Bola.com, Jakarta - DPR RI menyoroti banyaknya gelombang pemutusan kerja di nasional pada 2025. Bahkan, gelombang ini masih bisa berlanjut pada 2026.
Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, sepanjang Januari–November 2025, sebanyak 79.302 pekerja kehilangan pekerjaan, seiring pertumbuhan ekonomi yang melambat di kisaran 5 persen. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya tekanan di pasar tenaga kerja.
Kondisi ini diperkuat pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut penurunan kinerja ekonomi selama 10 bulan pertama 2025 berdampak langsung pada meningkatnya PHK di berbagai sektor.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai angka PHK tersebut masih berpotensi meningkat hingga akhir 2025 dan berlanjut pada 2026. Ini bisa terjadi jika tidak ada langkah korektif dari pemerintah.
"Ini bukan sekadar data statistik, tetapi gambaran nyata tekanan ekonomi yang dirasakan pekerja dan dunia usaha,” ujar Edy dalam keterangannya, Jumat (26/12/2025).
Edy menjelaskan sektor pengolahan menjadi penyumbang terbesar PHK, disusul sektor perdagangan dan pertambangan. Salah satu pemicu utama adalah Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang membuka arus impor secara luas. Dampaknya produk lokal, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan industri padat karya, kalah bersaing dengan produk impor yang lebih murah dan diminati pasar domestik.
Selain itu, penurunan upah riil pekerja sejak 2018 hingga 2024 seperti dicatat Bank Dunia, telah menekan daya beli buruh. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal III 2025 yang hanya 4,89 persen atau masih di bawah 5 persen.
"Daya beli yang melemah berdampak pada penurunan konsumsi barang dan jasa, menekan produksi, dan berujung pada PHK lanjutan," ujarnya.
Harus Segera Memetakan Persoalan PHK
Edy juga menyoroti masih tingginya biaya produksi. Kondisi ini membuat harga barang dan jasa tidak kompetitif sehingga produk sulit terserap pasar dan dunia usaha terpaksa melakukan efisiensi tenaga kerja.
Menurut Edy, pertumbuhan ekonomi yang lemah turut memengaruhi pembukaan lapangan kerja dan keberlangsungan usaha. Iklim investasi yang belum membaik menyebabkan jumlah lapangan kerja baru, khususnya formal, sangat terbatas.
“Pemerintah harus segera memetakan persoalan PHK ini dan mengambil langkah konkret," ujarnya.
Ia pun mendorong revisi Permendag 8/2024. Menurutnya perlu pembatasan impor agar tidak mematikan produk lokal, penurunan suku bunga perbankan untuk mendukung industri padat karya, pemberian insentif pajak dan harga energi, serta perpanjangan stimulus ekonomi seperti PTKP di angka Rp10 juta.
Pinjaman Berbunga Murah
Edy juga meminta pemerintah menyediakan pinjaman berbunga murah bagi perusahaan yang kesulitan modal kerja. Selain itu juga mendorong negosiasi ulang dengan kreditor bagi perusahaan yang dipailitkan melalui dukungan atau penjaminan pembayaran utang agar usaha masih bisa diselamatkan dan lapangan kerja tidak hilang.
Dalam jangka menengah, perbaikan iklim investasi menjadi kunci peningkatan lapangan kerja. Edy mendorong pemberian insentif pajak dan kemudahan perizinan bagi investor baru, termasuk mengajak investor mengelola aset perusahaan pailit dengan skema insentif pajak jangka panjang, seperti pada kasus Sritex.
Peran KBRI juga perlu dioptimalkan untuk memasarkan peluang investasi di sektor potensial seperti pariwisata dan pertanian.
Edy mengingatkan, meningkatnya PHK akan berdampak langsung pada pengangguran terbuka dan kemiskinan. Data BPS Agustus 2025 menunjukkan pembukaan lapangan kerja hanya 1,99 juta, didominasi sektor informal.
“Lapangan kerja formal yang sedikit dan tidak berkualitas akan memperburuk perlindungan pekerja dan meningkatkan risiko kemiskinan baru," katanya.