Bola.com, Jakarta - Setelah penampilan Manchester United (MU) yang mengecewakan ketika menghadapi Twente di matchday pertama Liga Europa 2024/2025, Rabu (25/9/2024) dini hari WIB, masa depan Erik ten Hag pun kembali dipertanyakan.
Makin jelas bahwa klub berjulukan The Red Devils itu stagnan di bawah asuhan Erik ten Hag.
Baca Juga
Advertisement
Meskipun manajemen MU memberikan lampu hijau kepada pelatih asal Belanda itu untuk melanjutkan kepemimpinannya, hasil tidak memuaskan pada awal musim ini membuat tekanan makin besar terhadapnya.
Musim ini tampak serupa dengan dua musim sebelumnya, baik dari segi hasil, performa yang kurang mengesankan, hingga adanya perkembangan yang berhenti dari yang diharapkan.
Dari tujuh pertandingan yang dimainkan, MU hanya memenangkan tiga pertandingan dua hasil imbang, dan dua kekalahan. Pada musim lalu, pada periode yang sama, MU meraih tiga kemenangan dan empat kekalahan.
Sementara pada musim debut Erik ten Hag, The Red Devils meraih empat kemenangan dan tiga kali kalah.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Tekanan dan Alibi Erik ten Hag
Meskipun manajemen MU secara terbuka mendukung Erik ten Hag, makin sulit bagi mereka untuk mempertahankan dukungan tersebut dengan setiap penampilan buruk dari pemain. Tiga laga berikutnya bisa menjadi penentu masa depan Erik ten Hag di Old Trafford.
Pada laga selanjutnya, MU akan menjamu Tottenham. Kedua tim juga mengalami awal musim yang tidak terlalu baik. Namun, Tottenham akan datang ke Old Trafford dengan keyakinan bisa pulang membawa kemenangan.
Setelah itu, Manchester United akan menghadapi Aston Villa yang sedang dalam performa yang baik. Jeda internasional yang akan datang, sering menjadi momen genting bagi manajer yang sedang berada di bawah tekanan.
Jika Manchester United United terus tampil buruk dalam tiga laga ini, Erik ten Hag mungkin kehilangan dukungan dari para petinggi klub.
Erik ten Hag membela diri dengan menyebutkan adanya pergolakan di internal klub sejak awal tahun, terutama setelah kedatangan Sir Jim Ratcliffe dan perubahan dalam tim kepemimpinan sepak bola.
Namun, dengan dua musim penuh di bawah kendalinya dan pengeluaran sebesar 615 juta pound untuk perekrutan pemain, para bos Manchester United berhak mempertanyakan mengapa tim ini tetap tampil tidak konsisten dan kurang bertenaga.
Advertisement
Pemain Elit, Cetak Gol Sulit
Sulitnya mencetak gol menjadi salah satu perhatian utama. Jika tidak menghitung kemenangan 7-0 atas Barnsley di Carabao Cup yang berkompetisi di League One dan kemenangan 3-0 atas Southampton, MU salah satu tim terburuk di Liga Inggris. Setan Merah hanya mencetak tiga gol dalam lima pertandingan.
Ini sangat berbeda dengan kemenangan final FA Cup melawan rival sekota, Manchester City. Kemenangan itu memberikan tiket Liga Europa setelah United finis di posisi terburuk Premier League, yakni peringkat delapan. Prestasi itu pada akhirnya menyelamatkan Ten Hag dari pemecatan.
Namun, dengan start buruk musim ini termasuk kekalahan 3-0 di kandang melawan Liverpool, kenangan manis di Wembley terasa seperti ilusi yang menutupi masalah-masalah mendalam pada Manchester United.
Mentalitas Pemain
Paling mengkhawatirkan pengakuan gelandang Christian Eriksen bahwa para pemain Twente "lebih menginginkannya" daripada United pada laga Liga Europa.
Erik ten Hag sendiri mengakui hal ini dalam konferensi pers usai pertandingan, dengan mengatakan bahwa timnya terlalu cepat puas dan gagal membunuh pertandingan.
“Sering kali saya merasa mentalitas tim ini sangat baik, tapi hari ini ada beberapa kritik. Bukan hanya tim yang harus bercermin, saya juga bagian dari itu,” kata Ten Hag.
Meskipun tidak sesederhana mengatakan Ten Hag hanya memiliki tiga pertandingan untuk menyelamatkan pekerjaannya, jika United kalah dalam ketiga laga itu, sangat mungkin manajemen klub akan sulit untuk terus mendukungnya.
Dalam situasi ini, Ten Hag sangat membutuhkan para pemainnya untuk bangkit dan membuktikan bahwa mereka masih bermain untuknya dan percaya pada metodenya.
Jika tidak, Manchester United mungkin harus mencari manajer permanen keenam sejak era Sir Alex Ferguson berakhir.
Penulis: Lutfi Galih Pawening
Advertisement