Gelombang Antikorupsi Guncang Industri Senjata China

Pendapatan industri militer China tertekan, ketahui pemicunya.

BolaCom | Aning JatiDiterbitkan 03 Desember 2025, 07:20 WIB
Ilustrasi kapal perang. (Photo by Shuaizhi Tian on Pexels)

Bola.com, Jakarta - Pendapatan sejumlah perusahaan militer terbesar di China anjlok sepanjang tahun lalu.

Laporan terbaru Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebut pelambatan itu berkaitan dengan gelombang pemberantasan korupsi yang membuat proses kontrak dan pengadaan sistem persenjataan tersendat.

Advertisement

Tren tersebut berbeda dari kondisi global. Di berbagai kawasan, terutama yang terdampak perang di Ukraina, konflik di Gaza, dan meningkatnya tensi geopolitik, industri senjata justru membukukan pertumbuhan pendapatan.

Peneliti SIPRI, Nan Tian, menyatakan banyak kontrak pertahanan di China yang ditunda bahkan dibatalkan selama 2024 akibat mencuatnya dugaan praktik korupsi.

"Ini memperdalam ketidakpastian modernisasi militer China dan waktu kapan kemampuan baru benar-benar akan hadir," ujarnya, dikutip dari CNN.


Kontradiksi di China

Ilustrasi kapal, alat perang. (Photo by Shuaizhi Tian on Pexels)

Kampanye anti-korupsi yang dicanangkan Presiden Xi Jinping sejak 2012 kembali mengguncang struktur militer pada 2023, saat Angkatan Roket menjadi sasaran penyelidikan internal.

Delapan jenderal tingkat tinggi, termasuk He Weidong, figur nomor dua dalam hierarki militer, dikeluarkan dari Partai Komunis karena kasus korupsi.

Data SIPRI menunjukkan pendapatan perusahaan militer terbesar China merosot 10 persen tahun lalu. Sebaliknya, Jepang mencatat pertumbuhan hingga 40 persen, Jerman 36 persen, dan Amerika Serikat naik 3,8 persen.

Situasi itu menjadikan Asia-Oseania sebagai satu-satunya kawasan dengan pendapatan industri pertahanan yang mengalami penurunan.

Sejumlah perusahaan raksasa seperti AVIC, Norinco, dan CASC menghadapi perlambatan produksi dan mundurnya jadwal proyek akibat pergantian personel terkait investigasi korupsi. Norinco bahkan mengalami penurunan pendapatan paling tajam, mencapai 31 persen.

Padahal, selama 30 tahun terakhir, China konsisten menaikkan anggaran pertahanan seiring persaingan strategis dengan Amerika Serikat serta ketegangan yang meningkat di Taiwan dan Laut China Selatan.


Modernisasi Militer Tetap Berjalan

Kendati terhambat oleh operasi bersih-bersih internal, berbagai program modernisasi pertahanan China diperkirakan tetap berlanjut.

Beijing masih menggelontorkan dana besar untuk memperkuat angkatan lautnya, membangun kapal induk anyar, mengembangkan rudal hipersonik, serta memperluas penggunaan drone udara dan laut.

Namun, SIPRI menilai sistem canggih yang berada di bawah Angkatan Roket, dari rudal balistik, rudal jelajah, hingga proyek dirgantara dan siber, berpotensi menghadapi keterlambatan lebih lanjut.

"Namun, dalam jangka menengah dan panjang, investasi berkelanjutan dalam anggaran pertahanan dan komitmen politik terhadap modernisasi akan terus berlanjut, meski dengan beberapa penundaan program, biaya yang lebih tinggi, dan kontrol pengadaan yang lebih ketat," kata Liang.

 

Sumber: merdeka.com

Berita Terkait