Seberapa Penting Smartwatch untuk Kesehatan? Ini Kata Para Ahli

Profesor Niels Peek dari University of Manchester menilai, teknologi ini berpotensi memberi manfaat besar, bahkan dalam situasi tertentu dapat membantu menyelamatkan nyawa.

Menurut Peek, keberadaan sensor di bagian belakang smartwatch memungkinkan perangkat tersebut menangkap indikasi masalah kesehatan sebelum gejala fisik terasa.

Hal ini membuat penggunanya cenderung lebih waspada terhadap kondisi tubuh sendiri. Umumnya, sensor bekerja dengan memanfaatkan cahaya LED untuk membaca aliran darah dan denyut nadi.

Pada model yang lebih canggih, smartwatch juga mampu mendeteksi perubahan arus listrik melalui kulit sehingga dapat memberikan gambaran mengenai tingkat stres pengguna.

Peek menjelaskan, beberapa smartwatch kini dilengkapi fitur pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) untuk membantu memantau kesehatan jantung. Melalui fitur tersebut, perangkat dapat mendeteksi fibrilasi atrium (AF), yang ditandai dengan detak jantung tidak beraturan.

Ia menegaskan bahwa smartwatch bukanlah penyebab penyakit atau serangan jantung, melainkan alat peringatan dini terhadap potensi risiko seperti stroke, pembekuan darah, atau gangguan jantung lain yang bisa terjadi di kemudian hari.

Meski begitu, Peek mengingatkan bahwa memahami data yang ditampilkan smartwatch tidak selalu mudah. Bertambahnya fitur justru berpotensi membingungkan sebagian pengguna jika tidak disertai pemahaman yang memadai.

Itulah mengapa ia menilai penting bagi masyarakat untuk mengetahui arti informasi yang ditampilkan agar dapat mengambil keputusan tepat terkait kesehatan jantung.

Pandangan tersebut sejalan dengan temuan psikolog klinis asal Amerika Serikat, Lindsey Rosman.

Dalam penelitiannya terhadap pasien dengan gangguan kardiovaskular yang menggunakan perangkat wearable, ia menemukan bahwa sekitar 20 persen responden mengalami peningkatan kecemasan.

Dampaknya, mereka cenderung lebih sering memanfaatkan layanan kesehatan.

Rosman mengamati pola yang berulang pada pasien. Saat melihat angka tertentu di smartwatch, rasa cemas muncul dan memicu peningkatan denyut jantung, yang kemudian tecermin kembali pada data di layar.

Siklus ini membuat kecemasan makin meningkat. Ia menilai kekhawatiran berlebihan terhadap angka justru dapat memperburuk kondisi psikologis.

Di sisi lain, keberadaan banyak fitur tidak selalu menjamin keakuratan perangkat. Smartwatch yang hanya mengandalkan sensor di pergelangan tangan dinilai memiliki keterbatasan dalam menangkap seluruh data yang dibutuhkan secara presisi.

Dosen senior di bidang olahraga dari Manchester Metropolitan University, Kelly Bowden-Davies, menegaskan bahwa smartwatch tidak bisa disamakan dengan alat medis.

Perangkat ini tidak mengikuti standar ketat yang berlaku pada peralatan medis sehingga fungsinya lebih bersifat memberikan gambaran umum, bukan diagnosis yang akurat.

Meski demikian, smartwatch tetap memiliki manfaat praktis dalam membantu pengguna mengevaluasi aktivitas fisik harian, seperti memantau kecepatan lari, kualitas tidur, hingga estimasi kalori yang terbakar.

Namun, untuk pemantauan kesehatan yang lebih mendalam dan akurat, konsultasi dengan tenaga medis serta penggunaan alat kesehatan resmi tetap menjadi langkah yang tidak bisa ditinggalkan.

Sumber: merdeka.com