Sukses


Kolom: Yayasan Olahraga, Bikin Lotere Lagi?

Bola.com, Jakarta - Keramaian sambutan ganda campuran peraih medali emas Olimpiade Rio de Janeiro, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, sudah berakhir di pusat tapi sepertinya masih berlanjut sampai daerah-daerah. Bonus Rp 5 miliar untuk peraih emas dan dua miliar untuk perak, telah dikumandangkan oleh Menpora Imam Nahrawi, salah satunya lewat iklan yang ditayangkan di berbagai televisi.

Dari mana uang untuk membayar iklan-iklan tersebut? Tentulah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias uang rakyat. Bagaimana pertanggungjawabannya?

Rasanya euforia kemenangan mengembalikan masa emas kontingen Indonesia di Olimpiade menutup pertanyaan maupun jawaban itu. Tak apalah, toh nanti ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan memeriksa keuangan kementerian, bukan hanya soal biaya iklan tapi juga pengeluaran lainnya.

Biaya iklan hanya sebagai contoh bagaimana panjangnya perjalanan dana olahraga guna menuju transparansi sebagaimana layaknya laporan keuangan lainnya. Di tingkat kementerian ada kontrol BPK dengan sebelumnya dilaporkan dulu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagaimana dengan organisasi olahraga di Tanah Air, seperti KONI dan PB/PP, yang memperoleh dana dari pemerintah dan sponsor-sponsor ? Bagaimana pertanggungjawabannya?

Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Eko Yuli dan Sri Wahyuni mengikuti parade dengan bus Bandros melewati Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Negara, Rabu (24/8/2016). (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Banyak pertanyaan soal dana olah raga ini, dari yang paling bawah, dikelola klub, sampai ke tingkat atas, kementerian. Nah di tengah keadaan seperti ini, Menpora setelah bertemu dengan Presiden Jokowi saat mengantar Owi/Butet ke Istana, menggelindingkan wacana pembentukan yayasan olahraga untuk mengelola dana olah raga dari masyarakat.

Barang barukah? Tidak, tapi bagaimana sulitnya mencari dana olah raga merupakan lagu lama. Hingga seperti kondisi sekarang, dana olahraga bagi pembinaan prestasi sangat seret didapat. Sumber utama sekarang ini tetap dari pemerintah.

Bahkan pada kondisi kini, induk-induk organisasi seolah menjadi manja karena adanya subsidi pemerintah tersebut. Mereka malas mencari sumber lain untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan, misalnya untuk kompetisi. Kecuali cabang-cabang “basah”, seperti sepak bola dan bulutangkis, cabang-cabang tidak populer sangat kering sumber lainnya.

Tujuan rencana didirikannya yayasan, seperti diungkap Menpora, yaitu untuk menampung dana olah raga. Memang, begitu Owi/Butet menang di Olimpiade bonus mengalir. Hingga akhirnya hal-hal ini perlu ditampung dalam satu yayasan.

Ya, benar, begitu prestasi tinggi muncul, pasti dana gampang diraih. Prinsip no pay no gain, tetap saja berlaku di bidang apa pun. Tidak ada keringat, tidak ada bayaran. Tidak ada prestasi, tidak ada bonus.

2 dari 3 halaman

1

Barang Lama

Namun, membentuk lembaga apa pun, atau pengelolaan dana di luar pakem aturan keolahragaan, merupakan barang lama yang muncul dibarengi sikap kontroversial dari berbagai pihak. Pengalaman-pengalaman sebelumnya mencerminkan hal itu.

Sebelum ini, di era Menpora Adhyaksa Dault, muncul wacara pembentukan dewan olahraga, yang ruang geraknya melakukan pengawasan terhadap bidang olahraga nasional. Ketika itu juga muncul pro kontra sehingga tenggelam pada saat berganti menteri.

Sejarah juga mencatat, ketika era Presiden Soeharto, pencarian dana olahraga banyak dilakukan oleh yayasan dengan meluncurkan program pencarian dana dari masyarakat melalui sumbangan bahkan sampai pada yang bersifat lotere, diundi. Nama-nama produk, seperti Nalo (Nasional Lotere), Porkas (tebak skor sepakbola), sampai kepada SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), pernah digemari masyarakat sebelum ditarik peredarannya karena banyak muncul efek negatif.

Masyarakat kita belum menerima secara utuh, tanpa embel-embel lain, bahwa produk itu merupakan pencarian rezeki yang bergantung kepada faktor nasib belaka, kebetulan semata. Tidak perlu dicari umpamanya lewat paranormal atau dukun-dukun peramal. Program itu pun dianggap sebagai perjudian terselubung.

Muncullah usaha-usaha sampingan. Ada yang menjadi paranormal, nomor yang ditebak bisa juga tidak lengkap (tebak nomor buntut), skor-skor sepakbola dalam pertandingan bodong guna memenuhi jumlah pertandingan yang ditebak skornya, dan banyak lagi sampai pada efek kriminal.

Pencarian dana melalui tempat-tempat hiburan juga pernah dilakukan pada saat menyambut event besar,seperti PON dan SEA Games, misalnya penjualan stiker di bioskop dan tempat lainnya. Tetapi tetap saja disambut kontroversial oleh masyarakat.

Rasanya perkembangan masyarakat kita kini tidak berubah banyak, sehingga jika program-program itu diluncurkan lagi akibatnya juga bisa serupa. Berbeda dengan negara yang masyarakatnya sudah berpendidikan tinggi, lotere ada tapi tetap dianggap sebagai permainan adu nasib saja, tidak diembeli oleh hal lainnya.
Atau pencarian dana dalam yayasan yang akan dibentuk nanti tidak dengan cara-cara seperti itu lagi? Pencarian dana akan dilakukan semata lewat para donatur?

3 dari 3 halaman

2

Prestasi Yang Utama

Okelah melalui donatur dana bisa diperoleh, tapi seberapa besar jumlahnya? Sekarang ini para donatur berlomba menyumbang karena ada atlet yang berprestasi tingkat dunia. Tapi kalau tidak ada prestasi, mereka lari, ogah ikut menyumbang.

Tengok saja dana yang ada di PB/PP sekarang, selain dari pemerintah mungkin yang besar lagi berasal dari kantong pribadi ketua umumnya. Yang berasal dari sumber lain pada cabang-cabang tidak populer tipis sekali. Mereka jadi kurang memutar kompetisi. Akibatnya prestasi merosot. Tanpa prestasi, sponsor pun sulit didapat.
Kita tidak perlu mencari mana yang lebih didahulukan. Ini bukan seperti telur dan ayam. Yang lebih diutamakan sudah jelas, yakni prestasi. Prestasi diperoleh melalui kompetisi. Kompetisi yang berkualitas dilahirkan lewat atlet yang proses latihannya berdasarkan sport science mutakhir.

Melahirkan program dan pelatih yang tangguh adalah area pemerintah, dengan mencarinya ke dalam maupun luar negeri. Biarkan kompetisi mejadi milik PB/PP bekerja sama dengan event-event organizer. Pemerintah berperan menjadi mentor dengan menunjukkan sumber-sumber dana sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ada yang menarik dari kerja pemerintah sebelumnya dengan menempatkan seluruh BUMN menjadi bapak angkat cabang-cabang olah raga. Dulu sudah dibagi, BUMN A misalnya menangani cabang ini-itu, dan seterusnya BUMN yang lain.

Pertamina sudah menjadi contoh. Selain membantu pebalap Rio Haryanto juga aktif mensponsori pertandingan-pertandingan lain. Bahkan dulu mereka punya klub sepakbola Indonesia Muda yang identik dengan “milik” Pertamina. Para pemain sepak bola asal klub ini semuanya ditampung bekerja di Pertamina.

Banyak contoh BUMN lain dengan cabang-cabang lain pula. Begitu pula dengan yang di daerah melalui BUMD. Atlet sukses berprestasi, sukses pula masa depannya.

Sebenarnya ada lagi sumber dana, yaitu memanfaatkan dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan-perusahaan besar yang di dalam undang-undang diatur sebesar 3 persen dari keuntungan. Hanya sayang, olahraga tidak termasuk sektor yang mendapat bantuan itu. Sektor-sektor yang masuk di antaranya kesehatan, lingkungan, dan sosial.

Tapi, dengan melihat gaya kepemimpinan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, yang memakai dana CSR perusahan swasta untuk keamanan penggusuran, kenapa tidak bisa dimanfaatkan juga untuk pembinaan olahraga? Diperlukan kemauan kuat pemimpin daerah dan pusat yang berorientasi untuk membangun olah raga prestasi.

Manajemen Keuangan

Setelah dana diperoleh, kompetisi berputar, prestasi bisa muncul, selanjutnya mendidik PB/PP dan organisasi olahraga lainnya untuk mengelola keuangan secara benar. Prinsip-prinsip manajemen keuangan, seperti akuntabel, responsibility, independent, dan fairness harus diterapkan dalam pengelolaan olahraga. Tujuannya agar para pemberi dana merasa puas melakukan kerja sama dalam meningkatkan prestasi olahraga. Sehingga kerja sama akan berkesinambungan, tidak berhenti di tengah jalan.

Pemerintah harus ikut berperan dalam menegakkan sistem manajemen keuangan itu. Sehingga peran pemerintah bukan hanya mengembangkan ilmu kepelatihan, tapi juga memberikan ilmu pengelolaan keuangan yang baik kepada seluruh sumber daya manusia, melalui, misalnya, pelatihan-pelatihan di dalam dan luar negeri.

Kalau sudah seperti ini, tidak diperlukan lembaga lain dalam mengurusi olahraga, cukup yang sudah ada sekarang ini. Tidak perlu menambah birokrasi lebih panjang, karena akan membuat organisasi menjadi gemuk dan sulit bergerak.

Bahkan Satuan Pelaksana Olah Raga Prima (Satlak Prima) dan turunannya bisa dibubarkan, karena lembaga ini membuat birokrasi pembinaan tambah panjang. Berbeda misalnya kalau ada pusat-pusat olahraga yang memiliki sarana dan prasarana komplet. Keberadaannya justru sangat dibutuhkan, karena pembinaan menjadi terpusat dan lebih mudah dalam pengawasannya.

Kita tidak ingin prestasi olahraga ditentukan oleh faktor lotere, diundi, nasib baik, akan tapi diraih melalui kerja keras yang nyata. Sesuai moto peringatan hari kemerdekaan negara kita ke-71 yang sudah disebar ke pelosok negeri; Indonesia kerja nyata.

Lilianto Apriadi

Penulis adalah pengajar ilmu komunikasi dan pengamat olahraga

 

 

 

Video Populer

Foto Populer