Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia U-23 menelan kekalahan dari Timnas Guinea U-23 dalam laga play-off Olimpiade 2024 Paris. Skuad Garuda Muda kalah 0-1 dari Guinea dalam laga di Paris, Kamis (9/5/2024) malam WIB.
Namun, ada yang lebih menyesakkan ketimbang kekalahan Timnas Indonesia U-23 dari Timnas Guinea U-23. Yakni perilaku rasialisme yang dilakukan banyak netizen Indonesia.
Baca Juga
Media China Kagum Kegercepan Timnas Indonesia Tiba Lebih Dulu di Qingdao: Menunjukkan Keseriusan dan Persiapan Matang
Cara Timnas Indonesia Menembus Pertahanan China: Main Lebih Rapat dengan Bola Pendek Kaki ke Kaki
Jordi Amat Berharap Cedera Engkelnya Membaik dan Bantu Timnas Indonesia Bungkam China
Advertisement
Mereka menyerang kolom komentar media sosial Federasi Sepak Bola Guinea dengan bahasa yang sangat rasis. Media sosial para pemain dari tim itu juga tak lepas dari serangan netizen.
Fajar Junaedi selaku sekretaris Lembaga Pengembangan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki pandangan menarik mengenai fenomena itu. Sosok yang banyak meneliti fenomena sosial di sepak bola itu merasa harus ada edukasi dan literi yang diberikan.
"Di tingkat nasional Indonesia, perlu adanya edukasi dan literasi untuk mencegah rasisme di sepa kbola. Federasi sepakbola seharusnya melakukan edukasi dan literasi. Jika ada rasialisme dalam sepak bola nasional, perlu ada sanksi hukuman," ujar Fajar Junaedi kepada Bola.com
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Fenomena Global
Menurut Fajar Junaedi, fenomena rasialisme tak hanya terjadi di Indonesia. Bisa dikatakan ini menjadi fenomena global.
Di Italia misalnya, Romelu Lukaku beberapa kali mengalami tindakan berbau rasialisme. Vinicus Junior di Spanyol pun demikian.
"Rasialisme dalam sepak bola tidak bisa dilepaskan dari konteks global. Di tingkat global, ada tendensi meningkatnya sayap kanan yang ultranasionalis, terutama di Eropa. Selain Eropa, di India, partai sayap kanan juga menggunakan isu serupa," jelas Fajar Junaedi.
Advertisement
Bibit Fasisme
Rasialisme di sepak bola menurut Fajar Junaedi bisa lebih buruk lagi. Sebab, hal itu bisa menimbulkan bibit fasisme yang jauh lebih berbahaya lagi.
"Penolakan terhadap imigran adalah salah satu bukti masifnya gerakan sayap kanan. Isu inilah yang terhembus di sepak bola," ujarnya.
"Perlakuan rasialis dari suporter terhadap pemain non kulit putih menjadi dinormalisasi oleh para pendukung sayap kanan. Yang lebih buruk lagi adalah bibit fasisme," tandas sosok yang aktif menjadi dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
PSSI Minta Maaf
Sementara itu PSSI meminta maaf kepada Federasi Sepak Bola Guinea (FGF) menyusul serangan rasis yang dilakukan fans Indonesia terhadap FGF dan sejumlah pemain timnas Guinea U-23 melalui media sosial.
Ungkapan permintaan maaf diungkap PSSI melalui akun media sosial Instagram pada Jumat (10/4/2024). Federasi sepak bola Indonesia itu menyesali tindakan suporter.
"Kepada teman kami, @feguifootofficiel dan tim sepak bola nasional Guinea. Selamat, Guinea! Kami mengirimkan dukungan kami untuk perjalanan Anda di Olimpiade Paris 2024."
Advertisement