Sukses


PSSI 86 Tahun: Kisah 7 Klub Pendiri

Bola.com, Jakarta - Tanggal 19 April akan selalu menjadi hari besar buat sepak bola Indonesia. Di tanggal itu, pada 1930 lahir organisasi sepak bola Indonesia, PSSI. Diinisiasi insinyur lulusan Jerman, Soeratin Sosrosoegondo, PSSI disepakati berdiri dengan tujuh klub nusantara yang membubuhkan tanda tangan. 

Dengan semangat Sumpah Pemuda yang diikrarkan dua tahun sebelumnya, PSSI disepakati berdiri sebagai alat perjuangan bangsa, menentang penjajah lewat jalur olahraga, khususnya sepak bola. Pada perkembangannya, sampai sekarang sepak bola menjadi olahraga paling digemari di Indonesia.  

Tanpa ada inisiatif dari Soeratin dan keberanian tujuh klub membentuk wadah sepak bola milik pribumi, barangkali tidak akan pernah ada PSSI. 

Tujuh klub pendiri PSSI itu adalah Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Perserikatan Sepakraga Mataram (PSM), Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM), dan Soerabajashe Indonesische Voetbal Bond (SIVB).

Buat generasi sekarang, nama-nama itu kemungkinan terdengar begitu asing. Tetapi, bagaimana jika klub itu ditulis dengan nama Persija Jakarta, Persib Bandung, PSIM Yogyakarta, Persis Solo, PSM Madiun, PPSM Magelang, dan Persebaya Surabaya?

Ya, klub-klub itu adalah para pendiri PSSI bersama Soeratin dalam pertemuan di Yogyakarta pada 19 April 1930. Nama dengan Bahasa Belanda itu merupakan nama pertama yang dipakai mengingat situasi dan kondisi di masa penjajahan Belanda.

Uniknya, tidak satupun klub pendiri PSSI itu berstatus sebagai klub tertua di Tanah Air. Hingga saat ini status klub tertua di Indonesia yang masih eksis adalah PSM Makassar. Klub asal ibu kota Sulawesi Selatan itu didirikan pada 1915. Sedangkan tujuh klub pendiri PSSI itu semuanya didirikan pada 1920-an.

Namun, referensi dari buku "Sepak Bola Perjuangan (PSSI 1930-1940): Melawan Penjajahan dari Lapangan Hijau", menyebutkan sebenarnya sangat banyak klub dari berbagai penjuru nusantara yang ingin datang menghadiri pembentukan PSSI di Yogyakarta, tetapi banyak klub terkendala transportasi dan finansial hingga kesulitan datang. Akhirnya, hanya tujuh klub yang bisa hadir dalam pertemuan kala itu.

2 dari 5 halaman

Selanjutnya

Pada malam didirikannya PSSI, para perwakilan tujuh klub sudah tiba di Yogyakarta, yang dulu bernama Mataram karena merupakan ibu kota dari Kesultanan Mataram. Perwakilan datang dari berbagai latar belakang. Namun, persamaan mereka adalah berasal dari kaum pemuda dan pelajar yang lekat dengan semangat menentang kolonialisme.

Merujuk informasi yang dimuat dalam situs resmi PSSI , perwakilan dari VIJ adalah Sjamsoedin, seorang mahasiswa RHS (Rechtshoogeschool te Batavia) atau Sekolah Tinggi Hukum Batavia. Sekolah itu tidak lain adalah cikal bakal dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Kemudian dari BIVB sumber PSSI hanya menyebutkan seseorang bernama Gatot.

Perserikatan Sepakraga Mataram (PSM), karena menjadi tuan rumah pertemuan, sudah tentu menjadi paling banyak mengirimkan perwakilan. Setidaknya ada tiga orang yang datang mendukung kesepakatan berdirinya PSSI ketika itu. Mereka adalah Daslam Hadiwasito, Abdul Hamid, dan Muhammad Amir Notopratomo.

Sementara dari VVB perwakilan yang datang adalah Soekarno (bukan Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia). Dari MVB diwakili Kartodarmoedjo dan SIVB diwakili Pamoedji.

Terakhir, perwakilan yang datang adalah IVBM, yaitu E.A. Mangindaan. Erents Alberth Mangindaan ini pada saat itu adalah siswa dari HKS atau Sekolah Guru. Mangindaan juga merupakan kapten dari kesebelasan IVBM. Sejarah mencatat pada masanya, E.A. Mangindaan pernah menjadi pelatih timnas Indonesia sehingga sumbangsihnya terhadap sepak bola nasional terbilang besar.

Soeratin sedang memberikan pidatonya di Stadion Sriwedari, Solo, saat pembukaan kompetisi PSSI tahun 1943. (Repro Bola.com Dok. Koran Pemandangan)

Pada perkembangannya, tujuh klub pendiri PSSI ternyata mendominasi kompetisi atau kejuaraan nasional pada masa itu. Lihat saja, mulai kejuaraan musim 1930 hingga 1950 atau 20 tahun selama PSSI berdiri, titel juara hanya direbut salah satu dari tujuh klub pendiri PSSI itu.

Rinciannya, VIJ atau Persija menjadi juara pada musim 1930, 1931, 1933, 1934, dan 1938. Sedangkan PSM Mataram yang tidak lama setelah didirikannya PSSI berubah nama menjadi PSIM, meraih gelar juara pada musim 1932. BIVB atau Persib juga pernah merebut dua gelar juara, yaitu musim 1937 dan 1950.

Setelah itu sisanya gelar juara diraih VVB atau Persis Solo pada musim 1935, 1936, 1939, 1940, 1941, 1942, dan 1943. Sebagai informasi, kompetisi perserikatan sempat terhenti atau tidak bisa digelar pada tahun 1944 hingga 1949.

Gelar juara baru diraih klub di luar pendiri PSSI, ketika musim 1955 yang berlangsung sampai 1957 diraih PSM Makassar. Ketika itu di putaran final dengan format 7 besar, PSM meraih 11 poin. Jumlah poin itu mengungguli PSMS Medan di peringkat kedua dan Persib di peringkat ketiga.

Sekarang, bagaimana kabar tujuh klub pendiri PSSI itu?

3 dari 5 halaman

Selanjutnya

Di era sepak bola modern saat ini, ketujuh klub pendiri PSSI itu hampir semuanya masih eksis. Bahkan tidak sedikit yang masih menjadi poros kekuatan tradisional sepak bola Indonesia. Untuk lebih detailnya, mari kita lihat gambaran terkini ketujuh klub pendiri PSSI itu:

1. Persija Jakarta

Sejak terakhir kali menjadi juara Perserikatan pada musim 1978-1979, Persija baru bisa kembali jadi juara di Liga Indonesia 2001. Penantian yang terbilang panjang karena harus menunggu selama 22 tahun. Tetapi, setelah itu sampai kompetisi ISL bergulir pada 2014, tim berjulukan Macan Kemayoran ini belum lagi merasakan gelar juara.

Kiper legendaris Persija Jakarta selalu mengingat momen saat ia bersalaman dengan Presiden RI Kedua, Ir. Soekarno.

Barangkali selain karena kurang akrab dengan dewi fortuna, ketidakberhasilan Persija jadi juara karena belum bisa bangkit dari pengelolaan klub secara profesional. Hal ini setelah muncul larangan klub menerima dana hibah dari APBD.

Prestasi terbaik Persija di era ISL adalah peringkat ketiga pada musim 2010-2011 yang dikenal sebagai musim pemberontakan karena ada tiga klub yang keluar dan bergabung ke IPL. Setelah itu Persija terperosok di peringkat 11 musim 2013 dan hanya nyaris lolos ke babak delapan besar ISL 2014 yang memakai format dua wilayah.

Saat PSSI dibekukan pemerintah melalui Kemenpora pada, Persija juga tidak mampu mencetak prestasi mengesankan di berbagai turnamen nasional.

Satu hal yang menjadi ciri khas Persija saat ini adalah tidak memiliki stadion. Sebagai klub yang berbasis di ibu kota negara, Persija terbilang ironis dalam hal stadion. Satu-satunya stadion representatif yang ada di ibu kota, yaitu Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), merupakan milik Pemerintah Pusat.

Persija yang awal berdiri pada masa perjuangan kemerdekaan bernama VIJ jadi alat perjuangan anak-anak muda ibu kota terhadap penjajah. (Repro Sinpo)

Di masa-masa awal era Liga Indonesia mulai 1994-1995, Persija sempat bermarkas di Stadion Menteng, yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta. Tim Macan Kemayoran juga sempat memakai Stadion Lebak Bulus di Jakarta Selatan.

Tetapi, seperti yang sudah diketahui publik, dua stadion itu sekarang sudah rata dengan tanah. Stadion Menteng berubah menjadi Taman Menteng, sedangkan Stadion Lebak Bulus dibangun terminal MRT.

Bahkan pemakaian SUGBK sebagai markas Persija juga tergantung situasi keamanan ibu kota. Sialnya, alasan itu membuat pihak kepolisian kerap tidak memberi izin Persija bermain di SUGBK karena tingkat kerawanan yang tinggi sehingga mengancam stabilitas ibu kota negara. Alhasil, Persija pada masa sekarang lebih sering bermain di luar Jakarta.

2. Persib Bandung

Pada saat ini Persib menjadi salah satu klub yang dijadikan contoh PSSI atau operator kompetisi dalam pengelolaan klub profesional. Hal ini disebabkan Persib mampu menghidupi diri sendiri setelah klub profesional dilarang menerima dana hibah APBD. Sponsor datang dari mana-mana, rating televisi tinggi, hingga stadion selalu dipenuhi penonton, membuat Persib layak disebut sebagai klub nomor satu di Indonesia.

Prestasi Persib juga terbilang stabil karena sejak era 1990-an hingga sekarang sudah mengoleksi empat gelar juara. Titel juara itu adalah Perserikatan 1989-1990, 1993-1994, Liga Indonesia 1994-1995, dan ISL 2014.

Di masa pembekuan PSSI sejak April 2015, Persib juga tidak sepi gelar karena pernah meraih gelar juara Piala Presiden 2015 dan bermain di final Torabika Bhayangkara Cup 2016 melawan Arema Cronus.

Ribuan orang warga Bandung menyambut pemain Persib saat Juara Piala Presiden, Minggu (25/10/2015). (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Dari sisi dukungan suporter, Persib jelas menjadi nomor satu di Jawa Barat. Dari tahun ke tahun jumlah suporternya terus meningkat. Hal itu ditambah Tim Maung Bandung tidak memiliki rival dari Kota Bandung yang bisa eksis di kompetisi profesional Indonesia.

Dibandingkan enam klub pendiri PSSI lainnya, bisa dikatakan Persib menjadi klub yang paling mapan pada saat ini. Sepak terjang Persib bahkan tidak hanya di level nasional. Hal itu ditandai dengan rintisan kerja sama yang dilakukan dengan salah satu klub raksasa di Italia, yaitu Inter Milan.

Bersama klub peraih treble winners musim 2009-2010 itu, Persib mendapat kesempatan mengirimkan pelatih dan pemain mudanya untuk menimba ilmu dan pengalaman di Akademi Inter Milan.

4 dari 5 halaman

Selanjutnya

3. PSIM Yogyakarta

Sejarah panjang PSIM selalu jadi kebanggaan tersendiri buat suporternya. Hal itu karena fakta PSIM adalah tuan rumah didirikannya PSSI. Bahkan Wisma PSIM yang terletak di Jalan Baciro, Yogyakarta, sudah diresmikan menjadi Monumen PSSI.

Namun dari segi prestasi, sejak didirikan pada 5 September 1929, PSIM terbilang minim. Hingga kini klub yang memiliki warna kebesaran Biru Putih ini baru dua kali meraih gelar juara. Gelar pertama tidak lain adalah juara Perserikatan pada 1932.

Piala klasik yang disimpan di Balai Persis Solo, beberapa di antaranya adalah piala turnamen lokal Yogyakarta-Magelang-Solo, yang punya sejarah sebagai klub Perserikatan pendiri PSSI. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Setelah itu baru 73 tahun kemudian PSIM kembali meraih gelar juara. Tepatnya pada musim 2005, PSIM meraih gelar juara Divisi I 2005, yang saat itu masih menjadi kompetisi kasta kedua di Tanah Air. Sejak 2005 itu hingga sekarang PSIM belum pernah meraih prestasi lagi.

Di sisi lain, sekarang PSIM punya prinsip yang cukup menarik. Klub asal Kota Pelajar ini dalam beberapa musim terakhir memilih tidak melakukan perekrutan pemain asing. Kebijakan itu dimulai sejak 2009 hingga tiga tahun berikutnya.

Keputusan itu tidak lain karena kehadiran pemain asing dianggap kurang memberi jaminan atas prestasi. Namun, prinsip tidak memakai pemain asing itu sempat dicabut, kemudian ikrar tidak memakai pemain asing itu kembali diterapkan. PSIM punya impian untuk memaksimalkan talenta pemain lokal.

4. Persis Solo

Sebagai salah satu pencetus berdirinya PSSI, Persis Solo jelas memiliki andil dalam persepakbolaan nasional. Sederet prestasi mampu diraih klub kebanggaan warga Solo ini. Namun, prestasi itu lebih banyak diraih pada masa silam.

Total tujuh gelar juara Perserikatan pada era 1930-an hingga 1940-an berhasil didapat Persis Solo. Namun, setelah itu Persis betul-betul tenggelam. Persis baru merasakan lagi trofi lagi saat menjadi juara Divisi II 1994 atau kasta ketiga dalam strata kompetisi Indonesia ketika itu.

Meski begitu, Persis tetap dianggap sebagai salah satu klub kekuatan tradisional di Indonesia. Nama besar Persis di masa lampau, membuat setiap kemunculannya di kompetisi selalu disambut antusias.

Persis Solo mencoret delapan pemain seleksi seusai uji coba melawan Timnas PPLM, Minggu (27/3/2016).

Saat ini Persis juga termasuk klub di Indonesia yang memiliki basis suporter terbesar. Stadion Manahan yang menjadi markas, selalu disesaki puluhan ribu penonton jika Persis bertanding.

Pada masa sekarang Persis beredar di kompetisi Divisi Utama atau kasta kedua strata nasional. Meski beberapa kali terbelit krisis keuangan, Persis tetap mampu eksis di setiap musimnya.

5 dari 5 halaman

Selanjutnya

5. PSM Madiun

Hingga sekarang belum didapatkan tanggal, bulan, dan tahun pasti, kapan PSM Madiun yang dulunya bernama Madioensche Voetbal Bond (MVB) ini didirikan. Tetapi, bila merujuk MVB merupakan salah satu pendiri PSSI, bisa dipastikan klub ini sudah ada sebelum 1930 yang merupakan tahun berdirinya PSSI.

Belum jelasnya kapan PSM Madiun didirikan, sama dengan yang terjadi sekarang saat eksistensi klub asal Kota Madiun ini kurang terdengar. Ini semua berawal dari perpecahan yang terjadi dalam tubuh PSM.

Dari berbagai referensi yang ada, PSM mengalami konflik sekitar tahun 2009. Puncaknya pada 2010 klub ini mengalami dualisme. Namun, sejarah menunjukkan PSM Madiun sudah pernah pecah pada 1997. Hal itu terjadi saat PSM Madiun yang dimiliki kabupaten dan kota memutuskan berpisah.

Kabupaten Madiun akhirnya mengubah diri menjadi Persekama Madiun yang hingga sekarang masih menjadi anggota PSSI dan bermain di Liga Nusantara. Sedangkan nama PSM Madiun tetap dipakai Kota Madiun.

Namun pada perkembangannya, PSM Madiun yang berada di kota kembali terpecah. Beberapa pengurus membentuk Madiun Putra dan sebagian lain mempertahankan PSM Madiun.

Saat ini kedua klub itu secara legalitas masih ada karena masih terdaftar dalam keanggotaan PSSI pada 2015. Dalam buku anggota PSSI, Madiun Putra bermain di kasta Divisi Utama dan PSM Madiun di Liga Nusantara atau level amatir.

Akan tetapi, di kompetisi amatir prestasi PSM sulit bersaing. Bahkan beberapa kali klub berjulukan Banteng Ketaton ini malah mati suri. Fakta lainnya, PSM Madiun merupakan salah satu klub dari tujuh pendiri PSSI yang belum merasakan manisnya gelar juara di tingkat nasional.

6. PPSM Magelang

Klub ini juga merupakan salah satu dari tujuh pendiri PSSI yang belum pernah meraih gelar juara di kompetisi nasional, bahkan sejak pertama kali didirikan pada 1925 (versi lain ada yang menyebutkan 1919). Barangkali prestasi paling maksimal saat menempati peringkat ketiga Perserikatan 1935 atau semifinal Piala Indonesia 2011-2012.

Namun, sejarah panjang yang dimiliki klub berjulukan Macan Tidar ini akan selalu menjadi cerita tersendiri. Bahkan sampai sekarang ketika PPSM belum pernah mentas di kompetisi level elite atau tertinggi, klub ini tidak pernah kekurangan pendukung fanatik.

Saat ini PPSM Magelang yang pernah mengalami dualisme pada 2011-2013, masih eksis di kompetisi nasional. Klub yang pernah lama bermarkas di Stadion Abu Bakrin dan sekarang sudah pindah ke Stadion Moch Soebroto ini, berada di kasta Divisi Utama atau level kedua dalam strata kompetisi Indonesia. 

Kiprah terakhir PPSM di Divisi Utama 2014 hanya finis di peringkat enam Grup IV. Peringkat itu berarti terbilang buruk karena setiap grup hanya berisi delapan tim. Meski begitu, PPSM masih beruntung tidak terdegradasi ke Liga Nusantara, kompetisi amatir level terbawah di Indonesia.

7. Persebaya Surabaya

Tujuh gelar juara, lima gelar Perserikatan di musim 1941, 1950, 1951, 1952, dan 1988, serta dua gelar Liga Indonesia musim 1996-1997 dan 2004, menjadi bukti Persebaya Surabaya merupakan salah satu klub terbaik di Tanah Air. Hal itu ditambah fakta Persebaya adalah penghasil pemain kelas nasional yang selalu menjadi langganan timnas. 

Selain itu, Persebaya juga pernah berkiprah di kompetisi internasional sebagai wakil Indonesia di Asia. Meski selalu terhenti di babak awal, Persebaya pernah menjadi bagian dari sejarah klub Indonesia di Piala Champions Asia pada 1998 dan 2005.

Mustaqim (duduk dua dari kanan) bersama rekan setim di Persebaya saat menjuarai Perserikatan 1987-1988. (Bola.com/Istimewa/Fahrizal Arnas)

Tetapi, nama besar dan sejarah Persebaya pernah ternoda sebagai imbas konflik PSSI pada 2011-2013. Hal itu menyebabkan Persebaya tertular dualisme klub. Pengcab PSSI Surabaya dan klub anggota pecah kongsi. Mereka memperebutkan legalitas Persebaya.

Hingga kini dua kubu yang mengaku secara sah menjadi pengelola Persebaya masih bersengketa di pengadilan. Kubu turunan Pengcab PSSI Surabaya diwakili PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB), sedangkan kubu klub anggota diwakili PT Persebaya Indonesia.

Walau begitu, badai konflik yang tidak kunjung reda, tidak menyurutkan popularitas Persebaya. Gairah para pesepak bola di Jawa Timur, khususnya Surabaya, masih tinggi dengan cita-cita bisa menjadi pemain Persebaya.

Pada 19 April 2016 PSSI berusia 86 tahun. Untuk ukuran manusia, usia sebanyak itu termasuk renta. Tetapi buat organisasi olahraga, usia tidak akan pernah menua. PSSI akan terus berkembang sesuai zaman dan peradaban. Tidak terkecuali tujuh klub pendiri PSSI yang akan terus mencoba eksis.

Selamat ulang tahun PSSI!

Video Populer

Foto Populer