3 Hal yang Harus Dilakukan Ruben Amorim Agar MU Bisa Bangkit

Amorim dikenal kukuh dengan formasi 3-4-2-1. Ia bahkan pernah berkata usai kalah 0–3 di derby Manchester: “Saya tidak akan mengubah filosofi saya. Kalau harus mengubah, lebih baik ganti pelatihnya.”

Masalahnya, United tak pernah benar-benar terlihat paham dengan pola itu. Identitas permainan mereka kabur: sulit membangun serangan, mudah ditembus lawan, dan tak ada ciri khas bagaimana mencetak gol.

Oliver Glasner bersama Crystal Palace membuktikan bahwa skema tiga bek bisa berhasil di Premier League. Tapi United versi Amorim terlihat terlalu kaku dan mudah dibaca. Lawan dengan mudah mengeksploitasi dua gelandang tengah United, apalagi ketika tanpa bola mereka lebih sering turun menjadi 5-4-1 pasif. Tanpa variasi dan fleksibilitas posisi, sistem ini justru jadi bumerang.

Jika ingin cepat memperbaiki, Amorim perlu belajar dari tim lain yang sukses dengan pola serupa, atau memberi kebebasan lebih pada pemain untuk keluar dari “pakem” di lapangan.

Banyak yang menilai masalah United bukan semata kualitas pemain. Benar, ada lubang besar di lini tengah, tetapi faktanya Amorim punya stok penyerang mahal seperti Benjamin Šeško, Bryan Mbeumo, dan Matheus Cunha. Kombinasi mereka masih minim, tapi seiring waktu bisa lebih padu.

Masalah muncul ketika Bruno Fernandes terpaksa dimainkan lebih dalam. Ia memang bisa membantu transisi dengan umpan panjang, tapi kelemahannya saat bertahan sangat terlihat. Opsi gelandang lain pun bermasalah: Kobbie Mainoo masih rawan secara defensif, Manuel Ugarte belum konsisten, sementara Casemiro mulai melambat.

Di lini belakang, Leny Yoro yang masih remaja seharusnya jadi fondasi utama. Ditambah Lisandro Martínez yang segera pulih dan Matthijs de Ligt di posisi favoritnya, United sebenarnya bisa punya trio bek yang solid.

Dalam sistem yang mengandalkan rutinitas dan koneksi antar pemain, konsistensi personel adalah kunci. Mainoo perlu lebih banyak dimainkan, Fernandes dikembalikan ke peran menyerang, dan Yoro harus jadi starter reguler.

Satu hal lain yang perlu dicermati adalah cara Amorim berbicara di depan publik. Di awal masa jabatannya, fans sempat terkesan dengan kejujurannya soal beratnya pekerjaan di Old Trafford. Namun, lama-kelamaan nada pesimis itu justru jadi bumerang.

Amorim pernah menyebut skuad musim lalu sebagai “tim terburuk dalam sejarah Manchester United”. Kritik terbuka semacam ini mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tapi nyatanya hanya menambah beban. Para pemain yang sudah sering membuat kesalahan individu malah makin kehilangan rasa percaya diri.

Tak perlu berlebihan memberi pujian kosong, tetapi sedikit perubahan nada — lebih membangun ketimbang merendahkan — bisa menularkan energi positif. Di klub sebesar United, aura optimisme kadang bisa jadi pembeda di momen-momen sulit.