Alasan Roy Keane Tak Pernah Memaafkan Sir Alex Ferguson

Mengapa Roy Keane tidak akan pernah memaafkan Sir Alex Ferguson.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 18 Desember 2025, 15:00 WIB
Manajer Manchester United, Alex Ferguson (kanan), dan manajer Sunderland, Roy Keane, meninggalkan lapangan setelah pertandingan Premier League mereka di Old Trafford, Manchester, Inggris barat laut, 1 September 2007. Manchester menang 1-0. (FOTO AFP/ANDREW YATES)

Bola.com, Jakarta - Siapa pun yang mengikuti pernyataan Roy Keane tentang Sir Alex Ferguson akan langsung menyadari bahwa hubungan keduanya telah retak sejak lama.

Mantan gelandang Manchester United yang kini berkiprah sebagai pengamat atawa pundit tu berulang kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap mantan manajernya, dan sikap tersebut tampaknya tak pernah berubah, meski waktu terus berjalan.

Advertisement

Padahal, Keane dan Ferguson pernah menjadi duet yang sangat sukses. Keane menjabat kapten MU dan menguasai lini tengah pada satu di antara periode paling gemilang dalam sejarah klub.

Sepanjang dekade 1990-an hingga awal 2000-an, Setan Merah menjadi kekuatan dominan di Inggris dan Eropa, dengan Keane hampir selalu menjadi sosok sentral di bawah kepemimpinan Ferguson.

Namun, keduanya dikenal memiliki karakter yang sama-sama keras, lugas, dan tak segan menyampaikan pendapat. Benturan pun tampaknya tak terelakkan. Konflik besar itu akhirnya meledak pada 2005 dan sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah pulih.

Apa yang sebenarnya terjadi?

 


Wawancara yang Mengakhiri Kebersamaan Keane dan MU

Roy Keane (atas) merupakan kapten Manchester United yang paling sukses. Ia berhasil membawa dominasi Setan Merah di Liga Inggris. Selama 8 tahun kepemimpinannya, Keane berhasil menyumbangkan empat gelar Liga Inggris, meraih trebel kontinental 1999, dan masih banyak gelar lainnya. (AFP/Paul Barker)

Setelah 12 tahun bekerja sama, relasi Keane dan Ferguson runtuh menyusul wawancara sang pemain dengan televisi internal klub, MUTV.

Saat itu, Keane tengah menepi karena cedera, sementara MU sedang melewati periode performa yang buruk.

Dalam wawancara tersebut, Keane berbicara sangat terbuka, dan keras, tentang rekan-rekannya, menyusul kekalahan mengejutkan 1-4 dari Middlesbrough di Liga Inggris pada 2005.

Ia mengkritik sejumlah pemain, termasuk Rio Ferdinand, Darren Fletcher, dan Edwin van der Sar.

Van der Sar disorot karena kebobolan gol jarak jauh Gaizka Mendieta. Sementara tentang Ferdinand, Keane mengatakan:

"Saya sudah pernah melihat itu terjadi pada Rio sebelumnya (ketika Jimmy Floyd Hasselbaink merebut bola dari Ferdinand untuk gol kedua). Itu pertahanan yang buruk," ujarnya.

"Hanya karena Anda dibayar £120.000 per pekan dan bermain bagus selama 20 menit melawan Tottenham, Anda merasa sudah menjadi superstar," lanjutnya.


Lanjutan Wawancara

1. Roy Keane - Pemain yang pernah membela Manchester United ini begitu ditakuti karena permainannya yang mengerikan. Salah satu tekel mengerikan Roy Keane dilakukan pada Alf Inge Haaland dan terpaksa membuat pemain tersebut pensiun dini akibat cidera tekel. (AP Photo/Jon Super)

Keane juga menuding John O'Shea hanya "berjalan-jalan" di lapangan, mempertanyakan alasan orang-orang di Skotlandia begitu memuji Darren Fletcher, menyebut Kieran Richardson sebagai bek malas yang pantas dihukum, serta mengatakan Alan Smith tidak tahu apa yang sedang ia lakukan.

Para pemain muda pun tak luput dari kritiknya.

"Saat mereka menandatangani kontrak, mereka merasa sudah berhasil. Mereka punya kewajiban kepada manajer, staf, dan para suporter. Mereka pikir sudah sampai di puncak. Padahal, belum," ucap Keane.

Bukan hanya pemain muda yang menjadi sasaran. Para pemain senior pun diserangnya tanpa ampun.

"Para pemain muda dikecewakan oleh pemain-pemain yang lebih berpengalaman, mereka tidak memimpin. Kurang karakter. Sepertinya di klub ini Anda harus bermain buruk untuk mendapatkan penghargaan. Mungkin itu yang harus saya lakukan saat kembali, bermain buruk," katanya.

Wawancara tersebut memicu kehebohan besar. Sejumlah pemain merasa tidak terima. Namun, reaksi paling keras datang dari sang manajer.


Ferguson Murka

Mantan pelatih MU, Sir Alex Ferguson, bukanlah penyuka tren sepatu sepak bola warna-warni. Ferguson hanya membolehkan memakai sepatu berwarna hitam terutama untuk pemain-pemain muda. (AFP/Paul Ellis)

Sir Alex Ferguson langsung menggelar pertemuan tim setelah wawancara itu beredar. Situasi memanas, bahkan Ferguson disebut harus ditahan agar tidak berkonfrontasi secara fisik dengan Keane.

Tak lama berselang, Ferguson memberi tahu kaptennya bahwa jasanya tak lagi dibutuhkan. Keane resmi meninggalkan MU pada 18 November 2005 melalui kesepakatan bersama.

Bertahun-tahun kemudian, Keane menjelaskan alasan ia tak pernah bisa memaafkan Ferguson, meski mengakui banyak kenangan indah bersama satu di antara manajer terhebat sepanjang masa.

"Walaupun saya bukan tipe orang yang menyimpan dendam, saya tidak akan memaafkan Ferguson. Putaran cerita media, seolah-olah saya menyakiti semua orang, itu semua omong kosong," katanya dalam podcast Off The Ball.

"Saya tidak peduli apakah itu Alex Ferguson atau Paus, Anda akan membela diri. Saya pikir ketika dia meminta maaf, mungkin saya akan menyapanya. Tapi, saya tidak punya ketertarikan untuk berbicara dengannya," tambah Keane.

Hubungan itu kian memburuk setelah Ferguson membahas insiden tersebut dalam autobiografinya pada 2013.


Kritik Ferguson dalam Autobiografi

Roy Keane, Kapten Manchester United, dan Sir Alex Ferguson, Pelatih Kepala, berbicara pada Konferensi Pers sebelum latihan di Soldier Fields pada 24 Juli 2004 di Chicago, Illinois. Roy Keane meninggalkan Manchester United pada 18 November 2005 atas kesepakatan bersama dengan klub. (Phil Cole/Getty Images via AFP)

Hampir satu dekade setelah kepergian Keane, publik akhirnya mengetahui versi Ferguson.

Dalam autobiografi keduanya yang dirilis setelah pensiun pada 2013, Ferguson membela keputusannya dan mengecam sikap mantan kaptennya.

"Saya mengatakan kepadanya, 'Apa yang kamu lakukan dalam wawancara itu adalah aib, lelucon. Mengkritik rekan setim dan ingin itu disiarkan.' Usulan Roy adalah agar kami memutar video itu kepada para pemain dan membiarkan mereka memutuskan. Dengan karakter seperti dia, itu bisa dimengerti. Tapi, alasannya, saya harus menjelaskan apa yang terjadi. Semuanya berlangsung begitu cepat. Dia mengkritik rekan setimnya. Kami tidak bisa menayangkan video itu. Akibatnya, dua pemain muda mendapat cemoohan di Paris (pada laga Liga Champions melawan Lille) pada hari Rabu," tulis Ferguson.

Ferguson juga menggambarkan pertemuan tersebut sebagai situasi yang sangat buruk.

"Pertemuan di ruangan itu mengerikan. Saya tidak bisa kehilangan kendali. Jika saya membiarkannya, para pemain akan memandang saya berbeda. Sepanjang karier, saya cukup kuat menangani masalah seperti itu. Roy benar-benar melewati batas. Tidak ada pilihan lain."

"Dia pikir dirinya Peter Pan. Tidak ada yang seperti itu. Bagian tubuh Roy yang paling keras adalah lidahnya. Saat saya berdebat dengannya hari itu, mata Roy menyipit seperti manik-manik hitam kecil. Menakutkan untuk dilihat, dan saya orang Glasgow. Dia punya lidah paling buas yang bisa Anda bayangkan," ungkap Ferguson.


Jawaban Keane di Televisi

Mantan gelandang Manchester United dan Republik Irlandia, Roy Keane, yang bekerja untuk ITV, menyaksikan pertandingan putaran kelima Piala FA Inggris antara Aston Villa dan Cardiff City di Villa Park, Birmingham, Inggris tengah, pada 28 Februari 2025. (Oli SCARFF/AFP)

Seperti yang bisa diduga, Keane tak tinggal diam. Saat menjadi analis ITV dalam pertandingan Liga Champions antara Arsenal dan Borussia Dortmund, ia menanggapi komentar tersebut secara langsung di televisi.

"Saya ingat pernah berbicara soal loyalitas saat masih di klub. Saya rasa dia tidak tahu arti kata itu," ucapnya.

"Apa yang dia katakan tentang saya tidak terlalu mengganggu. Tapi, terus-menerus mengkritik pemain lain yang memberinya banyak kesuksesan, menurut saya, aneh. Saya tentu tidak akan kehilangan tidur karenanya. Saya tidak tahu sudah berapa buku yang dia tulis sekarang, tapi pada akhirnya dia harus menarik garis dan mengatakan, 'para pemain ini adalah pelayan luar biasa untuk Manchester United'," tambah Keane, yang kini berusia 54 tahun.

"Bisa dibayangkan apa yang akan dia katakan jika kami tidak pernah membantunya memenangkan trofi? Kami membawa kesuksesan ke klub, kami memberikan segalanya. Ini bagian dari kehidupan modern. Orang-orang suka menulis buku dan mengkritik mantan pemainnya," lanjutnya.

Hingga hampir dua dekade setelah konflik itu, Keane dan Ferguson tetap belum berdamai. Bahkan kini, Keane masih kerap melontarkan sindiran ketika nama Ferguson muncul dalam pembicaraan.

Sulit membayangkan keduanya akan berjabat tangan dan melupakan masa lalu.

Ironisnya, mereka sebenarnya memiliki kepribadian yang sangat mirip, sesuatu yang mungkin enggan mereka akui. Namun, justru kesamaan itulah yang pernah membawa MU mencapai puncak kejayaan pada era 1990-an hingga awal 2000-an.

 

Sumber: Give Me Sport

Berita Terkait