Striker Skandinavia Kuasai Premier League: Bagaimana Semua Ini Bisa Terjadi?

Mengulas mengapa negara Skandinavia mampu memproduksi striker berkelas, yang kini jadi buruan klub-klub Premier League.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 04 Agustus 2025, 07:15 WIB
Ekspresi kegembiraan striker Manchester City, Erling Haaland, saat laga kontra Sevilla pada matchday pertama Grup G Liga Champions 2022/2023 di Stadion Ramon Sanchez Pizjuan, Rabu (7/9/2022) dini hari WIB. (Cristina Quicler/AFP)

Bola.com, Jakarta - Dalam beberapa musim terakhir, Premier League dan sejumlah liga top Eropa lainnya "dipenuhi" penyerang-penyerang haus gol dari Skandinavia.

Dari Erling Haaland di Manchester City, Alexander Isak di Newcastle, hingga Viktor Gyokeres yang baru bergabung dengan Arsenal, gelombang striker Skandinabia seakan menghidupkan kembali posisi nomor sembilan yang sempat dianggap punah di era sepak bola modern.

Advertisement

Oya, ada sedikit perbedaan antara istilah 'Skandinavia' dengan 'Nordic'.

Merujuk pada Encyclopedia Britannica, Skandinavia umumnya terdiri dari dua negara di Semenanjung Skandinavia, yakni Norwegia dan Swedia, dengan tambahan Denmark. Nah, untuk Nordic, adalah kelompok tiga negara tersebut, plus Finlandia dan Islandia.

Kembali ke perkara stiker dari Skandinavia, tak hanya di Inggris, jejak dominasi striker asal Norwegia, Swedia, dan Denmark juga terlihat jelas di La Liga, Ligue 1, hingga Primeira Liga.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana kawasan yang relatif "kecil" ini mampu menelurkan penyerang-penyerang tajam yang kini jadi buruan klub-klub elite Eropa?


Bangkitnya Kembali Nomor Sembilan dari Utara

Pemain depan Atletico Madrid asal Norwegia, Alexander Sorloth, merayakan gol keempat timnya selama pertandingan sepak bola liga Spanyol antara Club Atletico de Madrid dan Real Valladolid FC di Stadion Metropolitano di Madrid pada 14 April 2025.Pierre-Philippe MARCOU/AFP)

Meski tren taktik modern cenderung menjauh dari peran striker murni, Skandinavia justru menjawab dengan melahirkan banyak penyerang tengah kelas dunia.

Erling Haaland menjadi jantung lini depan Manchester City, mencetak gol demi gol dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa.

Sementara itu, Alexander Isak tampil konsisten bersama Newcastle, dan Gyokeres baru saja mengemas musim luar biasa bersama Sporting Lisbon dengan torehan 54 gol dari 52 laga, yang membuat Arsenal rela menebusnya dengan 64 juta paun.

Nama lain seperti Rasmus Hojlund (Manchester United), Alexander Sorloth (Atletico Madrid), Mika Biereth (Monaco), hingga Jorgen Strand Larsen (Wolves) turut menambah panjang daftar penyerang Skandinavia yang mencuri perhatian.

Setidaknya enam pemain dari kawasan ini mencetak dua digit gol di lima liga top Eropa musim lalu, belum termasuk Gyokeres yang beraksi di Portugal.


Konsistensi Taktis

Viktor Gyokeres, resmi gabung Arsenal dari Sporting CP di musim panas 2025. (Dok. arsenal.com)

Sebagian jawaban mengapa Skandinavia mampu memproduksi striker berkelas, terletak pada filosofi kepelatihan dan konsistensi taktis.

Di Denmark, hampir setiap klub memainkan versi formasi 4-3-3, yang secara alami melibatkan penyerang tengah.

Menurut pelatih asal Jerman, Uwe Rosler, yang pernah melatih Aarhus di Denmark, "hampir setiap tim menggunakan pemain nomor sembilan, yang mungkin menjadi satu di antara alasan mengapa begitu banyak penyerang tengah yang dihasilkan."


Filosofi Latihan yang Membebaskan Insting

Bek Strasbourg, Mamadou Sarr (kanan), mencoba menahan tendangan Mika Biereth dari AS Monaco, pada pertandingan Ligue 1 Prancis di Louis II Stadium, 19 April 2025. (Valery HACHE / AFP)

Keberhasilan ini bukan sekadar kebetulan. Satu di antara kunci utama lainnya adalah pendekatan dalam pengembangan pemain muda yang berbeda dibandingkan negara seperti Inggris.

Bryan King, pemandu bakat legendaris di Skandinavia, pernah mengatakan bahwa akademi-akademi di Inggris terlalu menekankan permainan aman dan penguasaan bola. Sebaliknya, di Norwegia dan Swedia, anak-anak diberi kebebasan untuk bermain, berduel, dan belajar mencetak gol sejak usia dini.

Leif Smerud, mantan pelatih Timnas Norwegia U-21, menyebutnya sebagai "kebebasan dalam berlatih".

Bakat-bakat muda dibiarkan menemukan jati diri mereka sendiri di lapangan, bukan dijadikan "mesin passing" seperti yang kerap terjadi di akademi Inggris yang terlalu banyak meniru filosofi ala Guardiola (disebut "Pepification").


Infrastruktur dan Kesempatan Bermain Sejak Dini

Penyerang Manchester United, Rasmus Hojlund, kembali mandul saat timnya menang 3-2 atas Ipswich Town pada laga pekan ke-27 Premier League di Old Trafford, Kamis (27/02/2025) dini hari WIB. (AP Photo/Dave Thompson)

Angka statistik memperkuat argumen tersebut. Dalam satu dekade terakhir, pemain berusia di bawah 22 tahun memainkan persentase besar dari total penampilan di liga domestik Skandinavia:

  • Superliga Denmark: 20,3%
  • Eliteserien Norwegia: 18,3%
  • Allsvenskan Swedia: 16,3%

Data dari Nogomania tersebut menunjukkan tingginya kepercayaan klub-klub lokal terhadap pemain muda, termasuk di lini serang. Mereka diberi kesempatan tampil, bukan hanya sebagai pelengkap di menit akhir.

Pelatih asal Inggris, Ian Burchnall, menyoroti bahwa "memberi menit bermain pada penyerang muda adalah investasi".

Saat mereka berhasil mencetak gol, nilai pasar langsung melambung, berbeda dengan posisi bek yang butuh waktu lebih lama untuk menarik perhatian pasar transfer.


Bukan Hanya Teknik, tapi Mentalitas

Selebrasi striker AC Milan Zlatan Ibrahimovic sesuai mencetak gol penutup kemenangan 4-0 dari Arsenal pada leg pertama 16 besar Liga Champions di San Siro, Milan, 15 Februari 2012. (AFP PHOTO/GIUSEPPE CACACE)

Ada pula pengaruh budaya yang tak bisa diabaikan: Zlatan Ibrahimovic. Sosoknya yang karismatik, percaya diri, bahkan arogan, bertolak belakang dengan stereotip Skandinavia yang dikenal rendah hati, justru membentuk generasi baru yang punya mental juara.

Haaland secara terbuka menyebut Zlatan sebagai idolanya, dan Isak kerap disebut sebagai "penerus Ibrahimovic".

Perpaduan antara kebebasan bermain, kedisiplinan khas Skandinavia, dan teladan dari figur seperti Zlatan menciptakan striker-striker berkarakter kuat, percaya diri, dan haus gol, kualitas yang kini mulai langka di sepak bola Inggris.


Ketertinggalan Inggris dan Ancaman Masa Depan

Kemampuan Harry Kane dalam urusan mencetak gol memang tak perlu diragukan lagi. Striker asal Inggris ini tetap menunjukkan kualitasnya di Eropa setelah bergabung dengan Bayern Munchen. Sejauh ini ia telah mengemas 10 gol untuk Die Roten di Liga Champions.

Sementara itu, Inggris justru kesulitan mencari penerus Harry Kane. Banyak pemain muda di akademi Premier League terlalu fokus pada aspek taktik dan penguasaan bola, tetapi minim insting mencetak gol.

Ironisnya, banyak sesi latihan bahkan dilakukan tanpa... gawang. Fokus utamanya bukan mencetak gol, melainkan sekadar membangun permainan.

Theo Walcott pernah melontarkan kekesalan: "Kenapa kami tak bisa menemukan nomor sembilan baru?" Pertanyaan ini mencerminkan krisis identitas di level pengembangan pemain muda Inggris.

Namun, Skandinavia juga menghadapi tantangan tersendiri. Uni Eropa berencana melarang penggunaan karet pada rumput sintetis mulai 2031 demi alasan lingkungan.

Ini bisa jadi pukulan telak bagi Norwegia yang sangat bergantung pada lapangan buatan karena cuaca ekstrem. Renovasi lapangan diperkirakan menelan biaya lebih dari 500 juta euro dan dapat mengganggu sistem pembinaan usia dini.


Era Striker Skandinavia Masih Akan Berlanjut

Pemain Newcastle, Alexander Isak merayakan gol kedua timnya ke gawang West Ham United pada laga lanjutan Liga Inggris 2023/2024 di London Stadium, London, Inggris, Minggu (08/10/2023) malam WIB. Isak berhasil mencetak dua gol pada laga tersebut. (AFP/Henry Nicholls)

Meski ada ancaman, dominasi striker-striker Skandinavia belum akan meredup.

Klub-klub besar Eropa sudah jatuh hati pada tipikal penyerang seperti Haaland, Isak, dan Gyokeres, kuat secara fisik, tenang di depan gawang, dan punya naluri gol yang tak bisa diajarkan di papan taktik.

Kisah sukses mereka menjadi sinyal peringatan bagi negara-negara lain: striker nomor sembilan sejati tak bisa diciptakan lewat sistem yang kaku. 

Mereka tumbuh lewat kebebasan bermain, ruang untuk gagal, dan kesempatan untuk mencetak gol, bahkan sejak di lapangan-lapangan kecil bersalju di pinggiran kota.

 

Sumber: Berbagai sumber