Sukses


Perjuangan Persija Akhiri Puasa Panjang Gelar Juara selama 17 Tahun

Bola.com, Jakarta - Rentang selama 17 tahun bukan waktu yang sebentar sebagai sebuah penantian. Kesabaran kelompok suporter The Jakmania menyaksikan tim kesayangannya Persija Jakarta mengangkat trofi juara kompetisi kasta tertinggi sudah demikian lamanya.

Persija, salah satu klub legendaris Tanah Air, terakhir kali mengangkat piala juara kompetisi elite pada musim 2001. Semenjak saat itu tim ibu kota seperti kesulitan menjadi yang terbaik.

Bambang Pamungkas kini jadi satu-satunya saksi hidup sukses Tim Macan Kemayoran menjadi juara Liga Indonesia 17 tahun silam. Saat itu Bepe menyumbang gol dalam duel final melawan PSM Makassar yang berkesudahan 3-2 di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Musim 2018 ini mungkin jadi musim terakhir striker dengan nomor punggung 20 itu merumput sebagai seorang pesepak bola. Jelang kompetisi bergulir, predator berusia 38 tahun tersebut sudah memberi sinyal bakal pensiun. Rasa penasarannya ingin sekali lagi mencicipi madu trofi juara agaknya jadi penyebab Bambang masih ingin bermain, setidaknya semusim lagi.

Hasrat kuat sama diusung pemain senior lainnya, Ismed Sofyan. Bergabung ke Persija sejak tahun 2002, bek sayap kanan asal Aceh itu belum sekalipun merasakan kebahagiaan mengangkat piala jawara kompetisi.

Di usianya yang sudah 38 tahun, Ismed yang jadi kapten Persija Jakarta, ingin menyudahi rasa penasarannya, bagaimana rasanya menjadi juara.

"Saya utang budi banyak pada klub ini. Saya ingin memberikan gelar juara buat mereka sebelum gantung sepatu. Saya yakin bisa," ujar Ismed.

"Seandainya tahun ini kami juara, maka saya dan Ismed akan pensiun,” tutur Bepe saat launching jersey baru Persija musim 2018 ini. 

Keyakinan Ismed mengangkat piala di pengujung kariernya rasanya masuk akal. Persija belakangan jadi kekuatan menakutkan di perhelatan kasta elite Tanah Air.

Setelah memenangi gelar pramusim Piala Presiden 2018 grafik penampilan tim asuhan Stefano "Teco" Cugurra terus menanjak.

Tim yang musim lalu terlihat menggeliat dengan menduduki posisi empat besar Liga 1 2017 itu kini dianggap sebagai penantang serius perebutan gelar juara Gojek Liga 1 bersama Bukalapak musim ini.

Satu hal yang juga perlu dicatat, penampilan Persija terlihat kinclong di Piala AFC. Hingga lima pertandingan penyisihan Grup H, Rezaldi Hehanusa dkk. ada di puncak klasemen dengan torehan 10 poin, hasil tiga kali menang, sekali imbang, dan satu kali kalah.

Terakhir Persija mempermalukan klub bertabur bintang dari Malaysia, Johor Darul Takzim dengan skor 4-0 di SUGBK. Pembalasan sepadan setelah pada leg pertama Macan Kemayoran kalah 0-3 karena harus berbagi konsentrasi dengan semifinal-final Piala Presiden 2018.

Pencapaian Persija lebih baik dibanding Bali United, runner-up Liga 1 2017, yang tersungkur di fase penyisihan Piala AFC.

Persija saat ini memang on fire. Kehadiran pemain-pemain gres macam Marko Simic, Jaimerson da Silva Xavier, Riko Simanjuntak dan Addison Alves, membuat performa Persija tampak bertenaga.

Investasi pemain-pemain belia beberapa musim terakhir mulai membawa dampak positif. Rezaldi Hehanusa, Sandi Sute, Dany Saputra, Ramdani Lestaluhu, Andritany Ardhiyasa dan Novri Setiawan, satu per satu mulai mencuat menjadi pesepak bola matang yang memberi nilai lebih buat klubnya.

Masih terlalu dini menganggap Persija bakal jadi penguasa musim ini. Persaingan pentas Liga 1 musim ini bakal amat ketat. Tim-tim macam Bali United, PSM Makassar, Persebaya Surabaya, Persib Bandung atau Madura United, bisa jadi batu sandungan bagi anak-anak ibu kota.

Teco dituntut cerdik memecah konsentrasi anak asuhnya, antara Liga 1, Piala AFC, dan nanti kemudian Piala Indonesia. Bukan perkara mudah, karena kedalaman skuat Persija Jakarta dinilai masih rapuh. Mereka punya modal 30 pemain yang kualitas tak semuanya setara.  

2 dari 4 halaman

Pasang Surut Prestasi

Catatan sejarah menempatkan Persija hingga saat ini tercatat sebagai klub terbanyak meraih gelar juara kompetisi kasta tertinggi Tanah Air. Mayoritas di antaranya didapat di era kompetisi perserikatan.

Persija tercatat menjadi jawara perserikatan edisi tahun 1931, 1933, 1934, 1938 (dengan nama VIJ Jakarta), 1954, 1964, 1973, 1975, 1979. Sebiji gelar lagi didapat Macan Kemayoran di era Liga Indonesia (penggabungan Galatama dan Perserikatan), tepatnya pada musim 2001.

Koleksi gelar juara yang diraih Tim Macan Kemayoran mengalahkan Persebaya Surabaya, PSMS Medan, PSIS Semarang, atau Persib Bandung.

Bahkan pada periode 1950 hingga 1970-an Persija tidak pernah kering mencetak pesepak bola berbakat. Mereka lahir dari binaan kompetisi internal yang tertata rapi.

Persija kerap dijuluki miniatur Timnas Indonesia, lantaran banyaknya pemain yang masuk skuat Tim Merah-Putih.

Di era 1960-an sosok Endang Witarsa melegenda sebagai pelatih bertangan dingin yang banyak mencetak pemain-pemain belia Persija. Pelatih yang berprofesi sebagai dokter gigi itu dikenal sebagai arsitek yang doyan memaksimalkan darah muda. Di eranya materi pemain Persija rataan usianya 16-19 tahun!

Sinyo Aliandoe, Surya Lesmana, Yudo Hadiyanto, hingga Soetjipto Soentoro adalah sederet pemain Persija didikan Endang Witarsa yang jadi pelanggan Tim Garuda, yang pada era tersebut disebut sebagai Macan Asia.

Tim Persija Jakarta Persija Jakarta tahun 1971 dihuni banyak pemain berkelas yang jadi pelanggan Timnas Indonesia. (Dok. Merdeka)

Pada era 1960-1970 Persija amat produktif mencetak pemain-pemain berkualitas yang jadi pilar Timnas Indonesia.

Iswadi Idris, Rony Paslah, Anjas Asmara, Sutan Harhara, Oyong Liza dan Risdianto adalah figur-figur kunci Persija jadi Raja Indonesia pada tahun 1973, 1975, 1979.  

Persija dengan warna khas warna merah dan putih mengalami masa-masa sulit pada periode 1980-an sampai awal 1990-an.

Tim Macan Kemayoran sempat hampir degradasi dari kompetisi elite perserikatan pada 1985-1986. Beruntung Persija lolos dari kemelut, setelah sukses jadi jawara play-off promosi degradasi di Cirebon pada awal tahun 1986. Momen kelam itu tak akan pernah terlupakan hingga kini.

Uniknya walau kering prestasi Persija tetap subur melahirkan pemain-pemain top di era tersebut.

Patar Tambunan, Adityo Darmadi, Tiastono Taufik, Rahmad Darmawan, Noah Meriem dan Tony Tanamal adalah pemain-pemain binaan Persija yang kerap dipanggil membela Timnas Indonesia. Kondisi internal organisasi membuat Persija kesulitan mencetak prestasi.

Penggabungan kompetisi Perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an tak membuat penampilan Persija membaik. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.

Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur asal Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.

Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.

Atas permintaan Presiden Soekarno Persija pindah markas dari Stadion Ikada ke Stadion Menteng pada 1961. Ironisnya pada 2006 stadion yang dijadikan salah satu cagar budaya digusur Gubernur DKI, Sutiyoso. (Repro Buku 60 Tahun Persija)

 

Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub pengganti Persija. Ia berpandangan warna Jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.

Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia yang juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat timnas Indonesia.

Oranye lekat dengan timnas Belanda, negara yang ada di level elite di jagat sepak bola internasional. Gaya permainan menyerang De Oranje amat dikagumi Sutiyoso.

“Saya ingin Persija bermain total football layaknya Timnas Belanda yang enak untuk ditonton,” ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan Bola.com beberapa tahun silam.

Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.

Klub yang di awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub kalahan.

Gelar juara LI 2001 menegaskan kebangkitan Persija di perhelatan elite Tanah Air.

Minggu Malam, 7 Oktober 2001, jadi momen yang tidak bisa dilupakan bagi pendukung Persija, The Jakmania. Warna oranye mendominasi Stadion Utama Gelora Bung Karno. The Jakmania datang ke stadion buat memberi dukungan kepada Macan Kemayoran yang berhadapan dengan PSM Makassar di final Liga Indonesia 2001.

Persija saat juara Liga Indonesia 2001. (Bola.com/Dok. Persija)

Laporan pertandingan PSSI menyebut angka penonton laga ini menembus 60 ribu orang. Dukungan The Jakmania membakar semangat Bambang Pamungkas dkk. di lapangan.

Persija unggul tiga gol sumbangan Imran Nahumarury dan Bepe (2 gol), sebelum akhirnya Tim Juku Eja memangkas skor menjadi 3-2.

Gol kedua Bambang masuk kategori gol indah. Playmaker Persija kala itu, Luciano Leandro berperan besar dalam proses terjadinya gol tersebut.

Pemain asal Brasil itu menyodorkan umpan lambung ke Bepe yang dalam posisi bebas di sisi luar pertahanan PSM. Bek Ayam Jantan dari Timur, Joseph Lewono, kelimpungan mengejar lari Bambang. Tendangan keras sang striker mengoyak gawang PSM yang dikawal Hendro Kartiko.

"Saya sudah menduga kiper akan mempersempit ruang tembak, tapi dengan kaki kiri saya arahkan bola ke kanan atas yang tak terjangkau olehnya," ujar Bepe yang di Liga Indonesia 2001 mencetak 15 gol dan mencatatkan diri sebagai pemain terbaik.

"Gol yang brilian. Bambang cerdik sekaligus licin bisa melepaskan diri dari pemain belakang kami. Saya sudah mencoba mempersempit ruang tembak, tapi ia masih bisa melihat celah kosong," komentar Hendro Kartiko.

Pelatih PSM, Syamsuddin Umar mengakui Persija pantas menjadi kampiun. "Mereka unggul materi pemain. Kualitas tim inti dan pengganti sama bagus. Sementara di tim kami hal itu menjadi masalah."

Di Liga Indonesia 2001 skuat Persija memang mentereng. Selain Bambang, tim Oranye punya pemain-pemain berkelas macam Luciano Leandro, Gendut Doni, Anang Ma'ruf, Nuralim, Antonio Claudio, hingga Imran Nahumarury.

The Jakmania berpesta usai Persija mengangkat piala. Bepe dkk. diarak keliling jalan besar ibu kota. Suporter sempat merayakan kesuksesan tim kesayangannya di Bundaran Hotel Indonesia.

3 dari 4 halaman

Beda Gaya Gede dan Ferry

Era Jingga Bang Yos berakhir pada musim 2006, seiring sang pembina lengser dari kursi Gubernur DKI Jakarta. Gubernur baru ibu kota, Fauzi Bowo alias Foke, meneruskan tongkat estafet sebagai Pembina Tim Macan Kemayoran.

Sayang saat era Foke, Persija Jakarta tidak bisa lagi mendapat bantuan dana APBD, seiring pemberlakuan UU pelarangan penggunaan dana hibah APBD yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri pada 2011.

Pemprov DKI Jakarta pun menyerahkan hak pengelolaan Persija ke klub-klub internal. Era baru tanpa APBD dimulai dengan terpilihnya Ferry Paulus sebagai Ketua Umum Persija (Presiden Persija) pada 2011.

Ferry kemudian harus pontang-panting menjalankan operasional klub tanpa injeksi uang rakyat. Dengan pendanaan yang pas-pasan Persija terlempar dari persaingan elite kompetisi kasta tertinggi Indonesia Super League.

Kasus-kasus tunggakan gaji ke pemain dan ofisial berulangkali mencuat pada musim 2011-2015.

"Saya masuk ke Persija saat situasi tidak mengenakkan. Bukan hanya klub tidak bisa mendapat bantuan APBD, situasi juga diperparah dengan mencuatnya konflik dualisme kompetisi serta PSSI. Saya kesulitan menggaet sponsor untuk menghidupi klub," tutur Ferry.

Konflik dualisme PSSI membuat Persija sempoyongan. Puncaknya terjadi ketika Menpora, Imam Nahrawi, membekukan PSSI yang berimbas langsung pada mogoknya Indonesia Super League 2015. Situasi yang tak pernah dibayangkan oleh Ferry.

Direktur Persija yang baru, Gede Widiade (kanan) berbincang dengan Presiden Klub Persija, Ferry Paulus saat perkenalan di Jakarta, Selasa (14/2). Dengan bergantinya manajemen, Persija berharap prestasi di Liga 1. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Persija saat itu tengah membangun the dream team demi mengakhiri dahaga gelar juara kompetisi tertinggi. Mereka mendatangkan pelatih top, Rahmad Darmawan, yang kemudian diikuti pemain-pemain berkelas macam Stefano Lilipaly, Martin Vunk (Estonia), Yevgeni Kabayev (Estonia), Alfin Tuasalamony dan Greg Nwokolo.

Apesnya perhelatan kompetisi macet. Manajemen Persija terjerat utang gaji pemain dengan jumlah menggunung.

Munculnya turnamen dan kompetisi tak resmi Indonesia Soccer Championship untuk mengisi kevakuman kompetisi rupanya juga tak menolong. Sponsor sudah telanjur enggan memberikan dana segar ke tim ibu kota. Persija bisa dibilang bernasib hidup segan mati tak mau.

Seiring meredanya konflik PSSI, awan kelabu yang menaungi Persija perlahan menghilang. PSSI di bawah nakhoda Edy Rahmayadi mendapat restu dari Kemenpora untuk kembali menggelar kompetisi resmi musim 2016. Nama kompetisi berganti dari ISL menjadi Liga 1.

Tampuk petinggi Persija mengalami perubahan besar. Ferry Paulus menyerahkan hak pengelolaan klub ke pengusaha gila bola, Gede Widiade.

Sosok Gede bak juru selamat bagi Persija. Dalam waktu instan, pengusaha properti dan furnitur tersebut merubah perwajahan Persija, dari klub kering pendanaan menjadi klub dengan kondisi finansial sehat.

Gede yang memiliki saham kepemilikan klub Bhayangkara FC, mengaku hadir di Persija Jakarta bukan sebagai pemilik. Ia mendapat sokongan dari pihak lain, yang namanya tidak muncul ke publik.

"Saya hanya menjadi seorang pekerja di Persija. Tugas saya membuat klub ini sehat secara finansial dan kompetitif dalam persaingan kompetisi," ujar Gede dalam acara talk show Bukalapak.

Para pemain Persija Jakarta merayakan gelar juara Piala Presiden setelah mengalahkan Bali United di SUGBK, Jakarta, Sabtu (17/2/2018). Persija menang 3-0 atas Bali United. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Isu berhembus kalau konglomerat kakap Nirwan Dermawan Bakrie (NDB) ada di belakang Gede. Hal itu diperkuat dengan mencuatnya nama Joko Driyono, Wakil Ketua Umum PSSI, yang notabene dikenal sebagai orang dekat NDB, dalam jajaran kepemilikan saham perseroan yang mengelola klub.

Joko tak pernah secara terang-terangan membuka secara gamblang keterlibatannya di Persija. Namun, dalam sejumlah kesempatan ia memang terlihat amat care terhadap klub yang satu ini.

"Persija adalah aset sepak bola nasional yang perlu dijaga. Mereka diibaratkan Real Madrid, yang menjadi representasi ibu kota negara. Klub yang satu ini harus dibantu keluar dari masalahnya," ujar Joko yang dikenal publik sebagai konseptor kompetisi profesional Tanah Air.

Apapun itu, Persija era baru memberi secercah harapan kepada fans fanatik mereka, The Jakmania, yang sudah demikian rindu prestasi.

Di musim perdana tangan dingin Gede terlihat memberi hasil positif. Persija mencuat jadi salah satu klub penantang juara Liga 1 2017. Bambang Pamungkas dkk. bertengger di posisi empat besar klasemen akhir di bawah Bhayangkara FC, Bali United, dan PSM Makassar.

Padahal di awal musim yang bersangkutan hanya berjanji mengantar Persija ada di jajaran lima besar. "Prestasi butuh proses, tidak bisa instan," ujar pria yang juga sempat mengelola Persebaya 1927 di era Indonesia Premier League beberapa tahun silam.

Gaya kepengelolaan klub ala Gede tidak bombastis. Tidak ada cerita mendadak Persija jorjoran melakukan belanja pemain bintang. Pengeluaran klub dalam membangun tim serba terukur. Persija di era Gede bisa dibilang tak jauh beda dengan era Ferry, banyak memaksimalkan pemain belia.

Namun, yang membedakan Persija saat ini tidak banyak diganggu masalah keterlambatan pembayaran gaji. Penggawa Macan Kemayoran bisa bertarung di lapangan dengan hati yang tenang, tak memikirkan pembayaran haknya tersendat-sendat.

Satu hal yang pasti prestasi di era sebelumnya seperti sulit digapai kini satu-persatu datang. Di awal musim 2018 Persija sudah mengantungi dua gelar juara turnamen pramusim, Boost Sports Super Fix Cup 2018 (Malaysia) dan Piala Presiden 2018. Sukses ini jadi modal bagus bagi mereka untuk menjadi tim terbaik di Gojek Liga 1 bersama Bukalapak serta Piala AFC.

4 dari 4 halaman

Teco dan Simic Simbol Ikonik Kebangkitan Persija

Ada dua sosok penting di balik momen kebangkitan Persija. Mereka adalah: Stefano "Teco" Cugurra dan Marko Simic.

Ketika pertama kali mendarat di Persija jelang Liga 1 2017, banyak orang menyangsikan Teco bakal bisa sukses di Tim Macan Kemayoran.

Pelatih asal Brasil itu belum pernah teruji di pentas sepak bola Indonesia. Benar pada musim 2004-2005 ia sempat berkarier di Persebaya Surabaya. Nmun posisinya bukan sebagai pelatih kepala, melainkan pelatih fisik.

Sebelum di Indonesia ia sempat berkarier di Amerika (NSA Club), Brescia (Italia), Al Najmah (Arab Saudi) dan CPSA (Singapura). Semuanya sebagai pelatih fisik.

Debutnya sebagai nakhoda utama baru dimulai saat berkarir di Liga Thailand. Pada periode 2010-2016 ia menukangi Chiangrai United, Phuket, Osotspa, Royal Thai Navy. Tak ada prestasi spesial di Negeri Gajah Putih.

Namun, ada satu hal yang mendasari manajemen Persija ngebet mendatangkan Teco. Pelatih kelahiran 25 Juli 1974 itu dinilai kelebihan dalam hal bekerja sama dengan pemain belia. Di klub-klub Thailand yang ia mentori Teco banyak memaksimalkan pemain muda.

Persija beberapa tahun belakangan doyan mengontrak pemain muda, karena bujet belanja pemain yang terbatas. "Konsep kami tentang pembinaan nyambung. Kami butuh pelatih yang memahami kondisi tim dan bisa bekerja dalam situasi serba wah," ujar Ferry Paulus, sosok yang mendatangkan Teco ke Persija.

Pelatih Persija Jakarta, Stefano Cugurra Teco, saat pertandingan melawan Arema FC pada laga Liga 1 di SUGBK, Jakarta, Sabtu (31/3/2018). Persija menang 3-1 atas Arema FC. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Dan benar saja di awal masa tugasnya, mantan patner kerja Jacksen F. Tiago di Persebaya itu, Teco sempat dibombardir kritik karena performa Persija yang terseok-seok di awal Liga 1 2017.

"Saya butuh waktu untuk menyatukan pemain. Saya berharap suporter bersabar," ujar Teco mencoba meredakan tekanan dari The Jakmania.

Nyatanya sang mentor membuktikan ucapannya. Perlahan Persija bangkit dan kemudian anteng di jajaran papan atas kompetisi kasta elite. Sebuah pencapaian yang dinilai luar biasa mengingat skuat Persija tak bisa dibilang kinclong bertabur bintang layaknya PSM Makassar atau Bali United.

Teco menyebut kalau suporter ikut berjasa besar mengerek semangat juang pasukannya. Stadion selalu full saat Persija bertanding.

Musim ini kualitas Teco mengatur strategi terlihat. Persija melakukan belanja pemain yang cenderung biasa-biasa saja. Mereka merekrut pemain-pemain yang namanya tak masuk daftar elite, tapi kehadiran mereka membawa dampak menutupi kelemahan tim.

Contoh nyata kejelian Teco melihat potensi pemain adalah sosok Marko Simic. Striker asal Kroasia yang matang pengalaman di Malaysia dan Vietnam jadi sosok ikon baru di Persija.

Kehadiran Simic seolah menjawab kerinduan Persija akan sosok penyerang yang tajam di kotak penalti lawan. Maklum, Macan Kemayoran menjadi kesebelasan dengan jumlah gol paling sedikit di antara penghuni enam peringkat teratas Liga 1 2017.

Pada musim lalu, pencetak gol terbanyak Persija adalah Bruno Lopes. Namun, penyerang asal Brasil tersebut hanya membukukan 10 gol dari 29 pertandingan. Ketajaman jadi problem yang tak juga terselesaikan beberapa musim terakhir.

Pemain Persija Jakarta, Marko Simic saat melawan Johor Darul Ta’zim pada laga Piala AFC 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (10/4/2018). Persija Jakarta menang 4-0.  (Bola.com/Nick Hanoatubun)

Persija masih menggunakan tenaga Bambang Pamungkas (38 tahun), yang ketajamannya terus menurun karena dimakan usia. Upaya mereka mencari sosok predator asing haus gol tak pernah berending bagus.

Pedro Javier (Paraguay), Lai Sun Cheung (Hong Kong), Ivan Bosnjak (Kroasia) menjadi contoh deretan striker impor yang gagal unjuk gigi. Sempat mencuat figur Emmanuel Kenmogne memesona lewat gol-golnya pada musim 2013. Namun, ia hanya berkarier pendek di tim ibu kota. Selain itu performa trengginas Pacho tak menolong prestasi tim.

Marco Simic mengingatkan The Jakmania pada sosok striker asing top yang pernah dimiliki Persija, layaknya: Emmanuel de Porras (Argentina), Roger Batoum (Kamerun), serta Greg Nwokolo (kini dinaturalisasi).

Baru beberapa bulan memperkuat Persija torehan golnya di atas rata-rata. Hingga pekan ke-4 Liga 1 2018, striker kelahiran 23 Januari 1988 itu sudah melesakkan 23 gol!

Rinciannya, Marko Simic mencetak 2 gol di Suramadu Super Cup, 1 gol di Boost SportsFix Super Cup, 11 gol di Piala Presiden, 2 gol di Liga 1, dan 7 gol di Piala AFC.

Pemain yang dijuluki Super Simic ini memang penyerang super. Tak hanya tajam mengoyak gawang lawan, ia juga mampu mengerek permainan timnya.

"Saya haus gelar bersama Persija. Saya berharap memenangi sebanyak mungkin gelar di klub ini. Bermain di Persija menjadi sesuatu yang luar biasa, klub ini punya suporter fanatik yang menyemangati saya untuk memberikan yang terbaik," ujar Marco Simic seusai mendulang prestasi sebagai top scorer Piala Presiden 2018.

Menarik melihat sejauh mana kiprah Stefano Cugurra Teco dan Marko Simic. Mungkinkah keduanya mencatatkan namanya dalam sejarah klub dengan torehan gelar juara Liga 1 dan Piala AFC musim ini? 

Video Populer

Foto Populer