Bola.com, Jakarta - Curacao mencetak sejarah besar di sepak bola dunia setelah memastikan langkah ke Piala Dunia 2026. Negara kecil di Kepulauan Karibia yang berpenduduk sekitar 185 ribu jiwa itu merayakan pencapaian monumental dengan luapan emosi yang seakan memenuhi seperempat lapangan di Kingston, Jamaika. Momen itu menjadi penanda perjalanan panjang sebuah tim yang selama bertahun-tahun hanya dianggap sebagai penggembira di kawasan Concacaf.
Status mereka sebagai negara dengan populasi paling kecil yang pernah lolos ke Piala Dunia langsung menggeser rekor yang dipegang Islandia pada 2018. Bagi Curacao, ini bukan sekadar kelolosan, tetapi bukti bahwa mimpi yang dirawat selama dua dekade dapat terbayar tuntas. Dukungan besar juga mengalir dari kampung halaman, hingga dua pesawat khusus diterbangkan demi membawa kelompok suporter militan yang disebut sang kapten, Leandro Bacuna, sebagai “ultras”.
Meski demikian, Curacao tetap menjadi minoritas di Stadion Nasional Jamaika. Dari sekitar 35 ribu penonton, hampir semuanya mengenakan warna kuning khas tuan rumah. Hanya sebidang kecil sudut stadion yang berubah menjadi benteng biru tempat suporter Curacao mengibarkan bendera dan meneriakkan dukungan tanpa henti. Atmosfernya intens, seolah membawa pertandingan gugur yang mempertaruhkan seluruh sejarah sepak bola negara itu.
Keberhasilan ini juga berlangsung di tengah situasi emosional. Pelatih Dick Advocaat, figur legendaris asal Belanda, tak berada di stadion karena pulang ke negaranya untuk mendampingi sang istri yang sedang sakit. Namun ia tetap mengikuti pertandingan, berkoordinasi dengan para asistennya, terutama wakil pelatih Dean Gorre. Begitu laga berakhir, pesan singkat dari Advocaat masuk ke ruang tim, berisi ucapan selamat disertai kekaguman mendalam atas pencapaian yang dinilainya sebagai “petualangan luar biasa”.
Jejak Panjang Advocaat dan Proyek Besar yang Ia Kejar
Advocaat bukan nama sembarangan. Di usia 78 tahun, ia masih menunjukkan energi dan ambisi yang tidak kalah dari pelatih jauh lebih muda. Ia sebelumnya pernah membawa Belanda ke Piala Dunia 1994, menangani Korea Selatan pada 2006, serta memimpin Rusia di Euro 2012. Empat dekade perjalanan di turnamen besar membuatnya paham benar bagaimana mengarahkan tim kecil melewati batas ekspektasi.
Presiden Federasi Sepak Bola Curacao, Gilbert Martina, mengungkapkan bahwa proyek menuju Piala Dunia sebenarnya telah dirancang sejak 2023. Ia bahkan menghubungi sejumlah pelatih papan atas Belanda. Bert van Marwijk menjadi kandidat pertama, namun menolak karena sudah pensiun. Louis van Gaal, kandidat kedua, menolak dengan alasan hanya tertarik melatih negara yang bisa menjadi juara dunia.
Ketika dua nama itu absen, giliran Advocaat yang justru menghubungi Martina. Ia mengatakan bahwa dirinya “tersedia” untuk memimpin proyek tersebut. Respons itu membuat Martina merinding, terlebih karena ia tahu kredibilitas Advocaat akan memudahkan federasi mencari sponsor, membuka akses ke pemain diaspora, serta memupuk optimisme masyarakat Curacao.
Martina menegaskan bahwa semangat Advocaat tidak pernah luntur. Setiap sesi latihan, ia selalu hadir sebagai sosok yang berteriak, mengarahkan, dan memastikan tidak ada satu pemain pun yang tertinggal dalam sistem permainan yang ia inginkan.
Ikatan Belanda dan Tim Diaspora yang Menebus Mimpi Lama
Hubungan Curacao dan Belanda sudah terjalin sejak era kolonial pada abad ke-17. Meski kini menjadi negara mandiri, Curacao tetap berada dalam Kerajaan Belanda, dan hubungan itu membuka jalan bagi federasi untuk membangun tim nasional lewat pemain-pemain keturunan Curacao yang lahir atau berkembang di Belanda.
Dari skuad saat ini, hanya Tahith Chong yang benar-benar lahir di Curacao. Selebihnya berasal dari Belanda, namun memiliki akar keluarga yang kuat di tanah Karibia. Leandro Bacuna menjadi pemain paling dikenal. Mantan gelandang Aston Villa itu kini berusia 34 tahun dan sudah mencatat 68 caps, terbanyak dalam sejarah Curacao. Adiknya, Juninho Bacuna, juga memperkuat tim dan kini bermain di Turki.
Proses perekrutan pemain diaspora sudah dimulai sejak 2004 ketika presiden federasi saat itu, Jean Francisco, memulai langkah untuk membawa talenta profesional ke tim nasional. Sebelum itu, Curacao lebih mengandalkan pemain lokal yang tidak profesional. Setelah pembenahan panjang, mereka kini memiliki generasi yang lebih matang, lengkap dengan pemain yang berkarier di Belanda, Inggris, Turki, dan Israel.
Leandro Bacuna mengatakan bahwa proyek ini dimulai dari “sebuah mimpi kecil”. Namun semakin banyak pemain yang datang, semakin kuat pula ikatan emosional dalam skuad. Menurutnya, para pemain tetap memiliki keluarga besar di Curacao, membuat tekanan dan dukungan semakin terasa menjelang pertandingan-pertandingan besar.
Perjalanan Berat di Kualifikasi dan Ketenangan ala Advocaat
Curacao menempuh jalan panjang menuju Piala Dunia 2026. Mereka menuntaskan fase awal dengan sempurna, memenangkan empat laga di grup yang berisi Haiti, Saint Lucia, Aruba, dan Barbados. Di fase berikutnya, mereka menahan imbang Trinidad & Tobago dua kali, mengalahkan Bermuda dua kali termasuk kemenangan tandang 7-0, serta mengalahkan Jamaika di laga kandang.
Semua itu lahir lewat gaya bermain yang mengandalkan organisasi, disiplin, serta efisiensi. Hal tersebut sesuai dengan filosofi Advocaat yang menekankan bahwa di kualifikasi, “setiap pertandingan adalah final”. Martina menilai pengalaman Advocaat sangat menentukan. Bagi sang presiden, pelatih berpengalaman adalah kunci untuk mempersiapkan tim berdasarkan target hasil, bukan sekadar perkembangan permainan.
Juninho Bacuna mengatakan bahwa banyak pemain sudah bersama sejak lama sehingga koneksi mereka terbentuk secara natural. Mereka membawa dasar-dasar sepak bola Belanda yang menekankan pemahaman ruang, perpaduan teknik, dan kerja sama.
Menurutnya, perubahan terbesar di tangan Advocaat justru terjadi di luar lapangan, terutama soal profesionalisme dan persiapan mental. Ia menekankan bahwa tim kini punya mentalitas baru: “Jika tidak bisa menang, pastikan tidak kalah”.
Drama di Kingston dan Keajaiban yang Ditunggu Satu Negara
Laga penentuan melawan Jamaika berlangsung menegangkan. Jamaica tiga kali mengenai tiang gawang dari bola mati, sementara Curacao sempat hampir mencuri gol lewat serangan balik. Penjaga gawang Andre Blake beberapa kali membuat kesalahan, namun selalu bisa menyelamatkan situasi.
Drama mencapai puncaknya ketika wasit Ivan Barton menunjuk titik putih untuk Jamaika. Kerumunan penonton bergemuruh, tetapi VAR membatalkan penalti tersebut. Pelatih Jamaika, Steve McClaren, duduk terdiam selama beberapa menit setelah peluit akhir berbunyi, lalu memutuskan mengundurkan diri meski Jamaika masih bisa lolos lewat jalur playoff.
Sementara itu, hasil imbang saja sudah cukup mengantar Curacao ke Piala Dunia. Begitu pertandingan berakhir, euforia meledak. Para pemain berlari ke arah tribune kecil suporter mereka, sebagian menangis, sebagian saling berpelukan.
Menjelang pertandingan, Leandro Bacuna sudah merasakan sesuatu. Ia berkata kepada Kenji Gorre bahwa ia bermimpi Curacao lolos sekitar dua atau tiga pekan sebelumnya. Ia mengaku ingin pertandingan terakhir segera datang agar beban batin itu lekas hilang.
Sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Curacao benar-benar sampai di ajang terbesar sepak bola dunia.