Episode Sukses Widodo C. Putro: Petrokimia, Persija, dan Timnas

oleh Wiwig Prayugi diperbarui 24 Jun 2016, 08:00 WIB
Indonesia Legend Series: Widodo C. Putro. (Bola.com/Grafis: Rudia Riana; Foto: Nicklas Hanoatubun)

Bola.com, Jakarta - Pada pertengahan 1980-an, Widodo Cahyono Putro yang dikenal sebagai salah satu pemain legendaris Timnas Indonesia hanyalah seorang pelajar SMEA (sekarang SMK) di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Widodo yang menyukai sepak bola sejak kecil sadar di kampung halamannya belum ada tempat untuk mengembangkan karier. Berangkat dari keinginan sukses, Wiwid-sapaan akrab Widodo-meretas dari daerah ke ibu kota. Tahun 1989, Widodo Cahyono Putro yang masih berusia 19 tahun merantau dan mengikuti seleksi di klub Galatama, Warna Agung.

Di situlah serial kesuksesan Widodo dimulai. Drg. Endang Witarsa, mantan pelatih Timnas Indonesia yang pada tahun 1989 menangani Warna Agung, adalah sosok yang paling berjasa bagi karier Widodo. Pada kompetisi Galatama 1990, Widodo langsung mendapat gemblengan dari Endang di tengah persaingan ketat kompetisi Galatama. 

"Saya meninggalkan zona nyaman pada saat itu. Tidak mungkin saya bisa berkembang karena di daerah saya pembinaan sepak bola belum ada. Tak ada pilihan lain kecuali berangkat ke Jakarta," kata Widodo yang ditemui Bola.com di cafe miliknya, WCP Coffee and Resto di Gresik, Jatim, 13 Juni 2016 lalu.

Pilihan Widodo tak salah. Warna Agung, klub yang pada kompetisi Galatama 1990 pindah kandang dari Bengkulu ke Jakarta, menjadi jalan bagi Widodo menuju Timnas Indonesia dan memperkuat Indonesia pada Pra Olimpiade 1992 dan SEA Games 1991. Widodo tampil dominan di Warna Agung dengan mengoleksi 12 gol (dari 20 gol Warna Agung selama semusim).

Advertisement

Widodo masuk daftar pemain muda pilihan Anatoli Polosin, yang dipersiapkan ke SEA Games 1991. Di bawah binaan Polosin yang kuat dengan karakter sepak bola Eropa Timur, debut Widodo dan pemain muda lain seperti Aji Santoso, Rochi Putiray, dan Sudirman sukses berat.

Timnas Indonesia era Anatoli Polosin pada waktu itu mengutamakan latihan fisik. Metode latihan Polosin yang terkenal dengan nama “Shadow Football” memfokuskan pemain pada kekuatan fisik, stamina, dan insting bermain.

Pada 26 November 1991 di Stadion Rizal Memoriam, Manila, Filipina, Widodo mencetak gol internasional pertama, saat Indonesia mengalahkan Malaysia 2-0 pada babak penyisihan grup. Gol Widodo jadi gol pembuka kemenangan Timnas Indonesia lalu disusul Rochi Putiray.

"Keyakinan saya bisa masuk timnas berkat Dokter Endang. Beliau mengatakan kepada asisten pelatih Warna Agung, ingin menjadikan saya pemain timnas. Kata-kata itu yang memotivasi saya," ucap Widodo.

SEA Games 1991 adalah memori termanis bagi Widodo karena Indonesia meraih medali emas dan hingga saat ini pencapaian tersebut belum disamai oleh generasi setelah itu.

"SEA Games 1991 jadi pencapaian terbaik saya sebagai pemain timnas. Kami berjuang keras dan menuai hasil yang memuaskan," kenang Widodo.

Sebuah poster yang dibuat oleh Ultras Mania Gresik dengan foto Widodo C. Putro di salah satu sudut stadion Tri Darma, Gresik, Jumat (6/11/2015). (Bola.com/Robby Firly)

Sukses di Tim Merah-Putih membuat nama Widodo dilirik tim-tim Galatama. Pada 1993, PS Petrokimia Putra berhasil mendapatkan Widodo. Widodo merasakan partai panas pada final Liga Indonesia I melawan Persib Bandung di Stadion Utama Gelora Bung Karno. 

Tampil dengan perpaduan pemain lokal top dan asing, Petrokimia kandas 0-1 dari Persib. Namun, Widodo masih bisa berbangga karena mencetak gol penentu timnya lolos ke final. Ia pun mendapat gelar sebagai pemain terbaik. Tahun 2002, Widodo akhirnya merasakan gelar juara Liga Indonesia bersama Petrokimia Putra.

2 dari 3 halaman

Persija, Bepe, dan Regenerasi Striker

Indonesia Legend Series: Widodo C. Putro. (Bola.com/Grafis: Rudia Riana; Foto: Nicklas Hanoatubun)

Tampil gemilang di timnas, Widodo C. Putro masuk dalam daftar striker papan atas era Liga Indonesia era 1990-an. Ia pun bergabung dengan Persija Jakarta pada 1998. Almarhum Ronny Patinasarani yang mengajak Widodo ke Jakarta, padahal saat itu ia juga mendapat tawaran dari Persebaya Surabaya.

Pilihan Widodo lagi-lagi tak salah. Bersama Tim Macan Kemayoran, Widodo meraih trofi Liga Indonesia 2001. Meski sebelum itu, Widodo dan pemain Persija berjuang keras di tengah persaingan ketat Liga Indonesia. 

Persija yang kini menjadi klub pesaing Widodo setelah menangani Sriwijaya FC adalah bagian terindah dalam kariernya sebagai pemain. Bersama Nur'alim, Imran Nahumarury, Luciano Leandro, Bambang Pamungkas, Widodo menjadi legenda Macan Kemayoran karena gelar juara LI 2001 jadi simbol kejayaan klub ibu kota.

"Tahun 2001 saya merasakan kenyamanan luar biasa di Persija. Suasana tim bagus dan akhirnya meraih juara," katanya.

Kedekatan Widodo dengan Persija tak hanya dalam lapangan. Di luar arena, Widodo menjadi bagian dari sejarah terbentuknya The Jakmania. Ia pun menyumbangkan lagu "Ayo The Jak" yang masih dinyanyikan hingga sekarang.

Selain itu, ada satu hal dari Persija yang menurut Widodo luar biasa. Dialah Bambang Pamungkas. Widodo mengakui, juniornya itu jadi generasi terakhir striker lokal yang mampu bersaing dengan pemain asing.

"Sampai sekarang belum ada lagi striker Indonesia yang fenomenal, setelah era Kurniawan D.Y dan Bambang. Semenjak saya melatih, saya mencoba mengurai permasalahan regenerasi striker lokal," jelasnya.

Pelatih Sriwijaya FC, Widodo Cahyono Putro, saat bertanding melawan Persib dalam laga Torabika Soccer Championship 2016 di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, Sabtu (30/4/2016). (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Salah satu faktor yang membuat regenerasi striker Indonesia macet adalah bakat alam dan masuknya pemain asing di Liga Indonesia hingga ISL. Pada era 1990-an, bakat pemain yang berposisi sebagai striker benar-benar terasah karena mendapat jam terbang di kompetisi elite.

"Bakat alam sebenarnya ada, buktinya Kurniawan dan Bambang bisa. Tapi masalah sekarang lebih kompleks. Klub lebih banyak memakai striker asing dan mereka begitu mendominasi pada era ISL," lanjutnya.

 

 

"Kalau era dulu, striker benar-benar diasah naluri gol dan si pemain menikmati proses tersebut. Itu saya rasakan ketika mencetak gol salto di Piala Asia. Tak perlu melihat, karena saya sudah tahu posisi gawang tak berubah. Insting saja dan lakukan tendangan keras," ungkap Widodo C. Putro.

Widodo yang pernah menangani timnas tahu betul kendala itu saat melakukan seleksi pemain. Ia pun mengakui, cara pemain sepak bola menjalani profesi era dulu dan sekarang berbeda jauh. 

Menurut dia, dahulu, bila sudah gabung klub, pemain berlatih keras dan dedikasinya luar biasa. Terutama saat membela nama daerah dan timnas.

"Sekarang anak-anak di SSB juga ada gangguan baru, gadget. Itu terlihat di SSB saya, jumlah siswa menurun karena mungkin ketertarikan mereka ke sepak bola mulai berkurang," beber Widodo C. Putro.

3 dari 3 halaman

Konsisten di Sepak Bola dan Bisnis

Widodo C. Putro mengakhiri karier sebagai pemain pada tahun 2004 di Petrokimia Gresik. Kota Gresik akhirnya menjadi pilihan Widodo untuk menetap. 

Di Gresik, Widodo membangun kerajaan hidupnya lewat sepak bola dan bisnis. Ia mendirikan WCP (Wahana Citra Pesepak Bola) Football Academy dan pada 2014, akademi itu sudah menjadi anggota Asosiasi PSSI Kabupaten Gresik. Salah satu pemain yang lahir dari WCP FA adalah M. Dimas Drajad, mantan striker Timnas U-19 yang kini membela PS TNI.

"Untuk sekarang muridnya sekitar 100. Sewaktu Indonesia vakum kompetisi dan disanksi FIFA motivasi anak-anak di sepak bola memang menurun. Lebih banyak yang bermain futsal," tutur bungsu dari 12 bersaudara itu.

Tak hanya itu, Widodo dan keluarga membuka berbagai usaha. Salah satu yang sedang digeluti adalah kafe dan kos-kosan. Peluang itu dimaksimalkan Widodo mengingat Gresik adalah kota industri. WCP Coffee and Resto di kompleks Gresik Kota Baru selalu ramai pengunjung. 

"Usaha kafe ini untuk selingan. Tapi saya bersyukur karena banyak yang meminati," katanya.

Pengunjung kafe tak hanya dimanjakan dengan menu enak dan murah, tapi juga suasana yang nyaman serta bisa melihat bukti kejayaan Widodo. Widodo memajang dua jersey kebanggaannya, yakni kostum Petrokimia Putra dan Timnas Indonesia.

Selain itu, medali yang ia raih juga jadi ornamen di dinding. Ada juga grafiti Widodo saat beraksi menceploskan gol salto ke gawang Kuwait yang jadi gol terbaik Piala Asia 1996.  

Widodo C. Putro, Pelatih Sriwijaya FC bersama keluarga di WCP Coffee and Resto, Gresik. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Selain bisnis kuliner, Widodo juga sedang mengerjakan proyek pembuatan lapangan sepak bola. Berawal dari coba-coba, Widodo mengirim proposal ke PT Semen Gresik yang ingin membuat fasilitas sepak bola.

"Saya cukup tertarik mengerjakan proyek lapangan sepak bola karena di Indonesia masih minim lapangan yang berkualitas. Ya, siapa tahu kelak bisa jadi tempat alternatif bagi timnas untuk latihan," jelas Widodo.

Meski hasilnya lumayan, bisnis hanya sebagai pekerjaan pendamping. Widodo tetap konsisten di jalur sepak bola sebagai pelatih. Sriwijaya FC jadi tantangan yang sedang ia hadapi. Demi Laskar Wong Kito, Widodo menolak tawaran dari Alfred Riedl untuk menjadi asisten pelatih Timnas Indonesia Piala AFF 2016.

"Saya sudah berkomitmen dengan Sriwijaya FC, pantang untuk mundur demi pekerjaan lain karena saya terikat kontrak. Tapi, bila ada kesempatan kembali ke timnas lagi saya siap," kata Widodo C. Putro mengakhiri pembicaraan dengan Bola.com.