Sukses


Apa Hukum Menikah dengan Sepupu Menurut Islam? Ini Penjelasannya

Bola.com, Jakarta - Menikah adalah ikatan suci antara dua individu yang saling mencintai dan berkomitmen untuk saling mendukung, menghormati, dan membangun kehidupan bersama.

Dalam Islam, menikah dianggap sebagai bagian penting dari ibadah dan merupakan sunah Rasulullah saw. yang harus diikuti. Pernikahan memang menjadi satu di antara bentuk ibadah dalam ajaran agama Islam.

Namun, pernikahan juga harus mengikuti aturan agama, satu di antaranya adalah tidak boleh menikahi seseorang yang termasuk mahram.

Di tengah masyarakat atau daerah, terkadang kita menemui tradisi menikah dengan keluarga dekat, seperti sepupu. Misal, ayah A dan ayah B merupakan saudara kandung. Si A mempunya anak lelaki, dan si B mempunyai anak perempuan. Kemudian anak si A dan si B ini menikah.

Menikah dengan sepupu adalah topik yang banyak menarik perhatian dalam masyarakat muslim karena ada beberapa pendapat yang berbeda di antara para ulama tentang masalah ini. Lantas, bagaimana hukumnya dalam Islam?

Berikut penjelasan tentang hukum menikah dengan sepupu menurut Islam yang perlu dipahami, dilansir dari bimasislam.kemenag.go.id, Kamis (4/4/2024).

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 3 halaman

Hukum Menikah dengan Sepupu Menurut Islam

Dalam Islam, menikah dengan sepupu boleh dan halal karena sepupu bukan bagian dari orang yang haram dinikahi. Dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 50; Allah berfirman:

"Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki dari apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu."

Ulama fikih membagi tiga jenis hukum nikah bila kita kaitkan dengan siapa calon mempelai akan menikah. Pertama, hukum haram. Ini terjadi apabila kita menikahi seorang mahram, seperti ibu, adik kandung, anak perempuan, dan sebagainya.

Kedua, hukum makruh. Ini terjadi bila kita menikah dengan famili yang sangat dekat seperti sepupu.

Ketiga, hukum mubah. Ini terjadi bila kita menikah dengan famili jauh atau orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan kita.

Meski boleh dan halal menikah dengan sepupu, ulama Syafiiyah menyarankan agar menghindari menikah dengan sepupu. Oleh karena itu, mereka menghukuminya makruh.

Dalam kitab Alwasith dan Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali mencantumkan perkataan Sayidina Umar: 'Jangan kalian menikahi famili dekat karena akan menyebabkan lahir anak yang lemah".

3 dari 3 halaman

Menikah dengan Sepupu Menurut Kesehatan dan Hukum

Sejalan dengan pendapat ulama fikih, dari segi ilmu kesehatan, menikah dengan sepupu perlu dipertimbangkan kembali, sebab ada risiko kesehatan yang perlu diwaspadai, terutama pada anak yang dilahirkan nanti.

Ada beberapa risiko kesehatan akibat menikah dengan kerabat atau keluarga dekat, seperti cacat lahir, gangguan sistem kekebalan tubuh, lahir mati atau stillbirth, dan gangguan mental.

Dalam hukum positif, pernikahan dengan sepupu tidaklah dilarang. Pasalnya, pernikahan antarsepupu ini tidak termasuk ketentuan Pasal 39 KHI yang mengatur mengenai larangan kawin antara seorang pria dengan wanita sebagaimana diterangkan berikut ini:

Karena pertalian nasab dengan seorang perempuan yang:

  1. Melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
  2. Merupakan keturunan ayah atau ibu;
  3. Merupakan saudara yang melahirkannya.

Karena pertalian kerabat semenda dengan seorang perempuan yang:

  1. Melahirkan istrinya atau bekas isterinya;
  2. Merupakan mantan istri orang yang menurunkannya;
  3. Merupakan keturunan istri atau mantan istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan mantan istrinya itu qobla al dukhul (belum berhubungan seksual);
  4. Merupakan mantan istri keturunannya.

Karena pertalian sesusuan dengan:

  1. Perempuan yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
  2. Perempuan sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
  3. Perempuan saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;
  4. Perempuan bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
  5. Anak yang disusui oleh istri dan keturunannya.

 

Sumber: kemenag.go.id

Baca artikel seputar hukum lainnya dengan mengeklik tautan ini.

Video Populer

Foto Populer