Kiper Tak Sekadar Penjaga Gawang, Mereka Ahli Perang Psikologis di Lapangan

Namun, semua aksi itu tak sekadar pamer gaya. Banyak di antaranya adalah bagian dari strategi psikologis. Grobbelaar, misalnya, menggunakan gerakan anehnya sebagai bentuk perang urat saraf untuk membuat penendang ragu dan kehilangan fokus.

Begitu pula dengan kiper Timnas Argentina, Emiliano Martinez, yang kini dikenal sebagai penguasa "dark arts" penjaga gawang. Mulai mengulur waktu, memancing emosi lawan, hingga memberi tekanan mental dalam adu penalti, semuanya dilakukan tanpa perhitungan matang, melainkan karena naluri.

"Saya tidak memikirkannya, saya hanya melakukannya. Saat adrenalin mengalir, itu datang begitu saja," ujar Martínez.

"Dari luar mungkin terlihat saya seperti pamer, tapi saya hanya orang biasa, seorang ayah, kepala keluarga. Tapi, saat pertandingan, saya lakukan segalanya untuk menang."

Stigma "aneh" pada kiper juga muncul karena posisi mereka yang secara alami terisolasi. Tidak seperti pemain outfield yang terlibat aktif dalam alur permainan, kiper justru kerap menjadi penonton di sebagian besar waktu, tetapi dituntut bereaksi cepat dalam momen-momen krusial.

"Menjadi kiper memberi sudut pandang yang sangat unik," kata Brad Friedel, mantan penjaga gawang Timnas Amerika Serikat.

"Anda adalah bagian dari tim, tapi juga terasa seperti terpisah. Tidak ada area abu-abu. Keberhasilan dan kegagalan langsung terasa di lapangan."

Sementara itu, Mary Earps, kiper Timnas Inggris dan PSG putri, menyebut peran kiper sebagai "seni menunggu dalam kesepian". Ia menggambarkan tantangan emosional ketika harus pasif, tak bisa memaksa diri untuk terlibat dalam permainan.

Namun, bagi Alisson Becker, justru perasaan sebagai "orang terakhir" itu yang menjadi sumber kekuatan.

"Semua aspek menjadi kiper, fokus, disiplin, tanggung jawab, membuat saya mencintai posisi ini," ujar penjaga gawang Liverpool tersebut.

Ilmu psikologi olahraga kini membuktikan bahwa para penjaga gawang memang memiliki karakter mental yang berbeda. Mereka umumnya memiliki tingkat toleransi stres yang tinggi, kemampuan mengatur emosi lebih baik, serta merasa nyaman dalam kondisi terisolasi.

Kasper Schmeichel, kiper Timnas Denmark, menegaskan bahwa posisi ini jauh lebih berat dari yang dibayangkan.

"Menjadi kiper itu sangat menuntut secara mental. Anda harus fokus sepanjang waktu. Rasanya lelah, tapi berbeda dari pemain lain," ungkapnya.

Tak heran banyak kiper modern menggunakan ritual pribadi sebagai teknik mengelola tekanan.

Menyusun botol air, mengetuk tiang gawang, atau membenahi sarung tangan bukan sekadar kebiasaan, melainkan cara menstabilkan emosi dan meningkatkan fokus, seperti yang ditulis dalam laporan The Wall Street Journal.

Di level tertinggi, kiper-kiper seperti Alisson dan Ederson bahkan mengandalkan visualisasi dan latihan mental sebagai bagian dari persiapan mereka.

Mantan kiper Timnas Inggris, Joe Hart, menyebut Alisson sebagai contoh ideal kiper masa kini.

"Ketika saya melihat Alisson, saya tahu dia sudah menyiapkan segalanya secara mental," kata Hart.

Alih-alih dicap "gila", para penjaga gawang seharusnya dikenang sebagai arsitek psikologis di lapangan hijau. Mereka adalah atlet yang telah mengasah keahlian khusus untuk bertahan di posisi paling rentan dan menantang dalam sepak bola.

"Sebagai kiper, Anda harus punya kekuatan mental. Dan saya punya itu," tegas Jordan Pickford, kiper Timnas Inggris.

Jadi, ketika Anda melihat seorang kiper melakukan selebrasi berlebihan, berdiri sendiri di area penalti, atau melakukan aksi tak lazim di lapangan, ingatlah satu hal: mereka tidak gila, mereka sedang memainkan permainan mental tingkat tinggi.

Sumber: The 1v1 Project