Bola.com, Jakarta - Di tengah cadangan beras nasional yang mencapai 4,2 juta ton, harga beras di pasaran justru meroket hingga Rp17.000 per kilogram.
Kondisi ini dinilai tidak wajar, terlebih kualitas beras yang beredar masuk kategori rendah dengan kadar patah mencapai 30–59 persen.
Koordinator Aliansi Masyarakat Penyelamat Pertanian Indonesia (AMPPI), Debi Syahputra, menuding ada praktik manipulasi harga yang dilakukan produsen besar.
"Seharusnya harga beras jenis itu hanya sekitar Rp12.000 per kilogram. Konsumen sedang ditipu Rp5.000 per kilo. Bayangkan, jika yang dijual mencapai 2 juta ton, kerugian publik bisa tembus Rp10 triliun. Ini bukan soal stok atau produksi, ini murni ulah mafia pangan yang menahan pasokan dan mengatur pasar demi keuntungan pribadi. Dasar mafia!" tegas Debi, beberapa hari lalu.
Narasi di Balik Kenaikan Harga
Debi menyebut, para pendukung produsen besar kini gencar membangun opini di media sosial, podcast, maupun forum diskusi. Mereka kerap menggiring isu soal beras oplosan, menuding harga pembelian pemerintah (HPP) gabah terlalu tinggi hingga menyalahkan Bulog.
"Faktanya, Bulog hanya menyerap 8 persen, sedangkan swasta menguasai 92 persen. Jadi, jelas siapa yang sebenarnya mengendalikan pasar. Pendukung mafia ini menyerang balik karena gagal meraup untung besar," katanya.
Ia juga membantah klaim sejumlah pengamat yang menyebut pangsa beras premium hanya 5 persen.
Menurut data BPS, porsinya mencapai 39,75 persen. Bahkan hasil temuan Kementerian Pertanian menegaskan, beras dengan kadar patah di atas 30 persen seharusnya dikategorikan beras biasa, bukan premium.
Padahal, harga gabah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sudah mulai turun. Namun, produsen besar tetap menjaga harga tinggi dengan membeli gabah di atas harga pasar, langkah yang dinilai bertujuan melemahkan penggilingan kecil dan menengah.
Struktur Penggilingan yang Timpang
Debi sependapat dengan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, soal timpangnya struktur industri penggilingan padi. Produksi nasional hanya sekitar 65 juta ton gabah kering panen, sementara kapasitas penggilingan kecil mencapai 116 juta ton per tahun.
Namun, sejak dua dekade terakhir, ribuan penggilingan besar bermunculan dengan kapasitas tambahan 50 juta ton. Kondisi ini membuat penggilingan kecil makin tersisih.
"Mereka sanggup membeli gabah Rp7.000, sementara penggilingan kecil hanya bisa Rp6.500–Rp6.700. Akibatnya, usaha kecil mati, harga beras melonjak, dan rakyat menjadi korban. Ini bentuk ketidakadilan ekonomi, konglomerat menindas pelaku kecil," cetus Debi.
Menurutnya, fenomena ini justru berlawanan dengan hukum pasar.
"Stok melimpah harusnya bikin harga turun. Tapi, yang berlaku hukum rimba: yang besar memangsa yang kecil. Presiden bahkan menyebutnya 'serakahnomic'," ucap Debi.
Pergeseran Pola Pasar
Debi juga menyoroti perubahan pola penjualan beras. Setelah pasokan premium dikurangi di ritel modern, penjualan di pasar tradisional justru meningkat.
"Kalau supermarket kosong dan produsen besar berhenti, itu berkah untuk pedagang tradisional. Mentan juga bilang, kalau distribusi adil dan mafia ditekan, harga bisa normal. Pasar rakyat yang diuntungkan, bukan kartel," jelasnya.
Ia mendesak pemerintah bertindak tegas dengan UU Perdagangan untuk menghukum penimbun dan pelaku manipulasi harga.
"Rakyat sudah tahu permainan ini. Jangan beri ruang bagi mafia menguasai kebutuhan pokok," ucapnya.
Kritik Soal Subsidi dan Swasembada
Debi mengingatkan soal subsidi besar yang digelontorkan negara. Tahun ini nilainya Rp155 triliun, tahun depan diperkirakan naik jadi Rp164,4 triliun.
"Kalau setengahnya saja terealisasi, berarti ada Rp75 triliun dipakai, tapi hasilnya justru beras oplosan kualitas rendah yang menipu konsumen. Ini benar-benar keterlaluan."
Ia menegaskan, klaim swasembada beras Indonesia didukung lembaga internasional seperti FAO dan USDA, serta data BPS.
"Kalau masih ada yang meragukan, itu sesat pikir dan lemah nasionalisme," lanjutnya.
Praktik Pengoplosan dan Kritik Presiden
Debi mengutip pernyataan Joao Angelo De Sousa Mota, yang mundur dari jabatan Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara. Joao menuding penggilingan besar berani menjual beras oplosan dengan kualitas mayoritas tidak layak.
"Penggilingan besar menyerbu petani kecil yang mendapat subsidi. Mereka membeli gabah murah dari petani bersubsidi, lalu dijual mahal. Ada invasi luar biasa terhadap petani kita," kata Joao.
Keresahan ini turut disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR–DPR, Jumat lalu.
"Sungguh aneh, negara memberi subsidi, pupuk, alat pertanian, bahkan beras, tapi, harga pangan tetap mahal dan sulit dijangkau rakyat," ujar Presiden.
Presiden menegaskan, penggilingan besar harus diawasi ketat dan wajib mengantongi izin khusus.
"Kalau mereka tidak bisa bertindak adil, jangan bermain di atas kebutuhan dasar rakyat Indonesia. Kalau tidak, silakan pindah ke sektor lain."
Menurut Presiden, langkah ini perlu untuk melindungi kebutuhan pokok rakyat dan memastikan sektor vital tidak dikuasai segelintir pemain besar yang hanya mengejar keuntungan pribadi.
Sumber: merdeka.com