Sukses


Spirit Jepang: Dunia Olahraga dan Obsesi Etos Kerja

Bola.com — Penyelenggaraan Olimpiade 1964 secara tidak langsung membuat Jepang berbenah di berbagai sektor, tak terkecuali dalam dunia olahraga. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor berkembangnya industri olahraga modern di negara tersebut.

Sejarah mencatat, Jepang memiliki berbagai macam jenis olahraga tradisional yang telah dimainkan sejak ratusan tahun silam. Sebut saja turnamen Sumo yang menjadi favorit sejak masa kekaisaran Edo. Ada pula Judo, Kendo, Kyudo, Karate, hingga Akaido.

Seiring perkembangan jaman, secara umum, dunia olahraga di Jepang awalnya tidak "dipandang" tinggi apabila dibandingkan dengan aktivitas budaya lainnya, seperti kesenian dan musik. Selama ratusan tahun, olahraga di Jepang menjadi bagian dari sistem edukasi dan kesejahteraan perusahaan.

Oleh karenanya, bicara soal sejarah olahraga modern di Jepang, pengaruh dunia barat tentu tidak dapat dilepaskan. Wolfram Manzenreiter dalam Sport and Body Politics in Japan, pun menuliskan, salah satu olahraga modern terpopuler adalah baseball yang pertama kali masuk ke Jepang pada awal 1870-an.

Pertanyaannya mengapa baseball dapat berkembang menjadi olahraga nasional di Jepang? Salah satu teori yang berkembang, dalam Using Geography to Teach Comparative Value: Japan and the United States, karya Robert Flater, mengungkapkan, masyarakat Jepang menganggap olahraga tersebut merupakan bentuk representatif dunia seni bela diri yang menekankan budaya kerja sama tim dan pengorbanan diri.

Selain itu, AS juga berperan dalam meningkatkan gairah masyarakat Jepang terhadap baseball. Setelah Nippon Profesional Baseball (NPB) dibentuk pada 1950, beberapa kali liga baseball Amerika Serikat (Major League) melakukan pertandingan eksibisi melawan klub-klub baseball profesional di Jepang.

Tim baseball asal Jepang, Keio, saat sedang melakukan pemanasan sebelum melawan Waneda, di Meiji Shrine Diamond Stadium, pada 1950-an. (Japan Times).

Akan tetapi, ada perbedaan menarik dari permainan baseball di Jepang dan AS. Apabila di AS, klub-klub baseball mewakili kota atau wilayah geografis, di Jepang, klub-klub baseball justru kebanyakan mewakili perusahaan tempat masyarakat bekerja. Oleh karenanya, tidak heran jika banyak para pekerja suatu perusaaan di Jepang menunjukkan loyalitas besar mendukung klub baseball tempat mereka bekerja.

Sebagai contoh, juara NPB 1986 dan 1987, Saitama Seibu Lions, misalnya, yang merepresentasikan sebuah mall di Saitama milik perusahaan Lotte Candy (Orions) dan Yakult Dairy Products Corporation (Swallows). Selain itu ada pula klub Nippon Ham Fighters yang seluruh sahamnya berasal dari pabrik pengolahan daging.

Korelasi olahraga dengan dunia kerja ini pun pada akhirnya membuat perusahaan-perusahaan perlengkapan olahraga di Jepang saling berlomba mengembangkan sayap bisnis. Salah satu perusahaan--khususnya dalam dunia olahraga baseball--yang mengalami perkembangan pesat adalah Mizuno.

2 dari 3 halaman

Mimpi besar

Kisah panjang perjalanan Mizuno dalam industri olahraga modern di Jepang bermula dari mimpi besar Rihachi Mizuno pada 1906. Kala itu, Rihachi Mizuno bersama saudaranya, Rizo Mizuno, yang sama-sama terpikat dengan baseball, berniat menciptakan produk berkualitas untuk para penikmat olahraga tersebut di Jepang.

Awalnya, kedua bersaudara tersebut mendirikan toko yang menjual berbagai barang serta peralatan luar negeri di Osaka. Namun, demi mewujudkan mimpi besar, mereka mengubah nama toko menjadi Mizuno Shop dan memulai produksi perlengkapan baseball, seperti seragam, bola, tongkat pukul, hingga sarung tangan.

Toko pertama Mizuno yang dibuka di Osaka, Jepang, pada 1906. (Mizuno.com).

Pada 1911, Mizuno Shop mulai fokus terhadap produksi produk baseball. Bahkan, lima tahun berselang, Rihachi Mizuno, secara khusus menerapkan standarisasi bola baseball yang digunakan dalam permainan. Hal ini pun memunculkan "Mizuno Trademark" dalam beberapa turnamen baseball besar di Jepang.

Sadar produk-produk buatannya dalam bidang olahraga baseball mendapat sambutan positif dari masyarakat Jepang, Rihachi Mizuno tidak berhenti berinovasi. Pada 1921, ia memulai proyek baru mengembangkan produk peralatan golf, yang kala itu juga menjadi salah satu olahraga favorit dunia barat.

Sepanjang 1929, Rihachi Mizuno beberapa kali berkunjung ke Eropa dan Amerika Serikat demi mengembangkan inovasi serta teknologi dalam setiap produk buatannya. Dari kunjungan inilah, Mizuno Shop memiliki Scientific Laboratory--sekarang Divisi Perkembangan Teknologi--sendiri pada 1938.

Meletusnya Perang Dunia II membuat produksi Mizuno terhenti selama beberapa tahun. Namun, pada 1955, seiring mulai bangkitnya perekonomian Jepang pasca-perang, Mizuno kembali menggeliat dalam industri olahraga.

Atas kontribusinya terhadap perkembangan dunia baseball di Jepang, Rihachi Mizuno meraih Award of Merit dari Federasi Baseball Jepang (NPB). Selain itu, Rihachi Mizuno juga mendapat medali pita biru, yang secara khusus diberikan kepada sosok dengan cita-cita besar untuk mengubah kehidupan masyarakat di Jepang.

Pendiri Mizuno, Rihachi Mizuno, saat menerima Award of Merit dari Federasi Baseball Jepang pada 1955. (Mizuno.com).

Pada 1962, mimpi besar Mizuno mulai menjadi kenyataan setelah perusahaannya terdaftar dalam perusahaan kategori kedua Tokyo Stock Exchange (TSE). Kala itu, TSE menerapkan tiga kategori, yakni pertama untuk perusahaan berskala besar dan kedua untuk perusahaan menengah, dan Mothers (Market of the high-growth and emerging stock), untuk perusahaan baru.

Hanya butuh 10 tahun bagi Mizuno untuk menebus perusahaan kategori pertama dalam TSE. Seiring perkembangannya, dengan berbagai inovasi dan teknologi, tidak hanya dalam dunia olahraga baseball dan golf, tetapi juga berbagai macam olahraga, mulai dari atletik, sepak bola, hingga renang, Mizuno menancapkan taring sebagai salah satu perusahaan perlengkapan olahraga raksasa di dunia.

Berdasar data CSR Mizuno Corp, pada periode 2015, Mizuno Group telah memilki 19 perusahaan cabang dengan total 5568 karyawan yang tersebar di benua Asia, Eropa, dan Amerika. Pendapatan perusahaan tersebut pun mencapai 196.000.000.000 juta yen (Rp 23,1 triliun--kurs: 1 yen: Rp 118,06).

Saksikan motion grafis mengenai sejarah Mizuno melalui video di bawah ini: 

3 dari 3 halaman

Obsesi

Kesuksesan Mizuno dalam industri olahraga di Jepang tidak terlepas dari misi sang pendiri untuk menciptakan produk-produk dengan kualitas dan standar tinggi. Citra pekerja keras dalam diri setiap masyarakat Jepang yang terbentuk sejak ratusan tahun silam pun menimbulkan efek besar dalam industri global.

Hal ini pun diakui salah satu pebisnis dunia olahraga di AS, Rob Ahrensdorf, dalam jurnal Selling to Japan's Growth Sports Market (6 November 1989). Menurut dia, "Orang-orang di sana(Jepang) terobsesi dengan barang-barang berkualitas dan mereka menanggapi daya pikat citra olahraga kelas atas. Mereka suka menghabiskan uang mereka untuk olahraga yang memberi mereka perumpamaan agar 'dipandang sama'."

Pada awal abad ke-20, produk Jepang sempat dipandang sebelah mata karena kualitas, teknologi, dan desainnya jauh tertinggal dari produk buatan Amerika atau Eropa. Potret ini membuat Jepang terus berinovasi dalam meningkatkan kualitas produk buatannya. Salah satu upaya adalah dengan menerapkan "Company-wide Quality Control (CWQC) pada 1968. Sistem ini dibentuk untuk menandingi kualitas produk-produk buatan Barat.

Upaya Jepang membuka mata dunia dalam hal kualitas produk pun membuahkan hasil pada pertengahan 1980-an. Bahkan, sempat muncul jargon, "If Japan Can. Why Can't We" dari Amerika Serikat ketika menanggapi produk-produk otomotif dan elektronik buatan Jepang yang mulai merambah dunia.

Apabila menarik garis sejarah, keberhasilan Jepang menciptakan produk-produk berkualitas sehingga mampu bersaing dengan dunia barat tidak terlepas dari filosofi Kaizen (perbaikan secara terus-menerus) yang muncul setelah Perang Dunia II. Menciptakan lingkungan kerja yang baik, mendorong produktivitas karyawan, serta mengurangi kesalahan proses produksi adalah nilai-nilai utama dalam konsep tersebut.

Dua pekerja Jepang sedang mengerjakan bangunan stasiun Shinagawa, Tokyo, Jepang, pada 1950. (The History).

Sebagai contoh, dalam jurnal Selling to Japan's Growing Sports Market diungkapkan, pada periode awal akhir 1980-an, pekerja Jepang masih bekerja 200 hingga 500 jam lebih lama ketimbang para pekerja di Amerika atau Eropa. Selain itu, apabila pekerja Eropa atau Amerika menghabiskan sebulan penuh untuk liburan musim panas, mayoritas pekerja Jepang hanya memerlukan waktu satu pekan saja.

Pada periode sekarang, pandangan masyarakat Jepang terhadap waktu liburan memang sudah berubah, tidak lagi hanya sebagai rehat sejenak dan persiapan menghadapi pekerjaan hari berikutnya, tetapi benar-benar untuk beristirahat, atau sekadar bersantai bersama keluarga. Namun, sejatinya, etos kerja yang telah terbentuk selama ratusan tahun silam tidak akan lekang dari dalam setiap insan di Jepang.

Etos kerja yang juga menjadi semangat Jepang berlari kencang dari puing-puing perang. Etos kerja yang pada akhirnya pun membuat kualitas produk-produk buatan Jepang dipandang, termasuk salah satunya adalah kesuksesan Mizuno Group dalam industri olahraga secara global pada era sekarang.

Bersambung….

Baca: 5. Spirit Jepang: Transformasi Sepak Bola di Asia

Sumber: Berbagai sumber

Baca dan saksikan berita serta vlog liputan Bola.com langsung dari Jepang dalam rangkaian acara Launching Mizuno Rebula - Japan Tour, di sini

Video Populer

Foto Populer