DPR dan DPD Soroti Pengaruh Kebijakan Cukai Rokok Terhadap Stabilitas Kerja di Sektor Tembakau

 Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini, mengkritik sikap pemerintah yang dianggap kontradiktif. Di satu sisi, rokok merupakan sumber utama penerimaan negara dengan kontribusi cukai mencapai Rp230 triliun tahun ini, yang diharapkan meningkat menjadi Rp241,83 triliun pada RAPBN 2026. Namun, di sisi lain, kebijakan terkait tarif, harga jual eceran (HJE), dan regulasi kesehatan yang semakin ketat justru menekan daya saing industri.

"Tiap tahun cukai makin tinggi, sementara aturan pembatasan konsumsi rokok juga semakin ketat. Ini membebani perusahaan dan berimbas pada tenaga kerja," ungkap Yahya dalam keterangannya pada Kamis (11/9). Ia juga mengingatkan bahwa industri rokok menyerap sekitar 2 juta pekerja, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Anggota DPD RI dari Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, memiliki pandangan yang serupa. Ia menyatakan bahwa isu PHK massal di Gudang Garam bukan hanya masalah internal perusahaan, tetapi juga ancaman bagi keberlangsungan hidup banyak orang, mulai dari pekerja pabrik hingga petani tembakau. "Kalau benar kabar PHK massal Gudang Garam, ini kabar yang sangat tidak sedap. Isu ini tidak hanya soal industri, tapi juga problem baru dalam penyerapan tenaga kerja," ujarnya pada Senin (8/9).

Lia mengidentifikasi dua faktor utama yang menekan industri hasil tembakau saat ini: terbatasnya pasokan tembakau dan tingginya tarif cukai. Ia juga mengungkapkan bahwa efek dari kebijakan ini berimbas pada Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Meskipun alokasi DBHCHT telah dinaikkan dari 2 persen menjadi 3 persen dalam UU HKPD, Lia menilai angka tersebut masih belum mencukupi.

"Pemerintah perlu menaikkan hingga 5 persen untuk menjamin kesejahteraan petani, misalnya lewat program jaminan gagal panen, modernisasi alsintan, dan peningkatan kualitas produksi," tutur Lia. Selain itu, buruh pabrik juga terancam oleh kondisi ini, dan Lia mempertanyakan apakah penurunan produksi di Gudang Garam disebabkan oleh melemahnya daya beli atau kurangnya inovasi perusahaan dalam mengikuti selera pasar.

"Kalau demand masyarakat masih tinggi, mestinya industri rokok aman. Persoalannya bisa pada tren produk atau tarif cukai yang terlalu tinggi sehingga harga jual sulit dijangkau," tambahnya. Di sisi lain, kinerja keuangan Gudang Garam memang menunjukkan penurunan yang signifikan. Pada tahun 2024, laba bersih perusahaan anjlok 81,57 persen menjadi Rp980,8 miliar dari Rp5,32 triliun pada tahun 2023.

Hingga semester I-2025, pendapatan perusahaan turun 11,30 persen year-on-year menjadi Rp44,36 triliun, dengan laba yang hanya mencapai Rp117,16 miliar. Penurunan yang drastis ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat terkait kemungkinan PHK massal yang beredar luas di media sosial. Jika hal ini benar-benar terjadi, dampaknya akan sangat luas, menjangkau seluruh ekosistem industri tembakau, termasuk petani, buruh linting, dan pedagang kecil.

"Pertanyaan saya, adakah perencanaan dari pemerintah untuk memulihkan industri rokok? Karena industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Jika tidak segera diantisipasi, PHK massal akan memicu masalah sosial dan ekonomi yang lebih besar," tegas Lia.