Paul Scholes Cerita Kehidupan Bareng Putranya yang Autistik, Rela Mundur dari Dunia Sepak Bola demi Rutinitas Sang Anak

Scholes bercerita bahwa ia dan mantan istrinya, Claire, kini berbagi waktu mengasuh Aiden. “Kami sudah tidak bersama lagi, jadi kami bergantian tiga malam masing-masing, dan ibu Claire menjaganya setiap Jumat malam,” ungkapnya.

Rutinitas Aiden pun sudah seperti jam biologis yang berjalan tanpa kalender. “Dia tidak tahu hari apa atau jam berapa, tapi dia tahu dari aktivitas yang kami lakukan,” ujar Scholes.

“Setiap Selasa saya menjemputnya dari daycare, lalu kami berenang. Dia suka sekali berenang, kemudian mampir beli pizza. Kamis kami makan di luar, Minggu kami ke Tesco dan dia beli troli penuh cokelat. Dari kegiatan itu dia tahu hari apa sekarang.”

Scholes juga jujur mengakui bahwa menjadi orang tua dari anak dengan kebutuhan khusus sempat memengaruhi kariernya di lapangan. Ia masih ingat masa-masa awal ketika Aiden didiagnosis autisme, di mana dirinya merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Kami tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya. “Ada anak-anak yang telat bicara, tapi kami tahu ini tidak akan seperti itu. Saya bahkan tidak bicara ke siapa pun di klub. Saya tidak mau dikasihani. Toh kalau saya cerita pun, itu tidak akan membantu Aiden.”

Scholes mengenang betapa beratnya masa-masa awal ketika Aiden sering melampiaskan frustrasinya dengan menggigit atau mencakar. “Dia tidak paham dan tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakan. Rasanya sulit sekali waktu itu, bahkan ketika saya masih bermain,” ujar Scholes.

Ia juga menceritakan momen pertama kali diagnosis itu datang. “Dokter baru mendiagnosis ketika usianya 2,5 tahun. Tapi kami sudah tahu ada yang berbeda sebelumnya,” ucapnya. “Saya ingat habis main lawan Derby, saya cuma duduk dan nggak mau di sana. Beberapa hari kemudian manajer mencadangkan saya, padahal saya belum bilang ke siapa pun. Baru beberapa minggu setelahnya saya cerita.”

Meski perjalanan itu berat, Scholes kini tampak menemukan keseimbangannya. Ia tetap jadi ayah yang penuh kasih, yang memilih mundur dari gemerlap sepak bola untuk satu hal paling berharga dalam hidupnya: waktu bersama Aiden.