Bola.com, Jakarta - Puluhan ribu pria ultra-Ortodoks memenuhi pintu masuk Kota Yerusalem pada Kamis (30-10-2025), dalam demonstrasi besar menentang rencana penerapan wajib militer bagi komunitas mereka.
Massa berpakaian serba hitam itu bernyanyi, bertepuk tangan, dan mengibarkan spanduk bertuliskan penolakan terhadap kebijakan pemerintah Israel.
Banyak di antara mereka menyatakan lebih rela dipenjara daripada harus menjalani dinas militer.
Untuk mengamankan situasi, pihak berwenang menutup jalan raya utama menuju Yerusalem dan menurunkan lebih dari 2.000 petugas keamanan.
Arus lalu lintas terhenti, dan sebagian besar aktivitas kota lumpuh akibat membeludaknya massa.
Dalam pernyataannya, kepolisian Israel menyebut seorang remaja tewas setelah terjatuh dari gedung yang sedang dibangun di dekat lokasi unjuk rasa.
"Peristiwa itu terjadi saat demonstrasi yang sebagian besar berlangsung damai," demikian laporan Associated Press.
Aksi Khusus Laki-Laki
Demonstrasi kali ini sepenuhnya dihadiri kaum laki-laki, sesuai aturan kesopanan ketat yang diterapkan komunitas ultra-Ortodoks, melarang pria dan perempuan yang belum menikah untuk bercampur di ruang publik.
Satu area kecil disediakan untuk peserta perempuan.
Seorang reporter perempuan dari Channel 12 Israel sempat diusir ketika mencoba meliput jalannya aksi.
Setelah berlangsung selama beberapa jam, kepolisian akhirnya menembakkan meriam air untuk membubarkan massa.
Komunitas Yahudi ultra-Ortodoks, dikenal sebagai haredi (jamak: haredim), merupakan kelompok yang menjalankan ajaran dan tradisi agama secara ketat, sekaligus menolak pengaruh modernitas dan budaya sekuler.
Sekitar 1,3 juta orang atau 13 persen populasi Israel termasuk dalam kelompok ini.
Ketegangan di Tengah Perang
Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, sebagian kecil haredim dibebaskan dari wajib militer untuk fokus belajar di lembaga pendidikan agama. Namun, berkat pengaruh politik partai-partai religius, jumlah penerima pengecualian meningkat drastis selama beberapa dekade.
Pada 2017, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa kebijakan pengecualian tersebut tidak sah secara hukum. Meski begitu, pemerintah terus memperpanjang aturan lama tanpa menghasilkan undang-undang baru, memicu ketegangan antara kelompok sekuler dan religius.
Hingga kini, tidak ada kejelasan hukum yang mengatur status wajib militer bagi komunitas haredi.
Isu ini kembali mencuat di tengah konflik berkepanjangan di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 900 tentara Israel. Militer menilai kebutuhan personel baru sangat mendesak, sementara ribuan tentara cadangan telah bertugas berbulan-bulan tanpa jeda.
Pada 2025, militer mengirimkan surat panggilan wajib militer kepada sekitar 80.000 pria haredi berusia 18-26 tahun. Namun, dari jumlah itu, hanya sekitar 3.000 orang yang benar-benar mendaftar tahun sebelumnya.
Ancaman Politik bagi Netanyahu
Persoalan wajib militer bagi kaum haredi kini menjadi ancaman serius bagi stabilitas pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Ia bergantung pada dukungan partai-partai ultra-Ortodoks dalam koalisi pemerintahannya.
Namun, dorongan mereka untuk mengesahkan undang-undang yang secara permanen membebaskan warga haredi dari dinas militer berpotensi mengguncang koalisi dan memicu pemilu dini.
Dua partai religius sempat keluar dari koalisi pada musim panas lalu sebagai bentuk protes terhadap rancangan undang-undang wajib militer, meski belakangan tetap memberi dukungan dalam beberapa kebijakan penting.
Menurut Lahav Harkov, peneliti senior Misgav Institute for National Security, isu ini telah menyebabkan beberapa kali pemilu dini dalam dekade terakhir.
Ia menilai tekanan politik saat ini bisa memaksa Netanyahu menggelar pemilu lebih cepat dari jadwal resmi, November tahun depan.
RUU Wajib Militer Jadi Pemicu
Gelombang protes terbaru dipicu oleh keputusan pemerintah untuk memasukkan rancangan undang-undang wajib militer ke agenda pembahasan komite Knesset pekan depan. Langkah ini menjadi tahap awal sebelum rancangan tersebut diajukan ke sidang pleno untuk pemungutan suara.
Menurut Shuki Friedman, Wakil Presiden Jewish People Policy Institute, anggota Knesset dari kelompok haredi gagal memenuhi dua tuntutan utama mereka: pengecualian permanen dari wajib militer dan peningkatan anggaran bagi komunitas religius.
Beberapa putusan Mahkamah Agung telah memangkas dana bantuan yang selama ini memungkinkan pria haredi belajar penuh waktu dengan tunjangan pemerintah. Upaya mencari sumber pendanaan alternatif sementara juga mulai menemui kendala.
"Ini adalah bentuk protes terhadap pemerintah sekaligus peringatan bagi oposisi untuk menunjukkan seberapa kuat pengaruh politik mereka," ujar Friedman.
"Para pemimpin haredi khawatir akan muncul perpecahan di dalam komunitas mereka sendiri karena sebagian mulai mendorong kompromi terkait wajib militer. Karena itu, demonstrasi ini menjadi ajang unjuk kekuatan bersama untuk menolak segala bentuk kompromi," imbuhnya.
Sumber: merdeka.com