Sejarah Skor Bulutangkis: Mulai Sistem Poin Klasik, hingga Usulan Format 5 X 11

oleh Yus Mei Sawitri diperbarui 09 Apr 2021, 17:15 WIB
Pasangan Indonesia, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan saat melawan wakil Jepang, Takuro Hoki/Yugo Kobayashi, pada Kejuaraan Dunia Bulutangkis 2019 di Swiss, Minggu (25/8). Indonesia menang 25-23, 9-21, 21-15. (AFP/Fabrice Coffrini)

Bola.com, Jakarta - Banyak cara ditempuh agar pertandingan bulutangkis makin dikenal luar dan makin menarik ditonton.  Bulutangkis terus bermetamorfosis dari masa ke masa untuk menggaet lebih banyak peminat dan penonton di berbagai belahan dunia.

Harus diakui, pamor bulutangkis masih terlalu dominan di Asia dan sebagian Eropa. Pamor bulutangkis masih kalah jauh dibanding tenis.

Advertisement

Gap besar tersebut tercermin dari hadiah turnamen, perhatian dari media, hingga popularitas para atletnya. Tenis harus diakui lebih menjual, sehingga sponsor juga berbondong-bondong menggelontorkan dana, terutama untuk turnamen-turnamen bergengsi. 

Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) menyadari fakta-fakta tersebut, sehingga berusaha terus berinovasi. Satu di antara target besarnya adalah membuat pertandingan bulutangkis lebih "menjual", sehingga dukungan dari sponsor juga lebih besar. 

Pada 2002, BWF mencoba berinivasi dengan menerapkan sistem poin baru mulai Januari. BWF ingin mengubah sistem skor klasik. Pada awalnya, bulutangkis menggunakan ssitem 15 poin untuk tunggal putra dan semua sektor ganda. Adapun tunggal putri menggunakan aturan 11 poin. 

Menurut BWF, sistem poin klasik itu tidak menjual karena durasinya bisa sangat lama. Ada aturan pindah bola pada sistem poin klasik tersebut. Imbasnya pertandingan terkadang berlangsung sangat lama jika sering terjadi pindah bola dan rubber set. 

Durasi pertandingan yang terlalu lama dan sulit ditebak diduga menjadi penyebab sponsor kurang berminat untuk mengucurkan dana. Itulah yang mendasari BWF mengapungkan perubahan sistem poin pertandingan bulutangkis

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

2 dari 5 halaman

Skor 5 x7 Hanya Bertahan Delapan Bulan

Sejumlah raket rusak milik pebulutangkis Indonesia yang digunakan saat persiapan jelang Indonesia Open 2017 di Pelatnas PBSI Cipayung, Jakarta, Selasa (6/6/2017). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

BWF memunculkan sistem skor 5x7, yang langsung diterapkan pada awal Januari 2002. Sama seperti sistem klasik, aturan skor baru ini juga masih menggunakan aturan pindah bola. Pemain hanya dihitung mendapat poin jika sedang memegang servis. 

Tidak ada perbedaan sistem perhitungan baik untuk tunggal atau ganda maupun untuk putra atau putri.  Dengan sistem ini, pemain yang lebih dulu memenangi tiga set akan dinobatkan sebagai pemenang. 

Pada sistem ini, masing-masing set terdiri atas tujuh poin. Bila terjadi kedudukan 6-6, pemain yang lebih dulu mencapai angka 6 akan menentukan apakah terjadi deuce 2 (permainan akan berakhir pada poin 8) atau tidak (permainan tetap berakhir pada poin 7).

Aturan lain, jika kedua pemain sama-sama memenangi dua set, maka pemenang ditentukan pada set kelima. Pada set kelima, kedua pemain akan berpindah lapangan jika salah satu sudah mencapai empat poin.  

Bagaimana nasib sistem skor 5x7 tersebut? Ternyata sistem skor yang diapungkan BWF ini hanya mampu bertahan selama delapan bulan. 

Sistem skor baru tersebut pada penerapannya tak berhasil memangkas durasi pertandingan. Laga bulutangkis di semua nomor rata-rata tetap berlangsung lama. 

Penyebab pertandingan masih berlangsung panjang tak lain karena masih dipertahankannya aturan pindah bola. Harapan BWF membuat laga bulutangkis menjadi lebih komersil dengan aturan skor baru tersebut berujung gagal total. 

 

3 dari 5 halaman

Kembali ke Skor Klasik

Taufik Hidayat bersama pelatihnya Mulyo Handoyo usai menjuarai final tunggal putra bulutangkis Olimpiade 2004 di Athena. (EPA/Kim Ludbrook)

Sejak September 2002, BWF memutuskan untuk kembali menggunakan sistem klasik dengan modifikasi, yaitu 15 poin dan 11 poin. Sistem poin 5X7 kali terakhir diapakai pada Commonwealth Games 2020. 

Seperti apa sistemnya? Ada dua macam sistem. 

Untuk nomor tunggal putra dan semua ganda, setiap set terdiri atas 15 poin. Namu jika terjadi deuce pada kedudukan 14-14, pemain yang lebih dulu mencapai 14 berhal menentukan apakah akan teejadi deuce 3. Dia boleh memilih deuce 3 sehingga set akan berakhir pada poin 17, atau tetap pemenangnya dari yang lebih dulu mencapai 15. 

Di sektor tunggal putri, setiap set terdiri atas 11 poin. Deuce diatur saat poin sama 10-10. Pemain yang lebih dulu mencapai 10, boleh memilih deuce 2 (hingga poin 13) atau tetap berakhir di poin 11. 

4 dari 5 halaman

Sistem Reli Poin 3 x 21

Pasangan Indonesia, Greysia Polii/Apriyani Rahayu, saat melawan wakil Jepang, Ayako Sakuramoto/Yukiko Takahata pada Indonesia Open 2019 di Istora, Jakarta, Selasa (16/7). Pasangan Indonesia menang 21-15, 21-16. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

BWF lagi-lagi mengubah sistem skor pada bulutangkis, tepatnya pada 2006 dan masih dipakai sampai sekarang. Sistemnya berlaku untuk semua sektor, tanpa ada perbedaan. 

Tidak ada pindah bola pada sistem ini, karena menerapkan reli poin. Jadi ketika seorang pemain langsung meraih poin ketika sang lawan melakukan kesalahan. 

Pemain/pasangan akan memenangi pertandingan jika sudah memenangi dua gim. Jika kedudukan 1-1, maka pertandingan akan berlanjut  dengan rubber game. 

Dengan sistem ini, pertandingan berjalan lebih seru dan tak lagi memakan waktu yang terlalu lama. Total, sistem ini sudah dipakai selama 15 tahun. 

 

5 dari 5 halaman

Usulan Perubahan Skor Jadi 5 X 11

Penampilan Anthony Sinisuka Ginting pada Mola TV PBSI Home Tournament, Rabu (8/7/2020). (PBSI)

Sistem skor reli 3 x 21 ternyata belum memuaskan semua pihak.  Tim Indonesia melalui Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bersama Federasi Bulutangkis Maladewa, resmi mengajukan usulan perubahan sistem skor pertandingan bulutangkis kepada Federasi Bulutangkis Dunia (BWF). Kedua federasi itu ingin mengubah format pertandingan dari 3 x 21 menjadi 5 x 11.

Sebenarnya, wacana perubahan sistem skor laga bulutangkis ini sudah terlebih dahulu digulirkan BWF saat Rapat Umum Tahunan 2018. Tetapi saat itu mayoritas peserta rapat menolak perubahan tersebut, termasuk Indonesia.

"Saat voting tahun 2018, kami memang menolak wacana perubahan sistem skor tersebut," kata Bambang Roedyanto, Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri PP PBSI, Minggu (4/4/2021). 

"Itu karena saat itu BWF mau mengubah format secepat mungkin. Hanya ada tiga atau empat uji coba di turnamen kecil, lalu langsung diterapkan. Padahal saat itu kualifikasi Olimpiade 2020 akan dimulai."

"Bila menggunakan format baru, para pemain tidak punya banyak waktu untuk beradaptasi. Selain itu, saat itu BWF juga mengajukan usulan tidak boleh ada pelatih yang mendampingi saat pertandingan. Tentu kami tolak," lanjutnya, melalui rilis yang diterima Bola.com

Bambang Roedyanto yang akrab dipanggil Rudy ini mengungkapkan perubahan sistem skor akan membawa dampak positif bagi kemajuan olahraga tepok bulu. Bukan hanya bagi pemain bulutangkis, tetapi seluruh pihak yang terlibat di dalamnya.

"Saat itu beberapa negara menolak dan inginnya pembahasan ini dilanjutkan setelah Olimpiade. Lalu kami melakukan rapat dengan pengurus dan pelatih, ternyata format sistem skor 5 x 11 akan cocok bagi bulutangkis ke depannya," kata Rudy. 

"Seperti para pemain tidak hanya mengandalkan stamina, durasi pertandingan bisa ditekan menjadi lebih singkat dan dipastikan laga akan seru dari awal," ungkap Rudy.

"Badminton China juga sudah mencoba di kejuaraan nasional mereka pada November 2020 dan statistiknya cukup baik," tambahnya.

Dengan alasan itulah PBSI mengajukan kembali wacana perubahan skor 5 x 11 untuk mengganti format 3 x 21.

"Tentunya setelah Olimpiade Tokyo mendatang, dimulai Januari 2022 dan uji coba selama satu tahun di seluruh level turnamen. Setelah satu tahun, kami juga mengusulkan harus ada feedback dari para pemain," tegas Rudy.

Sumber: BWF, PBSI

Berita Terkait