Ahli Hukum Kehutanan: Hujan Lebat dan Kerusakan Hutan Picu Bencana Banjir dan Longsor di Sumatra

Dr. Sadino, S.H., M.H., — Dr. Sadino, S.H., M.H. adalah seorang ahli di bidang hukum kehutanan. (Foto: Khamelia Marsha/Liputan6.com)

Bola.com, Jakarta - Pakar hukum kehutanan dan dosen hukum di Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino, mengungkapkan rangkaian bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat seharusnya menjadi perhatian serius terkait lemahnya pengelolaan hutan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di kawasan hulu.

Ia menekankan kondisi ini merupakan peringatan penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan.

Menurutnya, kejadian tersebut tidak dapat dipandang hanya sebagai dampak dari hujan ekstrem, melainkan merupakan hasil dari penumpukan masalah lingkungan yang telah berlangsung lama dan tidak ditangani dengan baik.

Sadino menegaskan meskipun curah hujan yang tinggi menjadi pemicu terjadinya bencana, dampaknya akan jauh lebih kecil jika hutan di kawasan hulu masih dalam kondisi baik.

Ia menjelaskan curah hujan yang tinggi memang berfungsi sebagai pemicu awal terjadinya bencana alam. Namun, di daerah yang memiliki hutan yang utuh, efek dari hujan ekstrem tidak akan seberat yang kita saksikan saat ini.

"Hujan merupakan faktor alamiah yang tidak bisa dihindari. Dampaknya membesar ketika hutan di kawasan hulu telah kehilangan fungsi ekologisnya," jelas Sadino dalam wawancaranya dengan Liputan6.com pada Rabu, 24 Desember 2025.

Sadino menegaskan kembali curah hujan yang tinggi memang dapat menjadi penyebab awal dari terjadinya bencana. Namun, jika kondisi hutan di suatu wilayah masih terjaga, hujan ekstrem tidak akan menimbulkan dampak yang sebesar yang telah terjadi saat ini.

Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan pengelolaan hutan agar fungsi ekologisnya tetap terjaga dan dapat meminimalisir risiko bencana di masa mendatang.

2 dari 3 halaman

Lebih Rentan Bencana

Buka Akses Warga, Relawan Gunakan Jembatan Darurat dari Kayu Gelondongan — Warga yang menjadi korban banjir bandang di Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara menggunakan kayu gelondongan untuk menyeberangi sungai, Selasa 2 Desember 2025. Warga Batang Toru, Tapanuli Selatan, terpaksa menggunakan jembatan darurat yang terbuat dari gelondongan kayu untuk menyeberangi sungai setelah jembatan utama rusak akibat terjangan banjir bandang baru-baru ini. (AP Photo/Binsar Bakkara)

Wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat memiliki karakteristik geografis yang saling terhubung di bagian hulu dari daerah aliran sungai. Meskipun aliran sungai di masing-masing daerah berujung di tempat yang berbeda, kondisi di kawasan hulu sangat berpengaruh terhadap dampak yang dirasakan di bagian hilir.

"Kerusakan di kawasan atas akan menimbulkan dampak ke wilayah hilir, tanpa mengenal batas wilayah provinsi," kata Sadino.

Ia menekankan ketiga wilayah tersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan dalam sistem daerah aliran sungai. Meskipun sungai-sungai tersebut mengalir ke arah yang berbeda, dampak yang ditimbulkan tetap saling berkaitan.

Sadino juga menambahkan kondisi geografis di Sumatra membuat daerah ini lebih rentan terhadap bencana, terutama saat terjadi hujan lebat.

"Sumatra Barat itu kelerengannya curam. Sumatra Utara juga punya banyak wilayah dengan kemiringan tinggi, sementara di Aceh ada kawasan hutan dan konservasi."

Ia menegaskan bahwa ketika hujan turun secara terus-menerus, kondisi hulu sungai menjadi faktor yang paling menentukan terhadap potensi bencana yang mungkin terjadi. Dengan demikian, pemahaman mengenai hubungan antara ketiga wilayah ini sangat penting dalam upaya mitigasi bencana dan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan.

3 dari 3 halaman

Masyarakat Hilir Menghadapi Dampak Paling Besar.

Banjir Padang, Puluhan Ribu Warga Terdampak — Data Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops) BPBD Padang, Kecamatan Koto Tangah menjadi wilayah dengan jumlah terdampak terbesar, yaitu 20.983 warga. Tampak dalam foto, warga bertahan di tepi sungai saat banjir melanda Padang, Provinsi Sumatra Barat, pada Kamis 27 November 2025. (REZAN SOLEH/AFP)

Kelompok masyarakat yang tinggal di sepanjang tepi sungai merupakan yang paling merasakan dampak dari bencana banjir dan longsor. Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga harus menghadapi ketidakpastian untuk kembali menetap di area yang sama karena adanya perubahan alur sungai serta kondisi tanah yang tidak stabil.

"Kalau aliran sungainya sudah bergeser dan tanahnya tertimbun, membangun kembali di tempat yang sama itu berisiko," tutur Sadino.

Penanganan setelah terjadinya bencana tidak cukup hanya dengan membangun kembali permukiman yang rusak. Menurutnya, diperlukan penataan ulang wilayah yang rawan bencana agar keselamatan warga dapat terjamin dalam jangka waktu yang lebih lama.

"Kalau hanya dibangun lagi tanpa memperbaiki hulunya, kejadian seperti ini akan terulang," imbuh Sadino.