Sukses


Zlatan Ibrahimovic Ceritakan Bagaimana Fabio Capello Membentuknya Jadi Pemain yang Ditakuti

Zlatan Ibrahimovic Ceritakan Bagaimana Fabio Capello Membentuknya Jadi Superstar

Bola.com, Jakarta - Zlatan Ibrahimovic mengenang masa awal kariernya di Italia, periode yang menurutnya menjadi titik balik dalam perjalanan menuju status superstar dunia.

Saat pertama kali masuk ruang ganti Juventus pada usia 22 tahun, penyerang asal Swedia itu mengaku seperti hidup dalam mimpi.

"Rasanya seperti berada di dunia fantasi," ucap Ibrahimovic saat berbicara di ajang European Football Clubs Assembly, pekan ini.

"Saya datang dari Ajax, dan tiba-tiba duduk satu ruang dengan (Lilian) Thuram, Buffon, (Fabio) Cannavaro, Del Piero, dan Trezeguet. Seminggu sebelumnya saya masih bermain PlayStation memakai mereka, seminggu kemudian saya sudah bersama mereka di ruang ganti," ungkapnya.

Kini berstatus penasihat di AC Milan, klub yang juga pernah ia bela dalam dua periode, selain rival sekota Inter Milan, Ibrahimovic mengatakan Serie A telah membentuk dirinya menjadi satu di antara penyerang terbaik di dunia.

"Saat saya datang ke Italia, itu liga terbesar di dunia. Semua pemain top ada di sana. Saya masih muda dan, jujur saja, saya belum banyak menghormati siapa pun karena ingin membuktikan diri," ujar mantan kapten Timnas Swedia itu.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 6 halaman

Pelajaran Keras dari Capello

Kisah paling berkesan baginya datang saat bertemu Fabio Capello, pelatih Juventus ketika itu. Ia masih ingat betul pertemuan pertama mereka terjadi di meja sarapan tim.

"Dia sedang membaca Gazzetta dello Sport. Saya menyapanya, 'Selamat pagi, Mister.' Tapi, dia tidak merespons sama sekali. Saya pikir, 'Wah, saya salah bicara'. Lalu saya diam. Lima, sepuluh menit kemudian, dia menaruh koran dan pergi begitu saja. Saya cuma bisa bilang, 'Wow, ini level yang berbeda,'" tutur Ibrahimovic.

Namun, dari situlah hubungan mereka berkembang. Capello akhirnya memercayainya, dan Ibrahimovic membayar kepercayaan itu dengan mencetak 16 gol di Serie A musim tersebut.

"Saya pernah bertanya kepadanya, 'Bagaimana caranya mendapat rasa hormat dari tim yang berisi pemain kelas dunia seperti ini?' Ia menjawab, 'Saya tidak meminta rasa hormat. Saya mendapatkannya.' Dan, itulah yang ia lakukan kepada saya saat sarapan hari itu," kenangnya.

3 dari 6 halaman

Tentang Mourinho, Guardiola, dan Ancelotti

Ibrahimovic menyebut Capello sebagai sosok yang keras dan disiplin, tetapi justru itulah yang membentuk mentalnya.

"Dia membesarkan saya, lalu menjatuhkan saya ke tanah. Suatu hari, saya bisa jadi pemain terbaik di dunia, besoknya bisa dianggap yang terburuk. Dia tahu cara memancing emosi dan memainkan pikiran saya agar tampil maksimal," ujarnya.

"Dia membentuk mental saya. Dari manusia biasa, saya jadi seekor binatang," tambahnya.

Dua gelar Serie A yang ia raih bersama Juventus di bawah Capello kemudian dicabut akibat skandal Calciopoli. Meski begitu, Ibrahimovic melanjutkan suksesnya dengan menjuarai Serie A lima kali, tiga bersama Inter Milan dan dua bersama AC Milan.

Selama karier panjangnya, Ibrahimovic juga sempat bekerja di bawah deretan pelatih top dunia: Jose Mourinho di Inter dan Manchester United, Pep Guardiola di Barcelona, serta Carlo Ancelotti di Paris Saint-Germain (PSG).

"Mereka semua mengubah permainan dengan caranya masing-masing," kata Ibrahimovic.

"Karena saya berpindah banyak klub, saya punya banyak pelatih hebat," katanya lagi.

4 dari 6 halaman

Arsitek PSG

Ibrahimovic juga menyinggung masa-masanya di PSG, klub yang ia perkuat sejak awal era kepemilikan Qatar pada 2012.

"Saya akan tetap mengatakan, saya adalah arsitek klub itu," ujarnya.

"Luar biasa melihat bagaimana PSG berkembang dari awal hingga seperti sekarang."

Ia mengaku ikut bahagia ketika PSG akhirnya meraih gelar Liga Champions musim lalu, trofi yang tak pernah ia menangkan sepanjang kariernya.

"Semua orang tahu saya tidak pernah juara Liga Champions, itu bukan rahasia," katanya.

"Tapi, justru orang akan lebih mengingat saya karena tidak memenangkannya dibanding 90 persen pemain yang pernah juara," cetus pemain yang kini berusia 44 tahun ini.

5 dari 6 halaman

Kerja Keras Lebih Penting dari Bakat

Dikenal dengan gol-gol spektakuler dan gaya bermain akrobatik, Ibrahimovic menegaskan bahwa kesuksesannya bukan hanya karena bakat.

"Itu seperti mode bertahan hidup, dan saya membawanya ke lapangan," ujarnya.

"Menurut saya, 50 persen ada di pikiran. Bakat saja tidak cukup. Bakat bisa membuatmu terlalu percaya diri, tapi kerja keraslah yang membawa keberhasilan. Tanpa kerja keras, kamu tidak akan sampai ke puncak."

6 dari 6 halaman

Kalau Sekarang, Saya Sudah Jadi Miliarder

Selama karier profesionalnya, Ibrahimovic bermain di sembilan klub berbeda, dari Malmo hingga LA Galaxy, sebelum menutup kariernya bersama Milan pada 2023.

Ia tetap menghormati pemain seperti Alessandro Del Piero dan Francesco Totti yang setia di satu klub, tetapi menilai tantangan sebenarnya justru ketika harus membuktikan diri di tempat baru.

"Tantangannya adalah saat kamu membawa koper dan datang ke 'halaman' orang lain untuk membuktikan diri. Itu berbeda, negara lain, budaya lain, klub lain," katanya.

Dan dalam gaya khasnya yang penuh percaya diri, Ibrahimovic menutup,

"Kalau saya memulai karier sekarang, saya bukan lagi jutawan… saya pasti sudah jadi miliarder."

 

Sumber: AP News

Video Populer

Foto Populer