Cerita Donald Santoso, Forrest Gump, dan Phoenix Suns

oleh Andhika Putra diperbarui 28 Des 2017, 13:56 WIB
Donald Santoso berbagi cerita tentang pengalamannya bermain untuk Phonix Suns dan misi membuat tim nasional kursi roda basket Indonesia.(Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Ada ungkapan bijak yang pernah diucapkan sebuah tokoh bernama Forrest Gump yang berbunyi "Life was like a box of chocolates. You never know what you’re gonna get". Bila diterjemahkan menjadi "Hidup seperti sebuah kotak yang berisi coklat. Kalian tidak pernah atau apa yang akan didapat". Ungkapan tersebut mungkin terdengar biasa bagi kebanyakan orang, tapi untuk Gump dan Donald Santoso kalimat tersebut memiliki arti besar dalam hidup mereka.

Gump merupakan sosok fiksi dalam novel karya Winston Groom yang memiliki keterbatasan IQ dan fisik. Namun, dalam keterbatasannya itu, Gump memiliki bakat spesial yakni kemampuan lari yang sangat cepat.

Advertisement

Kisah Gump menjadi inspirasi bagi beberapa kalangan yang memiliki keterbatasan, Donald Santoso termasuk di dalamnya. Satu hal yang patut dipelajari dari Gump adalah tekad pantang menyerahnya.

Nama Donald Santoso mungkin masih asing bagi masyarakat Indonesia. Terlebih pria berusia 28 tahun itu memang tumbuh besar di Amerika Serikat.

Donald menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga menyelesaikan Strata dua (S2) di Amerika Serikat. Layaknya siswa yang menghabiskan waktu di negeri NBA, Donald kecil jatuh cinta dengan basket. "Basket memberikan saya kepercayaan diri lebih. Entah mengapa saat berada di lapangan dan bermain basket saya merasa bisa melakukan segalanya," ujar Donald.

Segalanya berjalan normal untuk Donald, kemampuan bermain basketnya terus membaik. Akan tetapi, kehidupan Donald mulai berubah ketika mendapat cedera ligamen saat berusia 17 tahun.

Bagi kebanyakan atlet, cedera ligamen bisa disembukan melalui beberapa cara pengobatan termasuk operasi. Namun, hal itu tidak terjadi untuk Donald. Total, enam kali operasi sudah dijalani Donald untuk menyembuhkan cedera ligamen yang dideritanya. Hasilnya, semua operasi tersebut berjalan negatif.

Cedera tersebut memang tidak membuat  [Donald Santoso](Donald Santoso "Donald Santoso") lumpuh total. Hanya saja, pebasket yang mengidolai Derrick Rose itu tak bisa berlari dan bermain basket seperti dulu.

2 dari 4 halaman

Awal Mengenal Basket Kursi Roda

Pebasket disabilitas, Donald Santoso, saat latihan di kawasan BSD, Tangerang, Selasa (7/11/2017).(Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Dunia serasa terbalik bagi Donald pada saat itu. Harus berpisah dengan olahraga yang sangat dicintainya membuat mentalnya terpuruk. Akan tetapi, harapan untuk bisa kembali bermain basket tetap menyala dalam hati Donald. Harapan itu yang membawanya ke Arizona dan mengenal kursi roda basket.

"Tepat setelah operasi keenam yang berakhir dengan kegagalan, saya pergi ke Arizona untuk menyelesaikan pendidikan S2. Di sana saya mengenal kursi roda basket," tutur Donald.

Di Arizona, Donald bergabung dengan tim Phoenix Suns Wheelchair Basketball. Namun, musim perdananya bersama Phoenix Suns berjalan di luar harapan.

"Bermain kursi roda basket ternyata sulit. Saat itu kemampuan saya memainkan kursi roda belum terlalu mahir sehingga hasilnya belum seperti yang saya inginkan," ujar Donald.

"Baru pada musim kedua saya bisa beradaptasi dan memberikan kontribusi lebih. Itu menjadi momen paling menyenangkan dalam hidup saya," sambung sarjana Hukum tersebut.

3 dari 4 halaman

Belajar dari Derrick Rose

Ada satu sosok yang membuat Donald tidak pernah kehilangan harapan untuk bermain basket yakni pemain Cleveland Cavaliers, Derrick Rose. Donald merasa kondisinya dan Rose tidak berbeda jauh.

Rose merupakan salah satu pemain dengan talenta luar biasa di NBA. Pebasket berusia 29 tahun tersebut bahkan merebut predikat Most Valuable Player NBA pada 2011.

Namun, karier Rose yang tengah bersinar terganggu dengan cedera yang kerap dideritanya. Mantan pemain Chicago Bulls tersebut lebih sering berkutat dengan meja operasi ketimbang lapangan basket dalam lima tahun terakhir.

Sebanyak 24 cedera sudah pernah dialami Rose sejak 2013. Karier Rose memang terganggu, tapi pemegang tiga caps NBA All-Star itu tidak pernah kehilangan harapan.

"Semangat Rose selalu menyala dalam hati saya. Bagaimana dia selalu bisa kembali setelah mengalami banyak cedera membuat saya tidak kehilangan harapan saat menjalani berbagai operasi," tutur Donald.

Pebasket disabilitas, Donald santoso, saat latihan di kawasan BSD, Tangerang, Selasa (7/11/2017).(Bola.com/M Iqbal Ichsan)
4 dari 4 halaman

Membentuk Tim Nasional Kursi Roda Basket Indonesia

Setelah menjalani hampir seluruh hidupnya di Amerika Serikat, Donald memutuskan kembali ke Indonesia. Hanya satu tujuannya kembali ke tanah air, yakni membuat tim nasional kursi roda basket Indonesia yang bakal berlaga pada Asian Para Games 2018 di Jakarta.

Ini bakal menjadi momen pertama Indonesia memiliki tim nasional basket kursi roda pada ajang multievent. Donald mendapat kepercayaan untuk membentuk tim kursi roda basket Indonesia dari Komite Paralimpik Indonesia (NPC).

"Mereka percaya kepada saya berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat. Ini sebuah tantangan besar dan saya ingin membuktikan kalau Indonesia bisa bersaing di level Asia," ucap Donald.

Membangun tim nasional kursi roda basket Indonesia rupanya tidak mudah. Beberapa kendala terutama biaya menjadi masalah yang harus diselesaikan Donald saat ini.

Salah satu masalah terbesar adalah kurangnya jumlah kursi roda yang bisa dipakai. Donald menyebut untuk membuat satu buah kursi roda, minimal membutuhkan biaya sebesar Rp 20 juta.

"Salah satu cara saat ini adalah dengan mencari sponsor. Saya juga turut membantu dalam bagian ini," jelas Donald.

Seleksi atlet untuk Asian Para Games 2018 tersebut sudah digelar di GOR Sritex, Solo, 5-6 Desember 2017. Setelah melakukan seleksi, INAPGOC dan NPC bakal memilih 12 pemain terbaik yang akan mewakili Indonesia pada Asian Para Games 8 Oktober 2018. NPC sudah menjadwalkan akan melakukan pemusatan latihan mulai Januari hingga September 2018.

Untuk pelatih, dia berencana memboyong pelatih dari Amerika Serikat, termasuk yang pernah membinanya di Phoenix Suns. Tiga nama tersebut adalah Patrick Anderson, Luis Raygoza, dan David Gonzales.