Krisis Terlihat Sejak Lama, Barcelona Akhirnya Mulai Runtuh: Kekalahan Telak dari Sevilla Jadi Alarm

Laga di Ramon Sanchez-Pizjuan menjadi bukti nyata dari kemunduran ini. Pelatih Sevilla, Matías Almeyda, membaca kelemahan Barcelona dengan sempurna: tim dengan “rahang kaca, paru-paru ngos-ngosan, dan kaki seberat timah.”

Hasilnya, Sevilla menghancurkan Barcelona dengan agresivitas dan intensitas tinggi.

Jika bukan karena beberapa peluang Sevilla yang terbuang, skor bisa saja melampaui rekor kemenangan terbesar mereka atas Barcelona, yaitu 4–0 pada 1947.

Bahkan legenda Sevilla, Diego Capel, yang menyaksikan laga tersebut, sempat mengira Barcelona akan berbalik unggul setelah gol indah Marcus Rashford. Namun, kali ini, keajaiban itu tak datang. Barcelona benar-benar tak berdaya.

Hansi Flick sendiri sudah memperingatkan setelah hasil imbang melawan Rayo: “Tahun lalu kami adalah tim sejati, tapi ego membunuh kesuksesan.”

Kalimat itu seperti bom waktu yang dibiarkan meledak di ruang ganti. Situasi makin keruh ketika hubungan antara pelatih, pemain, dan manajemen memburuk.

Penanganan kasus Marc-Andre ter Stegen menimbulkan gesekan, sementara direktur olahraga Deco disebut terus “mengutak-atik” pemain untuk dijual demi menyeimbangkan keuangan klub.

Ditambah lagi, ketidakpastian soal stadion kandang, antara Camp Nou, Montjuïc, atau Johan Cruyff Stadium, menambah ketidakstabilan psikologis tim.

Secara fisik, Barcelona juga terlihat kehabisan tenaga. Mereka hanya tampil bertenaga penuh melawan Valencia, yang tampil buruk, dan dalam kemenangan di markas Newcastle United. Selebihnya, Barcelona lamban dan kurang agresif.

Menurut data Performance Football Intelligence LaLiga, tim yang musim lalu termasuk paling agresif dalam pressing kini malah berada di bawah rata-rata liga dalam hal merebut bola lewat tekel atau intersepsi. Sebuah penurunan drastis yang menggambarkan betapa longgarnya kerja kolektif tim ini.

Pernyataan Pedri seusai kekalahan dari Sevilla menggambarkan suasana hati skuad:

“Penampilan yang mengerikan. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan bola. Kami kekurangan intensitas dan kualitas.

Flick berjanji setelah jeda internasional, Barcelona akan “kembali berjuang untuk memenangkan semua kompetisi.” Namun janji itu terdengar seperti slogan talk show: optimistis tapi tanpa substansi.

Jika Barcelona tidak melakukan reset besar-besaran, mengembalikan mental juang, menjaga kebugaran pemain kunci, dan menekan ego di ruang ganti, maka musim ini bisa berubah menjadi mimpi buruk.

Krisis Barcelona bukan muncul karena satu malam buruk di Sevilla — melainkan hasil dari minggu-minggu penuh kelalaian, keangkuhan, dan kehilangan arah.

Dan jika Hansi Flick tak segera menegakkan kembali disiplin dan intensitas yang menjadi ciri khasnya, kebesaran Blaugrana hanya akan tinggal cerita masa lalu.

Sumber: ESPN