Bola.com, Jakarta - Setiap kali bursa transfer dibuka, euforia selalu meluap. Aktivitas belanja pemain klub-klub Liga Inggris makin dipandang sebagai tolok ukur kesuksesan, seolah-olah urusan teknis di lapangan dapat ditebak hanya dari transaksi yang mereka lakukan.
Namun, sepak bola tetap dimainkan di atas rumput, bukan di atas kertas. Pengeluaran besar dan sederet nama mentereng ternyata tak menjamin hasil gemilang.
Sejumlah klub yang pernah dipuji karena "memenangi bursa transfer" justru merasakan pahitnya ekspektasi berlebihan. Ya, sepanjang musim, klub-klub ini "menderita".
Siapa saja? Berikut lima contoh paling menonjol.
5. Everton (2019/2020)
Pada masa ketika mereka masih gemar menghamburkan uang, Everton mengawali musim panas 2019 dengan belanja besar. Moise Kean, Fabian Delph, Andre Gomes, hingga Alex Iwobi datang dengan sambutan positif.
Namun, hasilnya jauh dari harapan. Performa jeblok membawa Everton jatuh ke zona degradasi, memaksa manajemen memecat Marco Silva pada Desember.
Carlo Ancelotti kemudian masuk sebagai pengganti, sebuah keputusan yang hingga kini terasa aneh jika melihat prestasi besar dalam CV-nya.
Ironisnya, musim panas itu menjadi kali terakhir Everton bebas belanja. Setelahnya, kesalahan transfer membuat klub terbelit pembatasan finansial dan harus berkutat hanya untuk bertahan di Premier League.
Upaya tersebut baru benar-benar bertahan hingga mereka pindah ke Hill Dickinson Stadium pada 2025.
4. West Ham United (2024/2025)
Setelah mengakhiri era David Moyes, West Ham membangun optimisme baru dengan mendukung Julen Lopetegui lewat belanja lebih dari 150 juta paun (Rp3.3 triliun).
Rekrutan seperti Niclas Fullkrug, Aaron Wan-Bissaka, Maximilian Kilman, Crysencio Summerville, Guido Rodriguez, Carlos Soler, dan Jean-Clair Todibo diproyeksikan membawa angin segar.
Namun, performa tak kunjung membaik. Deretan permainan buruk membuat Lopetegui didepak pada awal Januari, meninggalkan The Hammers dalam ancaman degradasi.
Graham Potter kemudian ditunjuk, sebuah keputusan yang terbukti tidak realistis dan justru menyeret mereka dalam krisis berkepanjangan.
Hingga kini, West Ham masih terjebak di papan bawah dengan keuangan terbatas dan skuad yang timpang.
3. Manchester United (2021/2022)
Memasuki musim baru, Ole Gunnar Solskjaer memperkuat timnya dengan Raphael Varane dan Jadon Sancho. Skuad yang mengakhiri 2020/2021 di posisi kedua tampak siap melaju lebih jauh.
Semua berubah ketika Cristiano Ronaldo kembali secara dramatis pada akhir Agustus.
Suporter bersorak karena berhasil "membajak" Ronaldo dari incaran Manchester City, tetapi kehadirannya justru membuat keseimbangan taktik Solskjaer berantakan. Ronaldo tetap mencetak 18 gol liga, tetapi MU merosot ke posisi enam dan mengalami sejumlah kekalahan memalukan.
Solskjaer dipecat pada November setelah kalah 1-4 dari Watford. Ralf Rangnick, pelatih sementara, menyebut skuad MU butuh "operasi jantung terbuka".
Tiga tahun berlalu, operasi itu ternyata gagal total. MU justru makin jauh dari standar kejayaan mereka.
2. Liverpool (2025/2026)
Liverpool menutup musim 2024/2025 sebagai juara Premier League yang dominan. Alih-alih mempertahankan stabilitas, mereka menghamburkan lebih dari 400 juta paun (Rp8.8 triliun) untuk memperdalam skuad.
Dari sekian banyak pemain, baru Hugo Ekitike, yang dibeli 69 juta paun, yang tampil meyakinkan. Dua full-back baru, Milos Kerkez (40 juta paun) dan Jeremie Frimpong (29 juta paun), kesulitan tampil konsisten dan membuat lini belakang goyah.
Paling disorot tentu dua rekrutan termahal: Florian Wirtz (100 juta paun) dan Alexander Isak (125 juta paun). Keduanya hanya sesekali menunjukkan performa yang setimpal dengan harga selangit.
Lebih jauh, muncul kesan bahwa Arne Slot belum menemukan kombinasi terbaik timnya, juga belum mampu melepaskan Liverpool dari pola khas era Klopp yang selama ini menjadi fondasi sukses klub.
Akibatnya fatal. The Reds terpuruk di posisi kedelapan dengan sederet hasil memalukan, sementara Mohamed Salah berada dalam kondisi "pemberontakan terbuka".
Perbaikan mungkin masih bisa dilakukan, tetapi situasinya kini benar-benar kacau.
1. Southampton (2022/2023)
Pada musim panas 2022, ketika Manchester City mendatangkan Erling Haaland, justru Southampton yang dipuji sejumlah jurnalis ternama sebagai pemenang bursa transfer.
Meski hanya meraih satu kemenangan dari 12 laga terakhir musim sebelumnya, Ralph Hasenhuttl mendapat dukungan penuh lewat gelombang pemain muda berbakat sebagai bagian dari perombakan skuad.
Hasilnya? Hampir tak ada perubahan. Southampton tetap bergulat di papan bawah. Hasenhuttl didepak pada November, Nathan Jones membuat keadaan makin buruk, dan The Saints mengakhiri musim sebagai juru kunci dengan hanya 25 poin.
Mereka memang langsung promosi kembali, tetapi kembali pula finis di posisi terbawah pada 2025, kali ini dengan hanya 12 poin.
Sementara itu, Haaland membawa Manchester City meraih treble. Terkadang, pilihan yang tampak jelas memang justru yang paling tepat.
Sumber: Planet Football