Sukses


Cover Story: Ribuan Anak Bermimpi Jadi Pebulutangkis Dunia (II)

Bola.com, - Pelatih kepala PB Djarum Kudus, Fung Permadi, terdiam sejenak saat Bola.com mengajukan pertanyaan tentang kriteria pemain yang dicari dalam Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015.

Memilah-milah di antara 1.900-an peserta dari berbagai daerah butuh kecermatan tinggi. Apalagi tim pencari bakat hanya disodori waktu sangat singkat untuk menilai kemampuan pemain. Supaya tak salah pilih, pelatih berpatokan pada standar PB Djarum.

“Tentunya disesuaikan konsep kami (PB Djarum). Kami mengedepankan atlet-atlet yang punya karakter unggul. Teknik bermain juga harus benar, serta punya kemauan tinggi. Kami lihat motivasi, ngotot-nya, bisa konsisten atau enggak,” beber Fung Permadi, Sabtu (5/9/2015). 

Untuk melihat semua faktor itu, PB Djarum menerapkan metode seleksi baru. Masing-masing pemain bertanding dua kali dalam sehari saat audisi. Motivasi, teknik, dan karakter pemain bisa terbaca saat mereka bertanding. Bagi pemain yang tak terbiasa berlatih intens, metode tersebut bakal terasa berat. Fisik bisa drop sehingga penampilan jadi tak maksimal. Ini pula alasannya penyelenggara seleksi menerapkan tes fisik, guna mengukur sejauh mana stamina dan endurance para atlet.

Aksi salah seorang pebulutangkis putri U-15 dalam Audisi Grand Final Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

Komentar senada dilontarkan mantan pebulutangkis tunggal putra andalan Indonesia, Hariyanto Arbi. Baginya, ada tiga kriteria utama yang wajib dimiliki pemain yang ingin bergabung dengan PB Djarum. Punya semangat juang tinggi, teknik oke, dan langkah-langkah kaki yang gesit. Setelah kriteria tersebut terpenuhi, tak otomatis sang pemain punya masa depan cerah. Metode latihan dan seberapa besar kemauan untuk maju sangat memengaruhi hasil akhir apakah sang pemain berujung menjadi pemenang atau pecundang.

Kakak Hariyanto yang juga legenda bulutangkis Indonesia, Hastomo Arbi, punya pendapat agak berbeda. Dia lebih suka pemain yang memiliki pukulan bagus, postur ideal, dan kaki yang agak lemah. Pemilihan kaki lemah ini didasari hipotesis khusus. “Kalau kakinya lemah mainnya bagus, pasti permainannya bisa semakin bagus jika kakinya diperkuat,” ujar Hastomo, yang merupakan salah satu anggota tim Indonesia yang memenangi Piala Thomas pada 1984.

Menakar Semangat dan Konsistensi

Berdasar semua kriteria itulah, peserta yang berhasil lolos ke fase karantina hanya berjumlah 46 orang. Ini adalah tahap terakhir dari seluruh proses seleksi. Para atlet wajib tinggal di asrama PB Djarum selama sepekan, 7-13 September 2015. Selama masa karaktina, pelatih menakar semangat dan konsistensi, serta karakter para atlet. Idealnya pengamatan butuh waktu sekitar tiga bulan. Namun, PB Djarum mempersingkatnya menjadi sepekan. Hanya atlet berkarakter juara dan bisa diarahkan yang berhak memperoleh beasiswa bulutangkis.

Lalu siapa saja yang beruntung mendapatkan beasiswa bulutangkis Djarum 2015? Dari 46 atlet akhirnya ada 13 peserta yang gugur. Nurul Ismi salah satunya. Atlet cilik asal Makassar yang mengidolakan Susi Susanti tersebut akhirnya menyusul sang kakak, Muhammad Nur Ikhram, yang lebih dulu tereliminasi. Impiannya bergabung dengan keluarga besar PB Djarum harus ditunda. Sang ibu, Salawati, dengan berbesar hati menerima kenyataan pahit tersebut. Namun, mereka tak patah semangat. Masih ada kesempatan untuk kembali mencoba peruntungan pada tahun depan.

“Kami tidak diberi tahu alasannya kenapa Nurul tidak berhasil. Tak apa, mungkin belum rezeki. Nurul bisa mencoba lagi tahun depan. Saat ini dia biar kembali berlatih dulu di klubnya Villa Watch di Makassar. Kalau Ikhram tahun depan sudah tak bisa ikut audisi karena usianya lebih dari 15 tahun. Nanti kami bicarakan dulu bagaimana untuk Ikhram ke depannya,” beber Salawati.

Pebulutangkis asal Pekalongan, Emanuel Joseph Suryo Hartono, menangis terharu setelah dinyatakan lolos masuk tahap karantina Audisi. (Bola.com/Arief Bagus)

Dua orang di antara 33 pemain yang beruntung mendapat beasiswa bulutangkis Djarum adalah Emanuel Joseph Suryo Hartono dan Vincentius Suwarland. Jose, panggilan Emanuel Josep, berasal dari Kota Pekalongan, sedangkan Vincent jauh-jauh datang dari Pekanbaru, Riau.

Keistimewaan Jose adalah usianya masih sangat muda. Dia merupakan salah satu peserta termuda, baru berusia 10 tahun lebih dua bulan. Tak heran, tingkahnya masih sangat polos. Saat teman-temannya sesama peserta audisi asyik bercanda, Jose lebih sering diam memperhatikan para peserta yang bertanding di lapangan.

Namun, bukan berarti dia tak bisa mengekspresikan emosi. Saat tahu dirinya lolos ke fase karantina, pengidola Hendrawan Setiawan ini menangis haru di pelukan ayahnya. Kegembiraan Jose akhirnya lengkap setelah dia terpilih menjadi salah satu peserta penerima beasiswa Djarum.

Lolos Berkat Persiapan Matang

Vincent, 14 tahun, tak kalah bahagia. Dia tak menyangka bisa memperoleh beasiswa Djarum. Meskipun berangkat berbekal kepercayaan diri tinggi, Vincent awalnya tak berani berharap muluk-muluk. “Saya benar-benar tidak menyangka bisa lolos. Pertamanya cuma untuk cari-cari pengalaman karena saya tahu memang saingan memperoleh beasiswa sangat ketat. Tapi syukurlah berkat persiapan matang bisa lolos,” urai Vincent, saat dihubungi Bola.com, Minggu (20/9/2015).

Sebelum memastikan meraih beasiswa dari Djarum, kisah Vincent menggeluti bulutangkis cukup berwarna. Hobinya mengolah shuttlecock tumbuh gara-gara melihat ayahya, Edi Suwarland, kerap bermain bulutangkis bersama rekan-rekannya. Vincent akhirnya tergoda mencoba olahraga tepok bulu ini. Saat itu keluarga Vincent masih tinggal di Padang, Sumatra Barat.

Bakat si kecil Vincent tertangkap oleh seorang pelatih yang cukup dikenal di Padang, Tong San. Dia kepincut dan menawari Vincent untuk bergabung dengan klub Hastayuda. “Anak saya akhirnya gabung ke klub Hastayuda dan digembleng oleh Tong San. Dia memang bilangnya ingin membantu anak saya,” beber ayah Vincent, Edi, yang mengelola warung makan Acen sebagai sumber penghasilan.

Hobi Vincent bermain bulutangkis harus dihentikan sejenak pada 2009. Gempa besar mengguncang Sumatra Barat. Rumah dan warung makan keluarganya yang berada di Jl. Cokroaminoto, Padang, hancur. Mereka kemudian pindah ke Pekanbaru. Beruntung, Tong San juga ikut pindah ke kota yang sama. Keduanya masih bisa melanjutkan latihan bersama di klub Angkasa, Pekanbaru.

Namun, beberapa waktu kemudian, Vincent berganti pelatih. Pelatih barunya, Asep, rupanya pandai memaksimalkan potensi pengidola Taufik Hidayat dan Lin Dan ini, sehingga mulai berpestasi pada berbagai kejuaraan di Riau. Selama bertarung di berbagai turnamen, orang tua Vincent jarang mendampingi. Hal ini memang disengaja. Edi ingin anaknya tumbuh mandiri, tak terlalu tergantung dengan orang lain, termasuk kedua orang tuanya.

Pebulutangkis asal Pekanbaru, Riau, Vincentius Suwarland, menangis haru saat diumumkan lolos ke fase karantina Audisi Djarum Bulutangkis 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

“Sebelum ikut audisi Djarum di Medan, Vincent dipegang pelatih baru namanya Yogi Irvan. Vincent dipersiapkan dengan matang untuk ikut audisi. Latihan dirancang lebih keras, termasuk fisiknya karena untuk bergabung dengan PB Djarum harus siap fisik dan mental. Hampir dua bulan penuh Vincent melakukan persiapan khusus untuk audisi. Makanya lega sekali mengetahui dia bisa lolos, benar-benar tidak menyangka,” urai Edi.

Vincent telah melakukan satu lompatan penting dalam hidupnya. Namun, Edi menegaskan beasiswa tersebut bukanlah puncak dari karier bulutangkis sang putra. Justru itulah awal perjuangan berat Vincent untuk menggapai impiannya menjadi pebulutangkis kaliber dunia. “Saya berpesan ke Vincent supaya latihan serius. Kesempatan menimba ilmu di Djarum jangan disia-siakan,” imbuhnya.

Perjuangan Masih Panjang

Ya, beasiswa bulutangkis Djarum memang hanya awal dari perjuangan panjang para pebulutangkis cilik tersebut. Jalan ke depan masih sangat panjang dan berliku. Butuh latihan keras, semangat tinggi, dan mental tak kenal menyerah untuk mendaki jalan menuju pentas nasional dan dunia. Tak ada gelar juara yang muncul begitu saja di depan mata. Semua harus diperjuangan dengan cucuran keringat dan mungkin air mata.

Para peserta Audisi Djarum Beasiswa Bulutangkis 2015. (Bola.com/Arief Bagus)

Pesan dari dua legenda bulutangkis Indonesia, Lim Swie King dan Christian Hadinata, bisa dijadikan pegangan. Kata-kata mereka lahir dari pengalaman panjang di pentas bulutangkis dunia yang bertabur prestasi gemilang.

“Kuncinya berjuang dan harus pantang menyerang. Itu semua (menjadi pebulutangkis andal dan berprestasi) perlu waktu. Jadi juara itu perlu proses, kadang harus kalah-kalah dulu. Yang terpenting selama tidak menyerah, kita belum kalah,” ujar King.

Pesan Christian juga sangat dalam. “Untuk menjadi juara perlu melalui rintangan kalah, menang, dan sebagainya. Atlet juara itu bukan atlet yang tak terkalahkan. Tapi bagaimana setelah kalah bisa bangkit lagi,” kata Christian menutup pembicaraan.

Selamat berjuang jagoan cilik bulutangkis Indonesia!

Baca Juga :

Cover Story: Ribuan Anak Bermimpi Jadi Pebulutangkis Dunia (II)

33 Pebulutangkis Muda Terima Beasiswa Bulutangkis PB Djarum

Feature: Audisi Beasiswa Bulutangkis dan Efek Film King 

Video Populer

Foto Populer