Sunday League Football di Inggris dan Tarkam di Indonesia: Sepak Bola Rakyat yang Tak Pernah Mati

Asal-usul Sunday League Football dapat ditelusuri ke awal abad 20, ketika masyarakat Inggris mulai menjadikan akhir pekan sebagai waktu untuk beristirahat dan bersosialisasi. Sepak bola pun menjadi pilihan utama hiburan masyarakat kelas pekerja.

Namun, pertandingan yang berlangsung pada hari Minggu sempat mendapat penolakan dari gereja dan otoritas setempat, karena dianggap mengganggu hari ibadah. Butuh waktu hingga 1960-an agar Sunday League benar-benar mendapatkan tempat sebagai kompetisi sosial yang sah.

Pada dekade itu, semakin banyak liga-liga lokal yang bermunculan, seperti Hackney and Leyton Sunday Football League di London, yang sampai sekarang masih aktif.

Bayangkan Minggu pagi yang dingin dan seringkali hujan. Anda tiba di lapangan rumput yang mungkin agak berlumpur, bertemu dengan rekan satu tim yang kebanyakan masih mengantuk.

Jersey bertanding mungkin tidak seragam, sepatu bola sudah usang, dan bola mungkin sedikit kempes. Itulah esensi Sunday League.

Pertandingan Sunday League sering kali diwarnai dengan semangat yang tinggi, tekel keras dan terkadang canggung, umpatan lucu, dan gol-gol yang dirayakan dengan suka cita seolah-olah itu adalah final Piala Dunia.

Tidak ada pelatih dengan gelar kepelatihan profesional. Kapten tim atau pemain paling senior sering kali merangkap sebagai "manajer".

Minuman di pub setelah pertandingan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman Sunday League, di mana kemenangan dirayakan dan kekalahan ditertawakan. Ini adalah sepak bola dalam bentuknya yang paling mentah dan jujur.

Sunday League terbuka untuk siapa saja. Anda akan menemukan campuran pemain dari berbagai latar belakang, usia, dan tingkat keahlian. Ada mantan pemain akademi yang berharap bisa kembali menemukan sentuhan mereka, pekerja keras yang hanya ingin berolahraga dan bersenang-senang, hingga mereka yang hanya ingin menghabiskan waktu bersama teman-teman.

Usia pemain bisa bervariasi dari remaja hingga pria paruh baya yang menolak untuk menggantung sepatu mereka. Yang menyatukan mereka semua adalah cinta yang sama terhadap sepak bola.

Tidak peduli seberapa jago Anda, di Sunday League, semua orang setara begitu peluit dibunyikan. Menariknya, beberapa pemain terkenal pun pernah merasakan kerasnya Sunday League, seperti Ian Wright (eks Arsenal) yang memulai kariernya dari liga amatir ini sebelum ditemukan pencari bakat.

Legenda Timnas Brasil, Roberto Carlos, ternyata pernah menjajal Sunday League Football pada Maret 2022. Carlos membela klub amatir asal Shrewsbury, Bull in the Barne United, hanya dalam satu laga. Klub tersebut bisa memakai jasa Roberto Carlos setelah memenangkan lelang di Ebay.

Meski terpisah benua dan budaya, Sunday League Football memiliki banyak kesamaan dengan Tarkam (Antar Kampung) di Indonesia. Kedua fenomena ini adalah cerminan dari akar sepak bola yang paling murni

Baik Sunday League maupun Tarkam sangat berakar pada komunitas lokal. Tim sering kali mewakili lingkungan, desa, atau bahkan kelompok pertemanan tertentu. Ini menciptakan rasa memiliki dan persaingan sehat antar wilayah.

Tidak ada stadion mewah. Pertandingan sering diadakan di lapangan desa, lapangan sekolah, atau area terbuka lainnya yang mungkin tidak memiliki fasilitas lengkap, serupa dengan lapangan-lapangan yang digunakan di Sunday League.

Meskipun amatir, gairah dan totalitas yang ditunjukkan di lapangan sangat tinggi. Setiap tekel, operan, dan gol terasa penting. Emosi sering kali meledak, baik itu kegembiraan atau kekecewaan, menunjukkan betapa berharganya setiap pertandingan bagi para pemain.

Sama seperti Sunday League Football, tarkam juga beberapa kali memakai jasa pemain profesional. Beberapa pemain top di Indonesia yang pernah menjajal tarkam adalah Bayu Gatra, Cristian Gonzalez, Syamsir Alam, Samsul Arif, hingga Gunawan Dwi Cahyo.