Sukses


Owi-Butet, Enid Blyton, dan Bonus Rp 5 Miliar

Bola.com, Jakarta - Suatu hari, Ani hendak meninggalkan rumah untuk satu hari. Sebelum pergi, ia menemui tetangganya, Wati, untuk meminta tolong membersihkan rumah selama ia tidak ada. Kepada Wati, Ani mengatakan, "Uangnya ada di rumah. Kamu boleh membawanya pulang setelah selesai bekerja."

Wati pun datang ke rumah Ani. Namun pikirannya hanya tertuju pada upah. Ia bekerja sambil mencari di mana Ani meletakkan upah untuknya. Namun, ia tidak menemukan uang itu. Wati kesal, bekerja asal saja, dan kemudian pulang tanpa membawa uang.

 

Keesokan harinya, Wati menemui Ani. "Kamu bilang, uangnya ada di rumah. Namun, aku tidak mendapatinya. Padahal, aku sudah bekerja keras membersihkan rumahmu," ujar Wati kepada Ani.

"Kalau begitu, kamu berbohong. Namun, aku akan tetap membayarmu," sahut Ani sambil menyodorkan uang kepada Wati.

Ani kemudian menemui Tuti untuk minta tolong membersihkan rumah. Kepada Tuti, Ani kembali mengatakan bahwa ia menaruh uang di rumah dan Tuti boleh membawanya pulang setelah bekerja.

Ketika sedang menyapu bagian dalam rumah, Tuti menemukan uang Rp 100.000 di bawah tempat sampah. Ia kemudian menyeterika pakaian dan menemukan uang Rp 200.000 di bawah pakaian terakhir.

Tuti meletakkan uang-uang yang ditemukannya di meja makan karena berpikir itu bukanlah upah untuknya, tetapi uang itu berceceran karena Ani teledor. Ani kemudian pulang.

Menjelang malam, Ani datang menemui Tuti di rumahnya. "Kamu bekerja dengan baik dan jujur. Aku meletakkan uang untuk membayarmu di tempat-tempat yang seharusnya kamu bereskan dan kamu melakukannya. Kamu berhak mendapatkan uang ini," ujar Ani sambil menyodorkan uang sejumlah yang ditemukan Tuti. Ani kemudian mengambil amplop berisi uang dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Tuti.

"Ini juga untuk kamu. Maaf aku tak bisa menghargai kejujuran dan kerja kerasmu dengan lebih baik," ujar Ani.

Cerita di atas saya adaptasi dari cerita karangan Enid Blyton. Saya teringat cerita itu, tak lama setelah Tontowi Ahmad (Owi) dan Liliyana Natsir (Butet) meraih medali emas bulutangkis ganda campuran Olimpiade Rio de Janeiro, Kamis (18/8/2016) dini hari WIB atau Rabu (17/8/2016) waktu Brasil.

Seperti Tuti, Owi dan Butet fokus pada tugas mereka di lapangan, bukan pada bonus Rp 5 miliar. seperti dijanjikan Menpora Imam Nahrawi. Menurut saya, Owi dan Butet berlatih dan menantang diri sendiri selama bertahun-tahun untuk menjadi yang terbaik, entah apakah nantinya mendapatkan bonus besar atau tidak. Seperti Tuti, mereka hanya bekerja sebaik mungkin dan oleh karenanya mendapatkan ganjarannya.

Kemenangan Owi dan Butet menjadi lebih berarti karena terjadi saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-71. Owi dan Butet membuat hari kemerdekaan Indonesia seolah-olah dirayakan masyarakat dunia.

Tentu wajar Owi dan Butet disebut pahlawan. Masalahnya, apakah kita sudah cukup layak menyematkan gelar itu? Beban status pahlawan tidak berada pada orang yang menyandangnya, tetapi pada yang menyematkan. Seorang yang membuka jalan atau menyalakan api bukanlah pahlawan jika orang-orang di belakangnya menutup mata atau memalingkan wajah.

Indonesia punya banyak pahlawan yang terlupakan; Pahlawan yang pada akhirnya dibiarkan berjuang sendirian; Pahlawan yang perjuangannya tidak dilanjutkan dan bahkan diingkari.

Bung Karno dan Bung Hatta sudah mewakili bangsa ini menyatakan kemerdekaannya kepada dunia. Namun, kini, kita mengkhianati mereka dengan menjual negeri ini petak demi petak.

Owi dan Butet sudah menyalakan api. Apakah kita sanggup menjaga api itu? Apakah kita sanggup bekerja tekun dan melupakan jalan pintas? Apakah negara sanggup memberi bonus utuh tanpa potongan?

Apa pun, selamat dan terima kasih kepada Owi dan Butet. Semoga kami tidak mengecewakan kalian... 

 

Video Populer

Foto Populer