Sukses


Pengkhianatan Timnas Indonesia kepada Antun Pogacnik

Bola.com, Jakarta - Sulit untuk menolak anggapan bahwa Timnas Indonesia menjalani masa emasnya pada era 1950-an di bawah tangah dingin Antun 'Toni' Pogacnik. Sayang, dedikasinya membawa kejayaan ke Tanah Air hancur berkeping-keping akibat skandal suap yang menimpa anak asuhnya sendiri. Pogacnik, satu di antara pelatih paling sukses dalam sejarah sepak bola Indonesia, dikhianati oleh penggawa Merah Putih.

Bisa dibilang, Pogacnik adalah orang yang kembali menempatkan Indonesia di peta dunia usai proklamasi kemerdekaan pada 1945 yang dibacakan oleh Presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno. Ini tidak berlebihan. Sebab, torehan prestasi di kancah internasional sanggup ia berikan selama kariernya di Tanah Air.

Pada Asian Games 1954, Timnas Indonesia mampu dibawanya ke semifinal. Meski pada akhirnya gagal menyabet medali perunggu, keberhasilan itu membuat gairah sepak bola di Indonesia meningkat. Apalagi, pada era 1950-an, nasionalisme rakyat sedang tinggi-tingginya lantaran Indonesia masih berumur jagung pasca kemerdekaan.

Medali akhirnya didapat tim sepak bola Indonesia pada Asian Games edisi berikutnya, tepatnya pada Asian Games 1958 di Tokyo. Indonesia bergabung di grup B bersama India dan Burma. Kali ini Indonesia menyapu bersih semua laga, termasuk membalas kekalahan menyakitkan dari Burma (Myanmar) di perebutan tempat ketiga pada edisi sebelumnya (kalah 4-5). Kali ini, Indonesia menang 4-2.

Kemenangan besar kembali diraih Timnas Indonesia pada perempat final. Berhadapan dengan Filipina, Pogacnik menerapkan permainan indah yang berujung pada kemenangan 5-2. Sayang, untuk kali kedua secara beruntun, Indonesia kandas di semifinal, saat itu Taiwan meraih kemenangan tipis 1-0.

Pada perebutan medali perunggu atau tempat ketiga, Timnas Indonesia kembali bersua India, tim yang sudah mereka hadapi pada babak grup. Tanpa kesulitan berarti, Indonesia menang telak 4-1.

Sejak saat itu, Indonesia tak pernah lagi menggondol perunggu Asian Games dari cabang olahraga sepak bola. Peluang terbaik didapat Bertje Matulapelwa pada Asian Games 1986. Namun tumbang dari Kuwait pada perebutan medali perunggu.

Selain itu, Timnas Indonesia Junior berhasil menjadi juara Piala Asia Muda (kini Piala Asia U-19) bersama Myanmar pada edisi 1961. Yang paling legendaris adalah kala Tim Merah-Putih sukses menahan 0-0 tim raksasa Uni Soviet pada babak perempat-final di Olimpiade Melbourne 1956. Sayang pada pertandingan ulangan Indonesia kalah 0-4 dari tim yang akhirnya jadi juara.

Pogacnik, pelatih asal Yugoslavia, memberikan banyak kenangan buat Timnas Indonesia. Berkat tangan dinginnya, Tim Merah Putih era kepemimpinannya pun mendapat label Macan Asia.

 

 

Mau ikuti challenge 5 tahun Bola.com dengan hadiah menarik? Klik Tautan ini.

 

Video

2 dari 4 halaman

Peran Maladi dan Ir. Soekarno

Maladi yang jadi aktor utama di balik kedatangan Toni ke Indonesia. Kala itu sang perdana menteri yang melihat langsung Olimpiade Helsinki 1952 terpincut dengan gaya permainan tim Eropa timur yang dilatih Toni tersebut. Menurut pandangannya, gaya yang dikembangkan Toni akan pas jika dimainkan oleh para pesepak bola Indonesia.

Maladi kemudian secara terang-terangan meminta Toni untuk melatih Timnas Indonesia. Namun, tentu saja keinginan itu tidak mudah untuk direalisasikan. Toni harus meminta izin ke pemerintah Yugoslavia, yang kala itu amat tertutup dari dunia luar. Indonesia sendiri belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara yang kini telah terpecah jadi Serbia, Kroasia, dan Montonegro tersebut.

Oleh pimpinan organisasi sepakbola Yugoslavia, Maladi lalu disarankan untuk mengundang timnas Yugoslavia terlebih dahulu dan membuka hubungan persahabatan antara pemerintah Indonesia dan negara tersebut.

Maladi pun kemudian mengatur agar tim Yugoslavia-B datang ke Indonesia dan melakukan lima kali pertandingan persahabatan, di antaranya melawan Persib Bandung, PSSI Jateng, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan tentu saja Timnas Indonesia.

Dukungan besar diberikan Presiden RI, Soekarno, kepada sosok Pogacnik. Sang Proklamator memperbolehkan adanya prosesi menaikkan bendera Yugoslavia serta pemutaran lagu kebangsaan sebelum pertandingan.

Soekarno menjadikan momen itu untuk memperkuat hubungan diplomasi dengan Yugoslavia. Pada saat itu, memang ada kecenderungan Indonesia lebih dekat dengan negara-negara Eropa Timur. Sambutan hangat pun diterima oleh Presiden Yugoslavia kala itu, Josip Broz Tito.

Broz Tito yang terkesan dengan kepemimpinan Soekarno lantas memberikan izin kepada Pogacnik untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia. Padahal, sebelumnya Pogacnik sedang ditugaskan menangani Timnas Yugoslavia. Singkat cerita, Pogacnik menuai sukses dan menggoresan tinta sejarah dalam persepakbolaan Indonesia.

 

 

3 dari 4 halaman

Hancur Lebur karena Kasus Suap

Match fixing atau pengaturan skor atau suap atau apa pun itu istilahnya ternyata sudah menjadi momok buat sepak Indonesia sejak lama. Ini terjadi pada Asian Games 1962 yang ironisnya digelar di Jakarta.

Sukses di Asian Games Manila 1954, Olimpiade Melbourne 1956, dan Asian Games Tokyo 1958, membuat Toni Pogacnik dibebani target juara. Hal yang cukup realistis mengingat gairah sepak bola Indonesia tengah menanjak dan momentum itu ada tatkala Jakarta ditunjuk sebagai tuan rumah.

Sayang, Toni Pogacnik meninggalkan Indonesia dengan cerita tidak enak. Timnas Indonesia dihantam skandal suap di Asian Games 1962.

Skandal Senayan 1962 mencoreng wajah sepak bola Indonesia. Kasus match fixing yang melibatkan sejumlah pemain pilar Timnas Indonesia mulai terkuak pada awal Januari 1962 dan memuncak pada 19 Febuari 1962 ketika Indonesia berujicoba dengan tim Vietnam Selatan.

Ini bermula saat penggawa Timnas Indonesia, Maulwi Saelan merasa ada gelagat aneh dari rekan setimnya pada 1961 atau ketika Indonesia menjalani beberapa laga persahabatan. Usut punya usut, termasuk dengan melibatkan penyelidikan kepolisian, bukan sekali dua kali saja para pemain timnas bermain mata dengan para bandar judi.

Hasil penyelidikan menyebutkan, pertandingan-pertandingan yang ditemukan telah diatur itu di antaranya adalah pertandingan timnas Indonesia melawan Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection dan Ceko Combined.

Setidaknya ada 10 pemain andalan timnas saat itu yang dikenai skorsing. Mereka adalah Iljas Hadade, Pietje Timisela, Omo Suratmo, Rukma Sudjana (kapten), Sunarto, Wowo Sunaryo (Persib), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (PSM Makassar), dan Andjiek Ali Nurdin (Persebaya).

Wowo Sunaryo, satu di antara pemain Timnas Indonesia yang menerima suap, mengaku tak punya pilihan selain menerima suap. Ia merasa terperangkap oleh jerat setan sehingga ia tak cuma mengkhianati Pogacnik saja, tapi seluruh rakyat Indonesia.

"Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya karena kondisi keluarga," kata Wowo Sunaryo seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 14 Juli 1979.

 

4 dari 4 halaman

Finansial Terjepit

Masalah finansial menjadi penyebab utama setengah pemain Timnas Indonesia rela menggadaikan nasionalismenya demi segepok uang. Berdasarkan keterangan Pandit Football, bayaran yang diterima pemain Timnas Indonesia hanya berkisar Rp25 per hari.

Kondisi tersebut, menurut pengakuan Wowo, membuat ia dan banyak rekannya sulit menolak tawaran uang dari bandar judi. Bahkan, Wowo mengatakan upah membela timnas seringkali hanya cukup untuk membeli dua butir telur saja sekembalinya dari latihan atau rutinitas lainnya.

"Honor memperkuat timnas hanya cukup untuk biaya perjalanan Bandung-Jakarta. Kalau ada sisa, cuma bisa digunakan membeli dua butir telur atau sabun. Kondisi miris itulah yang memaksa kami melakukan hal tidak terpuji itu", aku Wowo dinukil dari detikSport.

Karena merasa gagal, Toni menyampaikan surat pengunduran diri, tapi ditolak. Pengunduran diri baru diterima setelah Toni mengalami cedera lutut dalam rangkaian tur ke Tiongkok pada 1963. Setahun kemudian ia dengan resmi minta berhenti.

Kejadian suap yang menimpa pemain Timnas Indonesia membuatnya terpukul. Ia seakan tak percaya, 10 tahun kerja kerasnya membangun legacy runtuh begitu saja akibat skandal suap. Sedih, gusar, dan amarah campur aduk. Padahal, kejujuran adalah hal yang sejak awal ditanamkan oleh Pogacnik kepada anak asuhnya.

Pogacnik selalu menekankan kepada para pemainnya supaya bermain mengedepankan sikat-sifat ksatria seperti jujur dan tidak bermain curang. "Kalau saja tidak ada itu skandal suap-suapan, Indonesia dapat mencapai standar Internasional," ketus Pogacnik yang sempat menangis di kantor polisi ketika polisi melakukan penyelidikan.

Video Populer

Foto Populer