaya Surabaya yang beralih ke Liga Primer Indonesia dan mengubah namanya menjadi Persebaya 1927 di bawah PT. Persebaya Indonesia.

Pada saat itu, tim yang dulu bernama Persikubar Kutai Barat diboyong ke Surabaya dan diubah namanya menjadi Persebaya Surabaya oleh Wisnu Wardhana di bawah PT. Mitra Muda Inti Berlian (MMIB) agar Surabaya memiliki wakil di liga resmi PSSI. Pada tahun 2015 mereka tidak boleh mengikuti turnamen arahan Mahaka Sports & Entertainment yang bertajuk Piala Presiden 2015.

Karena ingin mengikutinya, mereka menambahkan kata United di tim ini. Sejak lolos ke babak 8 besar, BOPI mengisyaratkan untuk menanggalkan nama Persebaya, karena hak paten logo dan nama ada di tangan Persebaya 1927 bawahan PT. Persebaya Indonesia.

Oleh karena itu, mereka mengubah nama menjadi Bonek FC. Di turnamen Piala Jenderal Sudirman 2015, mereka mengubah nama klubnya menjadi Surabaya United dikarenakan Bonek 1927 mengecam nama Bonek sebagai klub sepak bola yang aslinya merupakan nama suporter.

Pada 12 April 2016, Surabaya United melakukan merger dengan tim yang mengikuti Piala Bhayangkara 2016, PS Polri dan mengubah namanya menjadi Bhayangkara FC. Klub ini akan mengikuti kompetisi Indonesia Soccer Championship A 2016 dan menggunakan nama sama hingga kini.

Bhayangkara FC jadi tim ajaib dengan menjadi juara Liga 1 2017. Tim yang diasuh Simon McMenemy sama sekali tak dihitung bakal masuk jajaran papan atas.

Faktor ketiadaan suporter jadi alasannya. Di Indonesia amat berat bertanding tanpa dukungan dari pinggir tribune. Tapi stigma itu ditebas Bhayangkara FC.

Dengan mengandalkan pemain muda potensial jebolan Timnas Indonesia U-19 didikan Indra Sjafri, macam Evan Dimas, Ilham Udin Arymain, Awan Setho, I Putu Gede, The Guardian menjadi underdog menakutkan.

Aksi mengilap Bhayangkara FC baru terlihat pada paruh kedua kompetisi. Secara perlahan Ilija Spasojevic cs. mengoyang dominasi Bali United, PSM Makassar, dan Madura United di jajaran papan atas.

The Guardian mengangkat trofi juara setelah mengunci posisi pemuncak klasemen akhir Liga 1 dengan koleksi 68 poin dari 34 pertandingan.

Pemain Bhayangkara FC, Paulo Sergio, Ilija Spasojevic, Lee Yoo-Joon merayakan keberhasilan meraih gelar juara Liga 1 2017 di Stadion Patriot Bekasi, Sabtu (12/11/2017). Bhayangkara kalah 1-2 lawan Persija. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

 Sayang gelar ini terasa kurang lengkap karena pada pertandingan terakhir Bhayangkara justru gagal memetik kemenangan. Pada laga pamungkas yang berlangsung di Stadion Patriot, Bekasi, Minggu (12/11/2017) Bhayangkara FC kalah 1-2 dari Persija Jakarta. 

Di posisi kedua bercokol Bali United dengan mengemas poin yang sama. Serdadu Tridatu harus puas jadi runner up setelah kalah head to head dari Bhayangkara FC. Sementara posisi ketiga dan keempat oleh PSM Makassar dan Persija Jakarta. Sedangkan Madura United yang sempat mencuri perhatian di awal musim berada di peringkat kelima. 

Sebagai tim kuda hitam, langkah BFC menuju podium juara memang tidak mulus. Bhayangkara juara dengan jumlah kekalahan 10 kali. Angka yang terbanyak jika dibandingkan dengan para juara Liga Indonesia format satu wilayah sejak musim 2010/11.

Pada musim 2010-2011, Persipura juara dengan jumlah kekalahan dua kali. Satu musim setelahnya, Sriwijaya FC juara dengan lima kekalahan. Persipura kembali juara dengan dua kekalahan di musim 2013.

Keberhasilan BFC menjuara Liga 1 musim ini tidak lepas dari kemengan WO yang diraih dari Mitra Kukar. Duel yang sebelumnya berkesudahan seri itu, akhirnya jadi milik Bhayangkara FC. Komisi Disiplin PSSI menyatakan Mitra Kukar bersalah telah menurunkan pemain yang tengah menjalani hukuman akumulasi kartu, Mohamed Sissoko, saat bertemu Bhayangkara. 

Keputusan ini menuai protes. Para pemain berlomba-lomba mengolok-olok Liga 1, termasuk, striker Bali United yang jadi top scorer Liga 1, Syilvano Comvalius. Lewat akun Instgram-nya, pemain asal Belanda tersebut menyebut Liga 1 sebagai Indonesian Sirkus League. 

Tidak hanya Bali United yang marah. Madura United juga sempat berkomentar pedas terkait keputusan ini yang belakangan menyinggung institusi Polri. Belakangan, perselisihan akhirnya bisa ditengahi melalui mediasi yang akhirnya difasilitasi oleh PSSI. 

Kekecewaan kembali mencuat saat Bali United berhasil memenangkan duel terakhir melawan Gresik United dengan skor 3-0. Selama pertandingan ini, ribuan pendukung Bali United kompak mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk protes terhadap Liga 1. 

Video Populer

Foto Populer