Sukses


Marc Marquez, Si Bayi Alien yang Cepat Belajar

Bola.com, Motegi - Kepala kru Marc Marquez saat berkiprah di Moto2, Santi Hernandez, pernah membuat testimoni singkat tentang sang pebalap. Hernandez menyebut rider asal Spanyol itu selalu penuh kejutan. Saat seluruh kru berpikir motor Honda telah mencapai kemampuan maksimal, Marquez mampu menambah kecepatan hingga 0,2 detik. Baby Alien juga kerap melakukan sesuatu yang jauh melebihi ekspektasi tim.

Di mata Hernandez, Marquez punya karakter tak pernah lelah belajar. Yang istimewa, dia bukan pelajar sembarangan. Ibaratnya seorang murid, Marquez adalah siswa pandai yang cepat menyerap pelajaran.

"Marc sangat pandai dan punya kemampuan belajar sangat cepat. Dia mendengarkan semua masukan yang kami berikan dan dia mampu menerapkan secara cepat saat tampil di lintasan," beber Hernandez, dalam perbincangan dengan jurnalis Red Bull pada 12 November 2013.

Tiga tahun berselang ucapan Hernandez terbukti bukan omong kosong. Musim 2016 membuktikan Marquez seorang "murid" yang spesial. Cepat belajar dari kesalahan. Bukti sahihnya adalah gelar juara dunia MotoGP 2016 yang direngkuh di Sirkuit Motegi Jepang, Minggu (16/10/2016). Titel tersebut menjadi hadiah spesial pada musim yang penuh tantangan dan tekanan bagi Baby Alien.  

Pebalap Repsol Honda, Marc Marquez, memastikan diri sebagai juara dunia musim 2016 setelah memenangi balapan MotoGP Jepang di Twin Ring Motegi, Minggu (16/10/2016). (Bola.com/Twitter/box_repsol)

Yang jelas, dia menjalani balapan MotoGP 2016 dengan mentalitas yang baru setelah melewati periode suram selama musim 2015. Ya, tahun lalu bukan fase yang menyenangkan bagi Si Bayi Alien. Lima kali crash, beberapa cedera, motor yang sulit ditaklukkan, kontroversi di akhir musim, dan finis di posisi ketiga. Jika disimpulkan dalam tiga kata: Marquez gagal total. 

Hanya segelintir orang nyeleneh yang berani meragukan kecepatan dan kemampuan Marquez menjelang musim 2015. Melihat keperkasaannya memenangi 13 seri sepanjang musim 2014, kakak Alex Marquez tersebut kembali menjadi favorit juara, tentu saja bersama Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo. Namun, ungkapan lintasan balap selalu penuh dengan kejutan bukan hanya isapan jempol.  

Nasib buruk Marquez dimulai sejak lap pertama seri pembuka di MotoGP Qatar. Kesalahan pada tikungan pertama membuat pebalap yang kini berusia 23 tahun tersebut harus puas menyudahi balapan di urutan kelima. Ada harapan hasil tersebut hanya ganjalan kecil karena pada seri berikutnya Marquez berhasil juara di Austin. 

Pada GP Argentina sinyal kebangkitan Marquez semakin kuat setelah mengawali balapan dari pole dan sempat unggul 0,5 detik di depan. Tapi, balapan ini berujung bencana bagi Baby Alien. Pria yang selalu murah senyum tersebut malah bertabrakan dengan Rossi di lap-lap akhir. Marquez jatuh dan untuk kali pertama gagal finis pada musim 2015. 

Ketika MotoGP memasuki seri Eropa, kondisi Marquez malah bertambah rumit. Dia mengalami cedera jari kelingking saat melaju di dirt track menjelang seri Jerez. Kru Repsol Honda memodifikasi motor RC213V dengan tambahan grip spesial untuk membantu Marquez. Hasilnya tak begitu buruk karena Bayi Alien mampu finis di posisi kedua.  Di Prancis, Marquez mengulangi cerita di Qatar. Dia membuat kesalahan di awal sehingga tercecer ke posisi ketujuh, meski akhirnya finis keempat. Torehan dua podium dalam dua balapan menjadi start terburuk Marquez sejak promosi ke kelas MotoGP pada musim 2013. Isu motor Honda bermasalah pun mulai mencuat.  

Daftar kesialan Marquez bertambah panjang. Dobel DNF (did not finish) di Mugello dan Barcelona, terjatuh di MotoGP Inggris,  juga mengalami crash saat menguber Jorge Lorenzo di Aragon. Dengan lima kali crash dalam 14 seri, ini terbukti menjadi musim terburuk bagi Marquez sejak berkiprah di ajang Grand Prix pada 2008. Pada dua musim pertama di kelas terendah (125cc), dia gagal finis empat kali dalam setahun. Bukan sesuatu yang buruk karena saat itu Marquez baru belajar soal motor, trek, dan pebalap lain di level kejuaraan dunia. 

Puncak dari periode suram Marquez pada musim 2015 adalah insiden di Sirkuit Sepang, Malaysia, pada 25 Oktober. Dia kembali mengalami clash dengan The Doctor. Bedanya, kali ini imbasnya sungguh luar biasa. Sejumlah pihak menuding Rossi sengaja menendang Marquez supaya terjatuh. Fans Rossi jelas tak terima dengan tuduhan ini. Atmosfer benar-benar memanas. Kontroversi bukan hanya melibatkan Rossi dan Marquez, tapi juga merembet ke pebalap lain, fans, media, hingga publik Italia dan Spanyol.

Perseteruan makin meruncing ketika Rossi menuding Marquez dan Lorenzo sengaja berkonspirasi untuk menjegal misinya merengkuh gelar juara dunia ke-10. Kedua kubu akhirnya terlibat perang dingin. Gelar juara dunia akhirnya jadi milik Lorenzo, Rossi peringkat kedua, dan Marquez harus puas di posisi ketiga. Tak ada kegembiraan bagi Rossi dan Marquez. Bahkan, pesta kemenangan Lorenzo pun terasa hambar.

2 dari 2 halaman

1

Musim Baru, Mentalitas Baru 

Entah apa yang terjadi pada Marquez selama fase pramusim. Ketika media masih panas mengulas konflik antara ketiga pebalap, Marquez memilih banyak diam. Saat datang ke Indonesia untuk promosi motor Honda pun Marquez terus tersenyum, terlihat tak punya banyak beban.

Tampaknya saat itu Marquez fokus mengevaluasi kegagalannya pada musim 2015. Finis ketiga bukan prestasi membanggakan bagi seorang pebalap yang langsung juara dunia dua kali beruntun setelah promosi ke kelas MotoGP pada 2013. Marquez mengaku belajar banyak dari pengalaman pahit di musim 2015. 

Dalam sebuah wawancara dengan Motorsport beberapa waktu lalu, Marquez mengaku terus bertarung dengan dirinya sendiri sepanjang musim 2016. Pria kelahiran Carvera, Spanyol, tersebut dihadapkan pada dua pilihan rumit, harus mempertahankan idealisme membalap atau berkompromi dengan situasi.

Sejak terjun ke ajang balap motor dunia pada usia 15 tahun, Marquez identik dengan pebalap yang selalu berani mengambil risiko. Tak heran, gaya membalap Baby Alien sangat agresif, cenderung "rakus" meraup sebanyak mungkin poin. Hingga musim 2014, gaya tersebut terbukti ampuh mengantar Marquez meraup berbagai kesuksesan. 

Namun, pengalaman sepanjang musim 2015 menyadarkan Marquez bahwa karakter tersebut tak mungkin diterapkan dengan kaku. Peristiwa lima kali crash membuktikan sang pebalap tak cermat menghitung risiko yang dihadapinya. Bayarannya sangat mahal dan pahit.

Itulah sebabnya, sisi lain Marquez yang lebih realistis memenangi perdebatan pada musim ini. Tapi, praktiknya tetap tak semudah angan-angan. Ada kalanya dia kehilangan kontrol, seperti di MotoGP Inggris.

Valentino Rossi dibayangi ketat Marc Marquez di Sirkuit Silverstone, Inggris. Minggu (30/8/2015). (Reuters/Darren Staples)

Pada balapan di Sirkuit Silverstone tersebut, Marquez terlibat duet sengit dengan Valentino Rossi dan Cal Crutchlow. Duel dengan The Doctor terjadi delapan putaran sebelum finis. Dia beberapa kali menyalip Rossi, dengan aksi yang dinilai cukup berbahaya. Bahkan keduanya hampir terjatuh karena terjadi senggolan. Saat berhasil menyalip Rossi dan bersaing dengan Crutchlow, Marquez mengalami nasib apes. Motornya keluar lintasan sehingga kembali disalip oleh Rossi. Posisi tersebut bertahan hingga garis finis. Maverick Vinales juara, diikuti Crutchlow. Adapun Valentino Rossi finis di peringkat ketiga di depan Marquez

"Marquez yang lama kembali pada lap-lap terakhir dan saya finis keempat. Kemudian orang-orang bilang, 'kenapa Anda mengambil risiko itu, Anda kehilangan beberapa poin'," ujar Marquez. 

"Tapi, apa yang terjadi jika saya finis kedua? Mereka akan bilang, "Marc menjadi raja karena berani mengambil risiko, dia mendapatkan banyak poin'," imbuh Marquez.

Komentar tersebut menunjukkan Marquez sudah paham apa yang harus diperbuat untuk bangkit kegagalan musim lalu. Dia tahu kapan harus tampil agresif mengejar kemenangan atau podium dan kapan perlu menahan diri untuk meminimalisir kerugian ketika menghadapi situasi yang sulit.

Marquez bukan hanya memikirkan apa yang terjadi di tiap seri, namun memilih memandang jauh ke depan. Kemenangan seri bukanlah segalanya. Baginya, juara dunia adalah target terbesar meskipun harus dilalui dengan menepikan egonya untuk memenangi setiap balapan.  Kematangan terlihat saat Marquez tak memaksakan jadi juara di MotoGP Assen yang berlangsung sulit karena direcoki hujan. Dia memilih finis kedua dan meraih poin ketimbang mengejar podium utama tapi akhirnya malah terjatuh.

Kecermatan menghitung peluang di setiap seri berbuah hasil manis. Statistik menunjukkan segalanya. Marquez memang baru mengemas lima kemenangan hingga MotoGP Jepang, jauh di bawah raihannya saat juara pada musim 2014. Tapi, di sisi lain dia berhasil menjelma menjadi pebalap paling konsisten sepanjang musim 2016, jauh melebihi dua seteru utamanya, Rossi dan Lorenzo. Dia menjadi satu-satunya pebalap yang selalu finis dan mendulang poin di setiap seri, bahkan saat motornya kurang kompetitif pada awal-awal musim. Bandingkan dengan Rossi yang gagal finis empat kali dan Lorenzo yang tiga kali gagal merampungkan balapan. 

Tak heran, semua pebalap sepakat dengan satu hal usai MotoGP Jepang dan Marc Marquez memecahkan rekor sebagai pebalap termuda yang mengoleksi tiga gelar juara dunia MotoGP.  Putra Julia Márquez dan Roser Alenta tersebut memang pantas menjadi pemenang, sang penguasa MotoGP 2016. Si Bayi Alien telah bertambah dewasa berkat kemampuan dan kegigihannya untuk belajar cepat dari sebuah kegagalan. 

 

Video Populer

Foto Populer