Sukses


Ketika Liverpool Digarap ala Hollywood: Brendan Rodgers, Pelopor Era All or Nothing yang Malah Jadi Bahan Meme

Jauh sebelum All or Nothing bikin pelatih sepak bola terlihat seperti filsuf modern, Brendan Rodgers sudah duluan tampil layaknya motivator TED Talk dengan tracksuit-nya.

Bola.com, Jakarta - Jauh sebelum All or Nothing bikin pelatih sepak bola terlihat seperti filsuf modern, Brendan Rodgers sudah duluan tampil layaknya motivator TED Talk dengan tracksuit-nya. Kala itu, dunia sepak bola dan media masih sangat berbeda. Belum ada Netflix yang mendominasi layar, bahkan waktu itu mereka masih ngirim DVD lewat pos. Istilah xG pun belum dikenal, dan semua terasa lebih sederhana.

Tahun 2012, Being: Liverpool jadi tontonan yang cukup aneh buat publik Inggris. Dokumenter ini diproduksi Fox, disiarkan di Channel 5, dan dinarasikan aktor Clive Owen. Dengan bujet yang nggak besar dan nuansa yang terasa "murahan", banyak yang bingung harus menganggapnya serius atau cuma hiburan ringan. Apalagi ini adalah tahun pertama Rodgers menangani Liverpool, jadi banyak sorotan tertuju ke cara dia memimpin ruang ganti.

Sayangnya, banyak yang menganggap dokumenter itu justru bikin malu. Legenda Liverpool, Mark Lawrenson, menulis di The Mirror bahwa tayangan tersebut terasa seperti drama Amerika yang berlebihan dan tidak perlu. Kritik itu senada dengan banyak penggemar yang ngerasa Being: Liverpool lebih cocok disebut “reality show canggung” ketimbang dokumenter sepak bola.

Enggak cuma Lawrenson, media Inggris lain seperti The Guardian juga melontarkan sindiran. Mereka bilang tayangan itu terlalu dijaga, terlalu “setting-an”, dan jauh dari kesan jujur yang seharusnya muncul dalam dokumenter klub. Namun siapa sangka, justru kesan “panggung” inilah yang kelak jadi standar baru buat semua klub di era media modern.

 

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 3 halaman

Rodgers Jadi Korban Awal Era Branding Klub

Kalau dipikir sekarang, Being: Liverpool sebenarnya lebih jujur dibanding banyak dokumenter klub masa kini. Waktu itu, penonton masih bisa melihat sisi manusiawi seorang pelatih, termasuk keanehan dan momen canggung yang bikin ngakak. Bandingkan dengan dokumenter era sekarang yang lebih mirip iklan klub, segalanya rapi, terukur, dan aman dari kontroversi.

Rodgers mungkin enggak sadar, tapi lewat Being: Liverpool, dia jadi korban pertama dari era “branding klub” yang digarap layaknya perusahaan hiburan. Fenomena ini kemudian diikuti oleh deretan tayangan besar seperti All or Nothing dari Amazon, yang menampilkan Manchester City, Tottenham, Arsenal, sampai Juventus. Semua dikemas apik, tapi isinya lebih promosi ketimbang cerita sebenarnya.

Media sosial dan kamera kini jadi senjata utama klub untuk membangun citra. Namun, ketika semua sudah terencana, justru hilang unsur keaslian yang dulu membuat dokumenter seperti Do I Not Like That atau Sunderland ’Til I Die terasa begitu nyata. Kalau Being: Liverpool dirilis di era sekarang, kemungkinan besar bagian Rodgers dengan potret dirinya sendiri bakal langsung dihapus editor karena dianggap “enggak pantas”.

 

3 dari 3 halaman

Antara Gagal Branding dan Kena Sindir Dunia

Jamie Carragher bahkan bilang ke The Athletic bahwa Rodgers sebenarnya nggak punya banyak pilihan. Waktu itu dia baru dapat pekerjaan impian, dan sulit menolak permintaan pemilik klub. Kalau saat itu yang jadi pelatih adalah Jurgen Klopp, mungkin hasilnya beda, Klopp bakal berani bilang “enggak mau” dan pihak klub pasti nurut.

Rodgers pada akhirnya membuktikan dirinya bukan pelatih sembarangan. Dia hampir membawa Liverpool juara Premier League, sukses di Celtic, dan membawa Leicester City menjuarai FA Cup. Tapi tetap saja, buat banyak orang, citranya masih lekat dengan momen-momen canggung di Being: Liverpool. Sebuah dokumenter yang diniatkan untuk membangun citra klub, tapi malah membuat sang pelatih jadi bahan lelucon.

Kini, dengan begitu banyak dokumenter klub yang lebih mirip tayangan promosi, Being: Liverpool justru terasa seperti artefak yang jujur dan unik. Aneh, tapi apa adanya. Lucu, tapi autentik. Sebuah kenangan dari masa ketika sepak bola belum sepenuhnya dikuasai algoritma dan tim media sosial.

Video Populer

Foto Populer