Bola.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, baru-baru ini mencurahkan isi hatinya. Dia merasa sangat disayangkan tidak diperbolehkan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai Presiden AS.
"Saya memiliki angka jajak pendapat tertinggi yang pernah saya miliki, dan Anda tahu, berdasarkan apa yang saya baca, saya rasa saya tidak diizinkan untuk mencalonkan diri, jadi kita lihat saja nanti. Sayang sekali," kata Trump seperti dikutip dari Reuters, Rabu (29/10).
Pernyataan ini muncul setelah Ketua DPR AS, Mike Johnson, menegaskan tidak ada celah hukum bagi Trump untuk kembali menjabat setelah dua periode. Trump mengungkapkan hal tersebut kepada wartawan di pesawat Air Force One dalam perjalanan dari Jepang menuju Korea Selatan.
Pernyataan ini menggarisbawahi realitas konstitusional yang membatasi masa jabatan presiden di AS, yang seringkali menjadi bahan perbincangan. Meskipun Trump mengakui Konstitusi AS cukup jelas dalam melarangnya untuk mencalonkan diri lagi, ia tidak menyembunyikan keinginannya untuk kembali memimpin.
Situasi ini memicu diskusi mengenai batasan kekuasaan dan mekanisme demokrasi di Negeri Paman Sam.
Ketua DPR Mike Johnson, yang dikenal dekat dengan Trump, telah membahas isu ini secara langsung dengan Trump. Johnson menjelaskan Amandemen ke-22 Konstitusi AS secara tegas melarang presiden menjabat lebih dari dua periode. Batasan ini merupakan pilar penting dalam sistem pemerintahan AS, dirancang untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
Keinginan Tersembunyi
Donald Trump secara eksplisit mengungkapkan kekecewaannya karena tidak dapat maju dalam pemilihan presiden untuk kali ketiga. Ia menyebut situasi ini 'sangat disayangkan' saat berbicara dengan awak media di pesawat kepresidenan. Pernyataan tersebut mengkonfirmasi pemahamannya terhadap batasan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Meski demikian, Trump seringkali melontarkan candaan atau pernyataan ambigu tentang perpanjangan masa jabatannya selama kampanye.
Ia bahkan pernah terlihat mengenakan topi bertuliskan 'Trump 2028', yang memicu spekulasi dan perdebatan di kalangan publik. Keinginan tersembunyi ini menunjukkan ambisi politiknya yang kuat.
Komentar Trump ini sejalan dengan beberapa klaim sebelumnya. Ia pernah menyatakan ingin 'menjabat lagi, bahkan secara keliru mengklaim memiliki 'angka terbaik yang pernah ada' selama masa kepresidenannya. Ini menggambarkan bagaimana isu masa jabatan ketiga terus menjadi bagian dari narasi politiknya, meskipun secara konstitusional tidak mungkin.
Amandemen ke-22, Pilar Konstitusi AS
Pembatasan masa jabatan presiden di Amerika Serikat diatur secara tegas melalui Amandemen ke-22 Konstitusi. Amandemen ini menyatakan tidak seorang pun boleh dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali. Aturan ini merupakan landasan penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mencegah tirani.
Amandemen ke-22 diratifikasi pada tahun 1951, sebagai respons terhadap empat periode masa jabatan Franklin D. Roosevelt yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan ini mencerminkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika seorang presiden dapat menjabat tanpa batas waktu. Batasan dua periode menjadi norma yang tidak dapat diganggu gugat.
Ketua DPR Mike Johnson telah menegaskan kembali pentingnya Amandemen ke-22 ini. Ia menjelaskan bahwa konstitusi ini adalah batasan yang jelas dan tidak dapat diabaikan. Pemahaman akan amandemen ini sangat krusial untuk memahami dinamika politik dan hukum di AS terkait masa jabatan presiden.
Meskipun Konstitusi AS sangat jelas, ide tentang Trump menjabat periode ketiga seringkali menjadi bahan spekulasi dan diskusi di antara para pendukungnya. Beberapa sekutu dekat Trump, seperti mantan manajer kampanye Steve Bannon, bahkan sempat menggaungkan gagasan masa jabatan ketiga dan mengklaim adanya 'rencana' untuk mewujudkannya.
Namun, Ketua DPR Mike Johnson dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada jalur realistis untuk mengubah Konstitusi dalam waktu dekat. Proses perubahan Amandemen Konstitusi sangatlah rumit dan membutuhkan persetujuan mayoritas dua pertiga di kedua majelis Kongres, serta ratifikasi oleh setidaknya 38 dari 50 negara bagian. Proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Menolak Skenario Maju Jadi Wakil Presiden
Johnson juga meremehkan kekhawatiran para pengkritik Trump yang menyebut potensi masa jabatan ketiga sebagai 'bencana demokrasi'. Realitas hukum dan politik menunjukkan perubahan fundamental terhadap konstitusi seperti ini hampir tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat.
Sebuah spekulasi lain yang sempat muncul adalah kemungkinan Trump mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada 2028. Dalam skenario ini, pasangannya akan mengundurkan diri setelah terpilih, sehingga Trump bisa kembali menjabat presiden. Secara teknis, menjadi wakil presiden tidak melanggar Amandemen ke-22.
Namun, Donald Trump telah menepis ide ini, menyebutnya 'terlalu mengada-ada' dan 'rakyat pasti tak akan menerimanya'. Meskipun secara hukum diperbolehkan, ia menyatakan tidak akan melakukannya. Penolakan ini menunjukkan bahwa ia tidak melihat skenario tersebut sebagai pilihan yang realistis atau dapat diterima secara politik.