Penyebab PHK di Jawa Barat Tertinggi se-Indonesia

Roy menyoroti Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai satu di antara faktor yang membuat perusahaan lebih mudah melakukan PHK.

Menurutnya, regulasi ini memungkinkan proses PHK lebih cepat dengan nilai pesangon yang lebih rendah dibanding aturan sebelumnya.

"Dalam UU Ciptaker, PHK sangat gampang dilakukan dan pesangonnya kecil. Itu membuat PHK menjadi opsi bagi perusahaan untuk menekan biaya," kata Roy.

Ia juga mengingatkan agar data PHK yang dirilis pemerintah diverifikasi lebih lanjut. Angka resmi belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya, apakah PHK disebabkan perusahaan tutup, bangkrut, atau hanya strategi efisiensi biaya.

Beberapa perusahaan, menurutnya, melakukan PHK dengan dalih efisiensi, tetapi kemudian merekrut pekerja kontrak, outsourcing, atau magang.

Roy menambahkan, tingginya penggunaan pekerja magang juga memengaruhi angka PHK. Pekerja magang tidak memiliki hubungan kerja formal dan hanya menerima uang saku, bukan upah penuh.

Pemerintah saat ini sedang mendorong program pemagangan secara masif, yang menurut Roy perlu diperhatikan dampaknya.

"Perlu dicek juga, apakah PHK dilakukan karena perusahaan rugi dan akhirnya tutup atau melakukan efisiensi, tapi tidak lagi merekrut," ucapnya.

Aturan pesangon dalam UU Cipta Kerja membuat perusahaan hanya perlu membayar setengah dari ketentuan sebelumnya. Misalnya, jika seharusnya pesangon sembilan bulan, perusahaan hanya membayar 4,5 bulan sehingga PHK lebih mudah dilakukan.

Roy menekankan pemerintah perlu memastikan validitas data PHK hingga ke tingkat perusahaan, termasuk mengecek apakah perusahaan hanya mengubah status pekerja dari tetap menjadi kontrak atau outsourcing.

Selain regulasi ketenagakerjaan, Roy menyoroti kebijakan ekonomi yang memengaruhi sektor industri, terutama tekstil dan garmen di Jawa Barat.

Pelonggaran aturan perdagangan dan tingginya produk impor, ditambah tarif tinggi negara tujuan ekspor, turut memicu PHK.

"Perusahaan domestik kesulitan bersaing jika barang impor dibuka bebas atau produk kita dikenai tarif tinggi di pasar ekspor, misalnya Amerika. Dampaknya signifikan terhadap PHK," ujarnya.

Dadan Supiadi, Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat, menambahkan bahwa faktor regulasi di sektor tekstil dan garmen, terutama terkait distribusi ekspor-impor, memengaruhi tingginya PHK di pasar domestik.

Menurutnya, bukan kenaikan upah yang menjadi penyebab utama, tetapi kemampuan pemerintah menjaga pasar lokal.

Dadan menjelaskan, dari 64.000 anggota SPN Jabar, sebagian besar bekerja di industri tekstil dan garmen. Mereka yang terdampak PHK kini berusaha bertahan dengan membuka usaha kecil atau bekerja di sektor informal, termasuk menjadi driver ojek online.

Dadan berharap pemerintah memberi perhatian lebih kepada buruh, terutama di sektor tekstil yang bergerak di pasar domestik, dengan meningkatkan kesejahteraan agar daya beli meningkat.

Hal ini diyakini bisa menggerakkan kembali pasar lokal, mendorong produksi, dan menciptakan lapangan kerja baru.

"Kalau daya beli buruh rendah karena kenaikan upah minim, pasar lokal juga tidak akan bangkit. Perusahaan akan kesulitan menjual produk sehingga stimulus kepada industri lokal dan peningkatan upah buruh sangat penting," ucap Dadan.

Sumber: merdeka.com