Sukses


CERITA BOLA: Long Live The Boleyn, Runtuhnya Upton Park, dan Titik Nadir Pengkhianatan West Ham

I'm forever blowing bubbles, pretty bubbles in the air. They fly so high, nearly reach the sky, and like my dreams they fade and die. Fortune's always hiding. I've looked everywhere. I'm forever blowing bubbles, pretty bubbles in the air.

Bola.com, Jakarta - Petikan lirik lagu berjudul I'm Forever Blowing Bubbles sudah tak terdengar lagi di Upton Park, atau dikenal juga dengan nama Boleyn Ground. Stadion milik West Ham yang pada 2016 dirubuhkan itu kini telah berubah bentuk dan beralih fungsi, menyisakan sejuta kenangan manis dan pahit.

Pada 10 Mei 2016 waktu setempat, Boleyn Ground yang bagi suporter West Ham dianggap sebagai The Church memainkan pertandingan terakhirnya. Lawannya bukan klub sembarangan, yakni Manchester United. Saling berbalas terjadi sepanjang laga sampai The Hammers akhirnya menang dengan skor 3-2.

Bek West Ham, James Tomkins, saat memainkan laga kontra Manchester United di Boleyn Ground. (GLYN KIRK / AFP)

Tirai pun ditutup. Bab West Ham di Boleyn Ground berakhir selepas laga kontra Manchester United. Malam itu tak seperti laga-laga biasanya. Tangis dan haru tampak lebih menonjol ketimbang raut bahagia setelah kemenangan tersebut.

Sajian 'hiburan' dari penampilan band lokal nan mendunia, Cockney Rejects, yang nge-beat pun tak mampu menutupi wajah-wajah sedih suporter yang hadir di Boleyn Ground. Bahkan fans Manchester United sebagian besar masih di sana, mengenang momen bersejarah di stadion yang melahirkan pahlawan Timnas Inggris pada Piala Dunia 1966, seperti Bobby Moore dan Geoff Hurst.

Boleyn Ground tak betul-betul diratakan saat itu juga. Stadion yang berada di Green Street, London, itu sempat dijadikan lokasi syuting film The Score yang dibintangi pemeran James Bond, Pierce Brosnan, serta mantan atlet WWE, Bautista.

Barratt London yang membeli seluruh aset di Boleyn Ground juga secara aklamasi menggelar laga non-kompetitif terakhir di sana dengan tujuan menggalang dana. Sebanyak 24 tim dengan format kompetisi 5-a-side ikut ambil bagian dan seluruh dana masuk ke yayasan bernama Children of Heroes, MacMillan Cancer Support dan The Silver Line.

Tidak cuma suporter dan seluruh elemen West Ham yang bersedih saat satu per satu perintilan bangunan dihancurkan. Gelandang West Ham, Declan Rice, mengatakan satu hal yang paling ia sesali sepanjang kariernya adalah tidak pernah merasakan rumput lapangan Boleyn Ground.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 6 halaman

Jadi Area Pemukiman

Setelah proses kepemilikan Boleyn Ground berpindah tangan secara resmi, Barratt London, pengembang properti yang membeli stadion tersebut meruntuhkannya. Ia kemudian membangun area pemukiman dengan total rumah mencapai 842 buah yang diberi nama Upton Gardens.

Sesuai kesepakatan antara pemerintah kota London, sebanyak 211 di antaranya merupakan affordable houses alias rumah murah. Memang tujuan Barratt London adalah menyediakan rumah dengan harga terjangkau agar warga kurang mampu, utamanya imigran, bisa memiliki kediaman.

Di sana juga dibangun area pertokoan, perpustakaan, dan trek bersepeda. West Ham tidak benar-benar menghilang, sebab patung legenda mereka, Bobby Moore, masih diletakkan di sana.

Direktur Finansial Barratt London, Tom Olsen, mengatakan, "Seluruh tim yang terlibat dalam pembangunan kembali Upton Park mengakui warisan yang tertanam di sini dan kami ingin menandai dimulainya era baru dengan acara yang akan menguntungkan berbagai tujuan amal."

Sayang, gelombang demonstrasi sempat terjadi. Banyak pihak mengklaim jumlah rumah murah tidak sesuai perjanjian awal. Perlu diketahui, banyak tunawisma di London dengan beragam latar belakang, bahkan tak sedikit yang merupakan veteran perang.

Penulis sempat mencari tahu sudut pandang suporter West Ham saat wacana pembangunan Upton Gardens mengemuka. Kekecewaan dan sumpah serapah keluar karena ia merasa rumah murah tersebut (bahkan gratis) diberikan kepada imigran asing. Tampaknya ada kecemburuan sosial di sini.

"Mereka (manajemen klub) meruntuhkan The Church dan menjadikan perumahan buat orang non-Inggris," kata seorang suporter West Ham berkomentar di Twitter.

3 dari 6 halaman

Sudah Lama Ingin Pindah ke London Stadium

Keputusan manajemen klub untuk pindah markas dari Boleyn Ground ke Olympic Stadium atau London Stadium sudah direncanakan sejak lama, tepatnya 2006. Mantan pemilik West Ham, Terence Brown, jadi sosok pertama yang mengungkap wacana tersebut.

Hanya saja, tidak ada laporan Boleyn Ground akan dihancurkan. Brown hanya merasa stadion itu tak cukup menampung animo suporter, apalagi buat West Ham yang bisa dibilang klub tradisional di London.

Namun demikian, masih pada medio 2006, keinginan Brown disinyalir hanyalah pemantik agar negosiasi dengan calon pemilik klub yang baru, Eggert Magnusson, lancar.

"Akan sangat bagus bagi klub untuk pindah ke Stadion Olimpiade," kata Brown. "Ini bisa menjadi stadion yang luar biasa untuk klub, menampung 60 ribu - 80 ribu penggemar. Saya tahu ada masalah, saya tahu ada persyaratan untuk tidak menghilangkan running track, tetapi ada cara untuk mengakomodasi fasilitas ini."

"Kami mencoba melakukan kesepakatan dengan (panitia Olimpiade) London 2012 tetapi masalah sebenarnya adalah kami tidak memiliki cukup uang. Saya pikir pemilik baru tertarik pada ide tersebut dan ada kemungkinan nyata mereka akan mengikuti jalur ini."

"Ini bisa menjadi perkembangan yang fantastis. David Dein dari Arsenal memberitahu saya prospek West Ham di London Stadium membuatnya takut sampai mati."

4 dari 6 halaman

West Ham Tidak Punya Stadion

Pada Januari 2010, co-owners West Ham teranyar, yakni David Sulivan dan David Gold, ditambah sosok penting lainnya, Karren Brady, mengambil alih kepemilikan klub. Kehadiran mereka awalnya diharapkan mampu memberikan angin segar karena prestasi buruk The Hammers pada musim 2010/2011.

Meski terdegradasi dengan menduduki posisi paling buncit, David Gold dan David Sullivan mengumumkan West Ham akan pindah ke London Stadium, rencana lawas yang kembali didengungkan. Mereka bergabung dengan Newham London Borough Council demi 'melicinkan' wacana tersebut.

Pada 11 Februari 2011, Olympic Park Legacy Committee, badan pengelola inventaris Olimpiade London 2012 menyatakan West Ham memenuhi kualifikasi untuk menggunakan London Stadium. Selang sebulan, pemerintah Inggris, melalui Boris Johnson, menyetujui proposal tersebut.

Gerbang di Stadion Boleyn Ground. (Bola.com/Reza Khomaini)

Sedianya West Ham bakal membeli London Stadium seutuhnya. Namun karena venue itu merupakan milik Inggris dan dibiayai lewat pajak rakyat, dua klub London, Tottenham Hotspur dan Leyton Orient mengajukan gugatan.

West Ham pada akhirnya tetap bisa menjadikan London Stadium sebagai rumah baru mereka, tapi berstatus sewa selama 99 tahun per 2016/2017. Lalu apa kabar Boleyn Ground?

Pada 2014, suporter West Ham dibuat kaget dengan keputusan David Sullivan dan David Gold menjual Boleyn Ground kepada Galliard Group. Lebih kecewa lagi, Galliard Group kemudian memberikan akses kepada Barratt London untuk mengubahnya menjadi area pemukiman yang kini dinamai Upton Gardens.

Tentu saja keputusan tersebut langsung menuai pro dan kontra. Banyak suporter yang merasa dikhianati. Padahal Boleyn Ground sudah direnovasi dan ditambah kapasitasnya menjadi 40 ribu tempat duduk pada masa kepemimpinan pemilik sebelumnya, sehingga alasan manajemen klub pindah ke London Stadium untuk menampung penonton yang lebih banyak diklaim hanya omong kosong.

Karren Brady, dilansir dari BBC, menuturkan bahwa klub sekelas West Ham sudah saatnya memiliki stadion yang megah. Boleyn Ground dinilai tak merepresentasikan tim. Ia juga secara gamblang mengatakan bahwa pindah ke London Stadium adalah demi meraup keuntungan.

"Kami ingin kontrol lebih besar dari laga-laga kandang, tidak ada yang tahu bagaimana melakukan itu lebih dari kami. Ketika kami pertama kali ingin pindah, kami menawarkan untuk membeli stadion, dan kami akan bertanggung jawab atas semua biaya, tapi ditolak," ujarnya.

"London Stadium membutuhkan permata di mahkotanya, harus ada pembiayaan, investasi, dan West Ham mencoba menawarkan bantuan, tapi malah dianggap mencurangi (terkait protes Tottenham dan Leyton Orient)."

5 dari 6 halaman

Long Live The Boleyn

Sepak bola level berikutnya, itulah janji kepada penggemar West Ham ketika mereka 'dipaksa' meninggalkan Boleyn Ground. Itu adalah retorika yang diputar papan untuk meyakinkan mereka untuk menukar rumah spiritual kami dengan London Stadium. Kami, termasuk penulis juga, diperlihatkan visi besar masa depan, yang menampilkan tim kelas dunia yang bermain di stadion kelas dunia, dan itu membuat kami terbuai.

Hampir lima tahun sudah janji tersebut masih jadi janji. Suporter kehilangan kepercayaan dengan pemilik, David Gold dan David Sullivan, dan wakil ketua, Karren Brady. Kami mengucapkan selamat tinggal pada sejarah kami dengan sia-sia, dan itulah mengapa spanduk berisi kekecewaan dan ketidakpercayaan kepada trio Gold, Sullivan, dan Brady sering terpasang saat West Ham bertanding.

Grup-grup pun bermunculan, satu di antaranya Hammers United, yang dibentuk sebagai komunitas independen pada 2019. Tujuan awal mereka bukanlah untuk memaksa petinggi klub angkat kaki dari West Ham, tapi keinginan untuk berdialog secara konstruktif meminta pertanggungjawaban atas janji-janji yang tinggal janji tadi tak pernah digubris.

Sampai detik ini, meski West Ham menjalani musim yang apik dengan Jesse Lingard, masih banyak suporter yang merasa dikhianati oleh David Sullivan dan David Gold. Sepele saja, Boleyn Ground telah dijual dengan rayuan maut bahwa akan ada banyak pemain kelas dunia yang didatangkan. Realisasinya? Nol besar. Slogan GSB Out (Gold, Sullivan, Brady out) pun menggema hingga kini.

Long Live The Boleyn lantas menjadi satu frasa yang mengikat antarsuporter West Ham yang masih memendam kekecewaan. Bagi mereka, kisah romantis saat pergi ke Boleyn Ground adalah berjalan di jalanan, melewati para pedagang dan bercengkrama di pub sebelum laga dimulai telah dirampok. Ritual sepak bola kecil itu telah hilang.

Seorang suporter West Ham menjual buku di sekitar Boleyn Ground. (IAN KINGTON / AFP)

Penulis secara pribadi paham bahwa keputusan 'menyewa' London Stadium adalah satu langkah membawa perubahan ke arah yang lebih baik, lebih modern, dan mengukuhkan status klub besar di Inggris. Hanya saja, banyak dari suporter merasa itu hanya kebohongan, bahwa trio GSB hanya ingin meraup keuntungan semata dengan menjual 'tempat ibadah'.

Pada September 2020, gelombang protes yang tak pernah berhenti malah makin besar karena Karren Brady seakan tidak peduli dengan concern suporter. Ia mengeluhkan finansial klub yang berkurang drastis karena penonton tidak diperbolehkan datang ke stadion. Padahal banyak suporter yang tidak senang dengan London Stadium, lagi-lagi karena merasa dibohongi. Brady pernah berjanji akan menambah tribune dan membuat jarak pandang ke lapangan sedekat mungkin.

Brady merasa sudah melakukan yang terbaik. Alih-alih, manajemen klub malah memasang karpet di running track dan dengan bangga mengklaim, "West Ham memiliki karpet terbesar di dunia", yang menurut banyak suporter enggak penting. Jarak antara tribune dengan sisi lapangan dirasa masih terlalu jauh sehingga atmosfer pertandingan dianggap tak 'semegah' saat bertanding di Boleyn Ground.

 

6 dari 6 halaman

Sisa-sisa Reruntuhan

Terlepas dari titik nadir pengkhianatan West Ham kepada suporternya sendiri, terselip banyak kisah menarik. Satu di antaranya datang dari Jonjo Heuerman, remaja yang berhasil mengumpulkan 1.000 batu bata sisa reruntuhan Boleyn Ground. Ia, dibantu oleh sejumlah yayasan kanker Inggris, menjual tiap batanya kepada suporter West Ham dengan tujuan donasi.

"Dia terlibat dalam segala macam hal yang aneh dan menakjubkan," kata Donna Heuerman, ibu Jonjo. "Dia telah menggalang dana sejak berusia delapan tahun, ketika neneknya meninggal karena kanker usus."

Kehilangan nenek karena kanker mendorong Jonjo untuk mengumpulkan 350.000 pounds untuk Bobby Moore Fund, sebuah badan amal kanker yang terkait dengan klub sepak bola favoritnya, West Ham United. Jadi ketika West Ham mengumumkan bahwa Boleyn Ground akan dibongkar, Jonjo langsung berencana melakukan penggalangan dana amal veteran.

"Dia awalnya meminta beberapa kursi atau sesuatu yang bisa dilelang untuk amal," kata Donna.

Perusahaan pembongkaran menjawab permintaannya dan menyediakan beberapa kursi. Tetapi mereka juga merobohkan tembok peringatan yang terbuat dari batu bata yang bisa dibeli oleh penggemar. "Mereka berkata, 'Jika kita bisa merobohkan tembok ini satu per satu, bata demi bata, maukah kamu mengambilnya?' Dan Jonjo berkata, 'Saya pikir kita harus melakukan sesuatu, ibu.'"

Donna dan Jonjo mengharapkan beberapa ratus batu bata, tetapi pada akhirnya pembangun berhasil menyelamatkan 1.000 dari 1.400 bata. Batu bata itu awalnya disimpan di sekitar Boleyn Ground, tapi karena ada proyek Upton Gardens, Donna dan Jonjo membawanya ke halaman belakang rumah.

"Batu batanya aman, itu yang terpenting," kata Donna.

Masing-masing batu bata itu unik. Beberapa hanya ditandai dengan inisial, beberapa memiliki nama dan dibubuhi pesan. Jadi, batu-bata yang dikumpulkan memiliki semacam signature. "Semua bata ini memiliki cerita yang berbeda di belakangnya, beberapa untuk orang yang telah meninggal, beberapa untuk orang yang ingin menandai pertandingan pertama mereka," kata Jonjo.

Satu hari Jonjo membuat halaman Facebook Boleyn Brick Salvage dan sebuah situs web, dengan harapan bisa menyatukannya kembali dengan pemiliknya. Jonjo dan Donna awalnya tidak yakin mereka akan mendapat kabar dari siapa pun, tetapi harapan itu terwujud. Cathy Finlayson, 67 tahun, bertanya apakah mereka memiliki batu bata dengan nama cucunya, Jake Russell.

Dia menjelaskan bahwa Jake yang berusia enam tahun pernah bermain untuk tim West Ham Juniors dan suka menonton pertandingan tim senior. "Dia memiliki karakter kecil yang istimewa dan setiap orang yang bertemu dengannya mengatakan betapa cantiknya dia," kata Cathy.

Tetapi suatu hari 21 tahun yang lalu, ketika dia dalam perjalanan dengan ibunya untuk menunjukkan kepada seorang teman beberapa tanda tangan yang dia kumpulkan dari para pemain West Ham, dia secara tragis terbunuh dalam insiden tabrak lari. Keluarga itu kemudian mempersembahkan batu bata untuk mengenang Jake.

Jonjo segera menemukannya, setelah menyusun semua batu bata dalam urutan abjad, dan dia dan Donna menyerahkannya kepada Cathy.

"Ketika saya mendapatkan batu bata di tangan saya, saya terkejut dan sepertinya mereka telah mengembalikannya kepada saya," kata Cathy. "Itu adalah bagian dari West Ham dan bagian dari Jake dan itu membawa kembali begitu banyak kenangan indah."

 

Video Populer

Foto Populer