Duka dan Dampaknya pada Performa Atlet Elite: Bukan Kelemahan, tapi Kekuatan untuk Pulih

Kesedihan mendalam tak hanya menggerogoti mental, tetapi juga tubuh. Masalah tidur, nafsu makan yang terganggu, serta peningkatan hormon stres seperti kortisol menjadi hal yang umum terjadi.

Ketika kadar kortisol meningkat, tubuh rentan mengalami peradangan, sistem imun melemah, dan proses pemulihan otot pun melambat.

Bagi atlet yang dituntut tampil dalam kondisi fisik optimal, gangguan ini bisa menjelma menjadi cedera, performa yang naik-turun, atau proses pemulihan yang tak seperti biasanya.

Selain fisik, aspek mental terdampak signifikan. Konsentrasi yang terpecah dan ketidakmampuan mengambil keputusan cepat kerap menjadi hambatan utama.

Hal ini disoroti oleh Jessica Bartley, Direktur Layanan Kesehatan Mental Komite Olimpiade dan Paralimpiade AS.

"Kami tahu bahwa duka memengaruhi tidur, nafsu makan, konsentrasi, dan tingkat energi, semuanya adalah elemen penting dalam performa atletik," ujarnya.

Tak semua atlet mengalami penurunan performa saat berduka. Beberapa justru mengalami apa yang disebut para peneliti sebagai "ayunan performa", penampilan luar biasa di satu laga, lalu terpuruk di laga berikutnya. Ada pula yang menjadikan olahraga sebagai pelarian sejenak dari duka.

Satu di antara contoh paling dikenang terjadi pada April 2008, saat Frank Lampard tampil luar biasa hanya beberapa hari setelah sang ibu wafat.

Dalam laga semifinal Liga Champions melawan Liverpool, gelandang Chelsea itu mencetak penalti krusial yang membawa timnya ke final Eropa pertama dalam sejarah.

"Seluruh perhatian saya tertuju pada keluarga. Butuh waktu untuk benar-benar bisa fokus lagi pada sepak bola," ungkap Lampard.

"Ini masa tersulit dalam hidup saya. Sepak bola hanya menjadi pelengkap di tengah kehidupan pribadi yang penuh luka," lanjutnya.

Cerita serupa datang dari Jack Grealish. Pemain Manchester City itu mencetak gol pada peringatan 25 tahun wafatnya sang adik, dalam kemenangan atas Leicester, April 2025.

"Hari ini berat bagi keluarga saya. Ibu dan ayah saya hadir, jadi bisa mencetak gol dan meraih kemenangan sangat berarti," ujarnya.

Namun, performa gemilang saat berduka sering kali bersifat sementara. Penelitian menunjukkan bahwa "kompartementalisasi emosi", yakni upaya menyisihkan emosi demi fokus, bisa berdampak jangka panjang.

Emosi yang ditekan akan muncul kemudian dalam bentuk kelelahan mental atau penurunan performa yang datang terlambat.

Dampak duka tak bersifat universal. Latar belakang budaya dan gaya coping pribadi sangat memengaruhi.

Atlet dari budaya yang menekankan pengendalian emosi, misalnya, cenderung menyimpan kesedihan mereka. Ini justru bisa menimbulkan ledakan emosi atau gangguan performa yang tertunda karena proses berduka tidak tersalurkan secara sehat.

Proses pemulihan paling efektif biasanya ditopang oleh sistem dukungan yang kuat. Banyak tim dan federasi olahraga kini mulai memahami pentingnya pendekatan holistik terhadap kesehatan mental atlet.

Michael Phelps menjadi contoh nyata. Seusai Olimpiade London 2012, peraih medali emas terbanyak sepanjang sejarah itu mengalami depresi dan kesedihan mendalam. Ia mengakui bahwa dukungan psikolog profesional serta pelatih yang peduli secara emosional sangat membantunya bangkit.

"Mereka tahu saya butuh lebih dari sekadar latihan fisik untuk pulih," ungkapnya.

Baik Anda atlet Olimpiade maupun orang biasa yang berjuang menjalani hari, duka adalah sesuatu yang mesti diakui. Tekanan untuk tetap tampil prima di tengah kehilangan justru memperparah beban.

Riset membuktikan: memberi diri waktu untuk berduka bukan kelemahan, melainkan kebutuhan biologis. Tubuh dan pikiran kita perlu ruang untuk memproses kehilangan. Memaksa diri terus berjalan tanpa memberi waktu untuk pulih justru memperlambat penyembuhan.

Maka, mengenali duka bukan berarti Anda menjauh dari kehebatan. Sebaliknya, itu adalah fondasi untuk bangkit, dengan makna yang lebih dalam dan kekuatan yang baru.

Sumber: The 1v1 Project