Sukses


4 Sosok Ketua Umum PSSI Paling Kontroversial

Bola.com, Jakarta - Sejak mendeklarasikan diri sebagai organisasi sepak bola tertinggi Tanah Air pada 19 April 1930, tercatat 15 figur bercokol sebagai Ketua Umum PSSI. Mulai dari Soeratin Sosrosoegondo hingga yang terkini La Nyalla Mattalitti.

Sejak pertama kali berdiri PSSI sering mencuatkan banyak kontroversial. Mulai dari keberanian PSSI melakukan perlawanan ke penjajah Belanda dan Jepang, kasus-kasus yang melibatkan Timnas di pentas internasional, hingga kisruh internal organisasi yang tak berkesudahan sejak 2011 silam.

Sebagai organisasi yang memayungi sepak bola, olahraga paling populer di Indonesia, merupakan sesuatu hal yang wajar jika PSSI seringkali mendapat sorotan dari banyak pihak. Di sepanjang sejarahnya mencuat sejumlah figur kontroversial yang duduk di singgasana kepemimpinan PSSI. Siapa-siapa saja mereka?

1. La Nyalla Mattalitti

Selama lima tahun terakhir, nama La Nyalla Mahmud Mattalitti begitu nyaring terdengar di telinga pecinta sepak bola Indonesia. Ia jadi figur sentral kasus dualisme federasi serta kompetisi dan kini pembekuan PSSI. Daftar sikap kontroversialnya banyak semenjak aktif sebagai pengurus teras di PSSI pada tahun 2011 silam.

Figur pria asal Makassar ini sebetulnya bukan orang baru di dunia sepak bola. Tercatat, ia adalah salah satu pendiri Yayasan Suporter Surabaya (YSS) yang saat ini lebih dikenal dengan Bonek YSS. Bersama enam tokoh suporter lainnya, La Nyalla membidani lahirnya kelompok suporter militan asal Surabaya ini pada 3 November 1994 lalu.

Setelah kelahiran YSS, nama La Nyalla seperti hilang ditelan bumi. Ini tak lepas dari kesibukannya mengurusi bisnis kontraktor yang ia geluti. Karena itu, ia memilih berada di belakang layar dan mempercayakan jalannya yayasan ke mendiang Wastomi Suheri.

Setelah tujuh tahun sejak berdirinya YSS, pada 2011 La Nyalla justru muncul lagi di dunia olahraga sebagai wakil ketua KONI Jatim era kepemimpinan Saifullah Yusuf. Dari sinilah cikal bakal La Nyalla menggeluti organisasi sepak bola.

Ada pun konflik Persebaya dengan PSSI era Nurdin Halid yang membuat La Nyalla terpanggil. Ia bersama pelaku sepak bola di Jawa Timur serta mayoritas klub di provinsi paling timur pulau Jawa itulah yang mendorong La Nyalla melakukan perlawanan terhadap PSSI kala itu. Ia mendirikan PSSI tandingan dengan basis di Surabaya.

Tampaknya, perlawanan yang dilakukan La Nyalla ini mengundang simpati klub-klub di Jawa Timur. Tak heran, di awal 2011 La Nyalla didorong maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Provinsi (sekarang Asosiasi Provinsi) PSSI Jatim. Ia pun terpilih sebagai Ketua Pengprov PSSI Jatim.

Perlawanan yang ia lakukan semakin getol. Bersama mayoritas voters, La Nyalla pun terus berupaya melengserkan kepengurusan PSSI era Nurdin Halid. Arus besar yang menghendaki pergantian Ketua Umum PSSI inilah yang kemudian membuat FIFA turun tangan dan membentuk Komite Normalisasi yang bertugas menggelar Kongres PSSI.

Melalui Kongres PSSI pada 9 Juli 2011 La Nyalla terpilih sebagai anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI. Namun, tak lama setelah ia menjabat sebagai anggota Exco PSSI bidang hukum, La Nyalla bersama ketiga anggota Exco lainnya, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan didepak oleh Komite Etik PSSI karena dianggap melanggar kode etik.

La Nyalla pun melawan, ia bersama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) menggelar KLB di Hotel Mercure Ancol pada 18 Maret 2012. Di forum itu, La Nyalla terpilih sebagai ketua KPSI-PSSI untuk menandingi PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin.

Pada 2013, melalui perjanjian antara KPSI dan PSSI yang dimediasi oleh AFC, pria yang menjabat sebagai ketua ormas Pemuda Pancasila Jatim kembali masuk ke PSSI. Melalui Kongres Luar Biasa PSSI pada 17 Maret 2013, La Nyalla pun terpilih sebagai Wakil Ketua PSSI.

Ketua Umum PSSI 2011-2015, Djohar Arifin Husin (kiri) berbincang dengan La Nyalla Mattalitti saat Kongres Luar Biasa PSSI 2015 di Surabaya, (18/4/2015). Kongres menetapkan La Nyalla sebagai Ketua Umum PSSI 2015-2019. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Setelah masa kepengurusan Djohar selesai, La Nyalla maju sebagai calon Ketua Umum PSSI. Ia pun terpilih sebagai ketua umum PSSI lewat Kongres PSSI pada 17 Maret 2015 di Hotel JW Marriot, Surabaya.

Namun, hanya saat setelah ia terpilih, Menpora Imam Nahrawi menjatuhkan sanksi administratif terhadap kepengurusan PSSI pimpinan La Nyalla. Kegaduhan pun terjadi, roda organisasi yang ia pimpin lumpuh akibat hukuman tersebut.

Selain oleh Kemenpora, status PSSI juga dibekukan sejak bulan Mei 2015 oleh FIFA. Otoritas tertinggi sepak bola dunia tersebut menjatuhkan sanksi ke PSSI karena intervensi pemerintah (Kemenpora). Hal yang dinilai tabu oleh FIFA.

Selama setahun ia terpilih sebagai nakhoda PSSI, kepemimpinan La Nyalla tak berhenti digoyang prahara. Ditekan Kemenpora ia sama sekali tak takut. Hingga saat ini klub-klub anggota belum ada yang berani menggoyang kepengurusannya. 

Yang terkini Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Kaamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim. Suara-suara yang menginginkan digelarnya Kongres Luar Biasa PSSI untuk mencari pemimpin baru mulai bermunculan.

Namun, La Nyalla Mattalitti, mengaku tidak berniat mundur, sampai proses pengadilannya memiliki kekuatan hukum tetap. Ia secara kontroversial menuding Menpora, Imam Nahrawi, menjadi dalang penetapan status tersangka di kasus uang hibah Kadin Jatim. Akankah sosok yang dikenal pemberani tersebut bertahan di PSSI?

2 dari 4 halaman

2

2. Djohar Arifin Husin

Publik sepak bola nasional tak menyangka kalau sosok Djohar Arifin Husin bakal naik panggung sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres Luar Biasa PSSI di Solo 2011 silam. Bersama Farid Rahman, ia jadi figur alternatif pengganti George Toisutta dan Arifin Panigoro, yang peluangnya jadi nakhoda PSSI diberangus FIFA.

Djohar bersama kubu Jenggala melakukan perlawanan ke kepengurusan PSSI Nurdin Halid pada 2010. Mereka mengusung kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia. Dukungan mengalir pelan-pelan dari publik dan klub anggota PSSI.

Mengusung gerakan reformasi sepak bola Indonesia, di awal kepemimpinannya Djohar secara kontroversi merombak format kompetisi profesional. Kompetisi kasta tertinggi Indonesia Super League (ISL) garapan PT Liga Indonesia diganti Indonesia Primer League (IPL) yang dioperatori PT Liga Prima Indonesia Sportindo.

Djohar Arifin Husin (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Mayoritas klub-klub anggota PSSI bergolak. Mereka menolak kehadiran kompetisi model baru dan operator yang mengelolanya. Pada musim 2012 ISL dan IPL berjalan beriringan. PSSI terbelah dua kubu. Empat anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, La Nyalla Mattalitti, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan, membelot dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).

KPSI jadi organisasi tandingan PSSI yang mendapat dukungan banyak anggota PSSI. Di saat bersamaan muncul kasus-kasus dualisme klub. Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Gresik United, PSMS Medan, Arema Indonesia, terbelah menjadi dua.

Pemerintah RI lewat Kemenpora ikut intervensi menyelesaikan konflik dualisme. Lewat proses yang berliku rekonsiliasi PSSI dilakukan lewat forum Kongres Luar Biasa di Hotel Borobudur pada medio Maret 2013. Menariknya Djohar dan La Nyalla bersatu. Keduanya berduet memimpin PSSI.

Secara kontroversial Djohar Arifin berkhianat ke anggota-anggota Exco PSSI yang mendukungnya. Ia bahkan memecat sejumlah anggota Exco dan menggantikannya dengan figur-figur baru.

Masalah tak berhenti sampai di situ. Selama dua tahun masa kepemimpinannya (2013-2015) banyak kasus-kasus bermunculan. Isu match fixing di pentas kompetisi profesional mencuat ke permukaan. Sejumlah klub terjerat krisis finansial akut. Kasus-kasus tunggakan pembayaran gaji silih berganti bermunculan.

Puncaknya di pengujung 2014 mencuat kasus sepak bola gajah dalam laga PSS Sleman kontra PSIS Semarang. Beralasan tak ingin berjumpa dengan Pusamania Borneo FC di semifinal Divisi Utama, kedua klub saling jual gol bunuh diri.

FIFA dan AFC bereaksi keras terhadap kasus tersebut. Pasalnya pada musim 2013 Persibo Bojonegoro tersandung kasus dugaan pengaturan skor yang diduga berkaitan dengan bandar judi internasional di ajang Piala AFC.

Pada 17 Maret 2015 di Hotel JW Marriot, Surabaya, Djohar kalah dalam pemilihan Ketua Umum PSSI. Sosok La Nyalla Mattalitti jadi pemimpin baru PSSI.

Ngenesnya kepemimpinan La Nyalla tidak diakui oleh Menpora, Imam Nahrawi. Status kepengurusan PSSI bahkan langsung dibekukan setelah kongres pemilihan.

Djohar Arifin Husin sempat bermanuver dengan masih mengaku sebagai Presiden PSSI (sebutan baru Ketua Umum PSSI) dan menganggap kongres pemilihan tidak sah. Tanpa ampun ia mendapat sanksi skorsing seumur hidup dari Komite Etik PSSI.

3 dari 4 halaman

3

3. Nurdin Halid

Menggantikan Agum Gumelar, Nurdin Halid terpilih sebagai Ketua Umum PSSI pada Rapat Anggota PSSI di Hotel Indonesia tahun 2003. Ia dikenal sebagai sosok kontroversial karena beberapa kali memimpin organisasi dari balik terali besi penjara.

Pada 16 Juli 2004, pria asal Makassar tersebut ditahan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan gula impor ilegal. Ia kemudian juga ditahan atas dugaan korupsi dalam  distribusi minyak goreng.

Pada tanggal 16 Juni 2005, dia dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dibebaskan. Hanya saja putusan itu kemudian dibatalkan Mahkamah Agung pada 13 September 2007. MA memvonis Nurdin dua tahun penjara.

Selanjutnya ia kemudian dituntut dalam kasus yang gula impor pada September 2005, namun dakwaan terhadapnya ditolak majelis hakim pada 15 Desember 2005 karena berita acara pemeriksaan (BAP) perkaranya cacat hukum.

Selain kasus ini, ia juga terlibat kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam dan divonis penjara dua tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005. Tanggal 17 Agustus 2006 ia dibebaskan setelah mendapatkan remisi dari pemerintah bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Indonesia.

Pada 13 Agustus 2007, Nurdin Halid kembali divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional.

Nurdin Halid (Liputan6.com/Johan Tallo)

Karena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihak. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Agum Gumelar (Ketua KONI), dan juga FIFA bersuara kritis ke NH.

FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Namun, Nurdin tetap bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Kekuasaannya tidak goyah sekalipun ia mengendalikan organisasi dari penjara.

Kontroversi muncul saat ia merubah statuta PSSI, berkaitan dengan status ketua umum. Statuta yang sebelum berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" (They..., must not have been previously found guilty of a criminal offense) diubah dengan menghapuskan kata "pernah" (have been previously).

 Arti harafiah dari pasal tersebut menjadi "harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal" (must not found guilty of a criminal offense). Para anggota PSSI menyetujui perubahan tersebut. Posisi Nurdin aman sebagai Ketua Umum PSSI.

Sepanjang masa kepemimpinanya sejumlah kasus mencuat. Mulai dari penghilangan status degradasi kompetisi kasta tertinggi, pelanggaran disiplin di pentas kompetisi, hingga kasus-kasus dugaan pengaturan skor.

Nurdin jadi public enemy pencinta sepak bola Indonesia, karena di saat bersamaan prestasi Timnas Indonesia di berbagai event internasional terpuruk. 

Desakan meminta Nurdin lengser dari PSSI seusai Piala AFF 2010. Pengusaha minyak, Arifin Panigoro, terlibat aktif menggoyang kepengurusan PSSI. Ia menggelontorkan dana besar untuk membiayai pelaksanaan kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia.

Walau begitu pria kelahiran 17 November 1958 tetap percaya diri memimpin PSSI. Ia pun bersama Nirwan Dermawan Bakrie kembali mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Ketua Umum PSSI pada 2011. Ia menjegal duet George Toisutta-Arifin Panigoro untuk ikut bersaing. Suporter dari berbagai penjuru Tanah Air turun ke jalan mendemo PSSI.

Untuk mengamankan jabatannya ia menggelar kongres di Kepulauan Riau. Sayangnya kongres berakhir ricuh. FIFA kemudian mengambil keputusan tegas melarang Nurdin Halid, Nirwan Dermawan Bakrie, George Toisutta, Arifin Panigoro, ikut serta dalam pemilihan pemimpin di PSSI. Di sisi lain Menpora, Andi Mallarangeng, juga membekukan status kepengurusan PSSI.

Nurdin secara menyakitkan lengser dari PSSI digantikan oleh Djohar Arifin. Sang mantan manajer klub PSM Makassar dan Pelita Jaya tersebut mengaku trauma. Ia kini memilih tak mau lagi jadi pengurus bola untuk kemudian fokus di Partai Golkar.

4 dari 4 halaman

4

4. Azwar Anas

Azwar Anas menjabat sebagai Ketua Umum PSSI interval tahun 1991 hingga 1998. Ia melakukan terobosan dengan menggabungkan kompetisi Galatama dan Perserikatan pada tahun 1995. Kompetisi model baru, Liga Indonesia, jadi fondasi awal kompetisi profesional Tanah Air yang kini bernama Indonesia Super League.

Di sisi lain ia mencanangkan proyek mercusuar pelatnas jangka panjang di Italia. Bekerja sama dengan klub Serie A, Sampdoria, Timnas Indonesia U-19 dikirim ke Negeri Pizza untuk mengikuti kompetisi junior Primavera (1993-1994) dan Baretti (1995-1996).

Dari program ini mencuat nama-nama beken macam Kurniawan Dwi Yulianto, Bima Sakti, dan Kurnia Sandy.

Hanya saja saat memimpin federasi, pria kelahiran Padang, 2 Agustus 1933, dihadapkan sejumlah kasus kontroversial yang membuat dirinya akhirnya mundur dari jabatannya. 

Rakernas PSSI yang dilaksanakan Februari 1998 dihebohkan dengan pernyataan yang dilontarkan Manajer Persikab Kab. Bandung, Endang Sobarna, tentang adanya permainan kotor di pentas kompetisi Liga Indonesia yang melibatkan wasit.

Azwar Anas langsung membentuk tim pencari fakta untuk mengusut tuntas kasus mafia wasit. PSSI lantas menghukum  Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI, Jafar Umar, dengan hukuman seumur hidup tak boleh terlibat di sepak bola nasional karena terbukti terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan dengan melibatkan korps pengadil di lapangan.

Sebanyak 40 wasit Tanah Air juga masuk gerbong terdakwa dalam kasus match fixing. Beberapa di antaranya macam Khairul Agil, R. Pracoyo, Halik Jiro, terhitung sebagai figur top.

Sosok almarhum Jafar Umar, yang berstatus sebagai wasit FIFA sejak lama diisukan jadi Godfather mafia wasit. Ia dipergunjingkan menerima upeti dari para pengadil yang bertugas di pentas kompetisi profesional dan amatir.

Adang Ruchiatna, yang didapuk sebagai Tim Penanggulangan Masalah Perwasitan, sempat melaporkan kasus Jafar dkk. ke Polda Metro Jaya.

Hanya saja pengusutan kasus di jalur hukup terhenti begitu Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan sanksi. Beberapa tahun lalu, Jafar sempat buka suara soal kasusnya. Ia menyebut dirinya hanya jadi kambing hitam karena ada sejumlah petinggi PSSI yang memegang kendali mengatur pertandingan dengan melibatkan komite wasit yang dipimpinnya.

Hanya hingga berpulang ke Sang Khalik pada 12 Mei 2012, pria asal Pare-pare itu tidak pernah menyebut nama oknum pengurus PSSI yang ia maksud.

Kelar masalah mafia wasit, Azwar kemudian dihadapkan kenyataan pahit kasus Sepak Bola Gajah di Piala AFF 1998 yang dilakukan bek Indonesia, Mursyid Effendi.

Bek yang dibesarkan Persebaya Surabaya tersebut dihukum FIFA dengan larangan tidak boleh tampil di level internasional seumur hidup.

Azwar Anas (Istimewa)

Vonis itu diterima saat usianya masih dalam usia emas, yakni 26. Saat penampilannya juga tengah berada di puncak. Mursyid dianggap dengan sengaja menjebol gawangnya timnya sendiri dalam penyisihan grup saat melawan Thailand.

Di pengujung pertandingan saat skor pertandingan dalam situasi skor  imbang 2-2, Mursyid yang berposisi sebagai stoper kemudian secara sengaja menendang bola ke dalam gawang sendiri. Indonesia pun akhirnya kalah 2-3 dari Tim Gajah Putih. 

Tujuan Mursyid mencetak gol bunuh diri agar Tim Merah-Putih menghindari tuan rumah Vietnam di laga semifinal Piala Tiger.

Ironisnya saat berjumpa Singapura, Indonesia kalah 1-2. Di sisi lain Thailand digilas tiga gol tanpa balas oleh Vietnam. Tim Negeri Singa akhirnya jadi tim terbaik di Asia Tenggara kala itu.

Atas perbuatannya itu, Mursyid mendapat hukuman larangan tampil di pentas Internasional seumur hidup. Indonesia juga diberi hukuman denda  sebesar USD 40 ribu oleh FIFA. Saat itu ia sebenarnya diberi kesempatan banding, namun PSSI tidak melakukan langkah apa-apa.

Azwar Anas jadi bulan-bulanan di Tanah Air. Ia dicap kurang tegas memimpin PSSI, sehingga kasus-kasus memalukan bermunculan. Dengan jiwa besar Ketua Umum PSSI yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia mengundurkan diri. Ia kemudian digantikan Agum Gumelar.

 

 

 

Video Populer

Foto Populer