Sukses


Apa Itu THR? Ketahui Sejarah Awal Pemberian dan Aturannya di Indonesia

Bola.com, Jakarta - THR merupakan kependekan dari Tunjangan Hari Raya. THR adalah pendapatan yang wajib dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja menjelang hari raya keagamaan.

Adapun hari keagamaan yang dimaksud ialah Hari Raya Idulfitri. Meski, ada beberapa perusahaan yang memberikan THR menjelang hari Raya Natal, Nyepi, Waisak maupun Imlek. Namun, biasanya THR diberikan menjelang Hari Raya Idulfitri.

Itulah mengapa Hari Raya Idulfitri atau Lebaran menjadi satu di antara momen yang paling ditunggu di Indonesia. Momen Lebaran menjadi makin membahagiakan dengan adanya THR tersebut.

Tak bisa dimungkiri, THR menjadi satu di antara topik yang paling banyak dibicarakan menjelang akhir Ramadan.

THR bisa dibilang telah menjadi tradisi di Indonesia. Di negara lain, mungkin tidak berlaku pemberian THR bagi karyawan menjelang hari raya keagamaan.

Namun, sebenarnya sejak kapan tradisi THR mulai berlaku di Indonesia? Mungkin tak banyak yang mengetahui sejarah pemberian THR tersebut.

Berikut ini rangkuman tentang sejarah pemberian THR dan aturannya di Indonesia, seperti disadur dari Liputan6, Senin (18/4/2022).

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Sejarah THR di Indonesia

Melansir dari Liputan6.com, menurut berbagai sumber, pemberian uang tunjangan menjelang Lebaran di Indonesia dimulai pertama kali pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Satu di antara program kerja kabinet Soekiman yakni meningkatkan kesejahteraan Pamong Pradja.

Pada masa itu, pemberian tunjangan pada pegawai negeri atau PNS sebesar Rp125 ribu-Rp200 ribu. Tak hanya itu, tunjangan juga diberikan dalam bentuk tunjangan beras tiap bulannya.

Lantaran tunjangan hari raya hanya diberikan pada para pegawai negeri, kaum buruh protes. Pada tanggal 13 Februari 1952, kaum buruh menggelar mogok sambil menuntut pemerintah untuk memberikan tunjangan juga bagi mereka.

Kondisi tersebut membuat pemerintah langsung turun tangan. Perdana Menteri Soekiman meminta supaya perusahaan bersedia mengeluarkan THR atau tunjangan hari raya untuk para karyawannya.

Setelah gejolak aksi menuntut THR yang dilakukan oleh para buruh tersebut berhasil diatasi, pemerintah akhirnya dapat meredam gejolak saat itu.

3 dari 4 halaman

Sejarah THR di Indonesia

Lantas, mengapa THR menjadi kebijakan kabinet Soekiman pada masa itu? Hal ini dikarenakan sebagian besar pegawai negeri pada masa itu terdiri dari para priayi, menak, kaum ningrat, dan lainnya. Dengan harapan mengambil hati pegawai itulah THR diberikan.

Sejak saat itu istilah THR atau tunjangan hari raya menjadi populer di Indonesia. Namun, peraturan resmi mengenai THR atau tunjangan hari raya baru keluar sekian tahun berikutnya, lama setelah era berganti.

Di bawah kendali Orde Baru, Menteri Tenaga Kerja meluncurkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Lantaran peraturan itu, hak para karyawan mendapat THR punya payung hukum.

Peraturan tersebut akhirnya disempurnakan. Revisi atas aturan THR baru dilakukan di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, tepatnya pada 2016 melalui Permenaker Nomor 6 tahun 2016.

Kemudian aturan pemberian THR pun dijelaskan oleh Menaker secara lebih terperinci melalui Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

4 dari 4 halaman

Aturan THR

Berikut ini ketentuan pembayaran THR Keagamaan sesuai SE No. M/1/HK.04/IV/2022 tersebut:

1. THR Keagamaan diberikan kepada:

a. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.

b. Pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau pedanjian kerja waktu tertentu.

2. Besaran THR Keagamaan diberikan sebagai berikut:

a. Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar satu bulan upah.

b. Bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai dengan perhitungan: masa kerla x 1 bulan upah. Dibagi 12 bulan.

3. Bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, upah satu bulan dihitung sebagai berikut:

a. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah satu bulan dihitung berdasarkan rala-rala upah yang diterima dalam 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

b. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

4. Bagi pekerja/buruh yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil maka upah satu bulan dihitung berdasarkan upah rata-rata 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.

5. Bagi perusahaan yang menetapkan besaran nilai THR Keagamaan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana nomor 2 di atas maka THR Keagamaan yang dibayarkan kepada pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan.

6. THR Keagamaan wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.

 

Disadur dari: Liputan6.com (Reporter: Sulung Lahitani. Editor: Karmin Winarta. Published: 20/6/2016)

Video Populer

Foto Populer