Jerman Pasti ke Piala Dunia 2026, tapi Tak Berada di Jalur yang Mereka Harapkan

Kala itu, setelah tersingkir dari Euro 2024, para pemain dan staf meninggalkan kamp Herzogenaurach dengan air mata, bukan karena suasana memburuk, tetapi sebaliknya.

Mereka sedih mengakhiri kebersamaan yang terasa harmonis, dan Nagelsmann bahkan tak kuasa menahan tangis pada konferensi pers sehari setelah kekalahan 1-2 dari Spanyol, yang akhirnya menjadi juara.

Turnamen tersebut sebetulnya memberi banyak harapan. Fan zone selalu padat, kualitas permainan pun menghibur. Seandainya handball Marc Cucurella di perempat final dihukum, Jerman bisa jadi melangkah lebih jauh.

Namun, terlepas dari itu, performa mereka dianggap sebagai pijakan kukuh menuju Piala Dunia.

"Tidak ada alasan untuk melakukan perubahan besar karena kami punya lingkungan yang sangat baik dan fondasi ini sudah cukup kuat untuk dibangun ke depan," ujar Nagelsmann sambil berlinang air mata kala itu.

Hampir semua pihak sepakat. Toni Kroos resmi gantung sepatu, sementara Thomas Muller dan Manuel Neuer memainkan laga terakhirnya untuk Jerman. Namun, skuad yang tersisa tetap berpengalaman dan diperkirakan kian matang menuju 2026.

Jamal Musiala dan Florian Wirtz diprediksi memasuki periode emas. Kai Havertz tetap menjadi tumpuan di lini depan.

Joshua Kimmich dan Antonio Rudiger masih kuat sebagai tulang punggung, sementara Aleksandar Pavlovic, usai terbebas dari masalah amandel, dinanti untuk menjadi jangkar baru di lini tengah.

Harapannya, Jerman tampil sebagai perpaduan tepat antara para juara berpengalaman dan talenta kelas dunia yang sedang menanjak.

Namun, 18 bulan terakhir justru memperlihatkan hal sebaliknya. Tim ini pelan-pelan tersakiti oleh hasil buruk, nasib sial, dan serangkaian masalah kecil yang lama-lama menumpuk hingga mengusik kepercayaan para pendukung.

Sejak Euro 2024, sangat sedikit performa meyakinkan yang mereka tampilkan. Jerman memang lolos ke final Nations League, tetapi hanya berkat agregat 5-4 yang ceroboh melawan Italia yang tampil biasa-biasa saja, sebelum kemudian tumbang dari Portugal dan Prancis.

Grup kualifikasi yang diisi Irlandia Utara, Slovakia, dan Luksemburg semestinya memberi ruang unjuk dominasi, tetapi performa mereka tetap tak stabil hingga laga pamungkas di Leipzig.

Kekalahan 0-2 di Bratislava pada September menjadi titik nadir. Meski tak tersentuh kekalahan setelahnya dan hanya kebobolan satu kali, masalah lama kembali muncul: daya cipta yang tak konsisten, kerentanan menghadapi serangan balik cepat, serta kelemahan dalam mengantisipasi bola mati.

Grup yang relatif lemah memang tidak membuat masalah tersebut terlihat fatal, tetapi kembalinya persoalan yang dianggap sudah beres, jelas menurunkan optimisme.

Nagelsmann menerima banyak kritik, meski sebagian penurunan performa tim ini disebabkan hal-hal di luar kendali.

Musiala absen sejak cedera pergelangan kaki parah di Club World Cup, membuat lini serang Jerman kurang menggigit. Tim Kleindienst, penyerang jangkung Borussia Monchengladbach yang sempat menutup absennya Havertz, mengalami cedera lutut pada April dan tak kembali bermain.

Marc-Andre ter Stegen, yang seharusnya menjadi penerus Neuer, hanya tampil dua kali bagi Jerman pada 2025 akibat cedera lutut dan punggung.

Oliver Baumann dari Hoffenheim pun naik menjadi pilihan utama, tetapi isu seputar kemungkinan kembalinya Neuer membuat stabilitas tim kembali goyah.

Baumann tampil baik sepanjang musim gugur, termasuk satu penyelamatan penting saat skor masih 1-0 melawan Slovakia, tetapi perdebatan tentang Neuer tetap hidup dan diprediksi berlanjut hingga musim dingin.

Masalah lain muncul pada Wirtz. Di Jerman, respons media Inggris terhadap performanya bersama Liverpool dipandang berlebihan. Saat Gary Neville menyebut Wirtz "seperti anak kecil" dalam kekalahan 3-0 dari Manchester City, reaksi keras bermunculan dari media Jerman.

Padahal, kontribusinya kelak akan krusial bila Jerman ingin juara dunia. Kritik tanpa henti dari Inggris diyakini justru bisa menghambat perkembangan sang gelandang muda.

Sementara itu, beberapa keputusan Nagelsmann turut memicu perdebatan.

Ketika baru menjabat pada September 2023, ia disambut karena menerapkan meritokrasi: memanggil pemain seperti Maximilian Mittelstadt dan Chris Fuhrich, yang tampil di klub menengah, tetapi menunjukkan performa impresif, menggusur nama besar yang sedang menurun.

Kini, ia kerap dituduh kembali bermain aman. Pemanggilan Leroy Sane dan Leon Goretzka dalam skuad terbaru kurang mendapat sambutan positif, sementara keputusan tak memanggil Angelo Stiller (Stuttgart) dan Tom Bischof (Bayern Munich) memicu kekecewaan banyak pendukung.

Said El Mala, penyerang muda Koln yang sedang naik daun, awalnya dipanggil ke tim senior untuk beradaptasi. Ia diperkirakan mendapat debut sebelum musim berakhir. Namun, ia tak dimainkan melawan Luksemburg dan justru dikirim kembali ke tim U-21 jelang laga kontra Slovakia.

Keputusan itu tidak sepenuhnya salah. El Mala baru musim lalu dipinjamkan ke kasta ketiga dan hanya memiliki tiga starter di Bundesliga. Memberinya debut senior akan menjadi lonjakan karier yang terlalu cepat.

Namun, ia merupakan salah satu hal yang dinanti para pendukung di akhir tahun yang lesu. Tidak melihatnya melakoni debut membuat publik kehilangan sedikit kegembiraan yang tersisa.

Suara sumbang pun makin memanjang. Padahal, ada sejumlah perkembangan positif: debut gemilang Assan Ouedraogo, kebangkitan Ridle Baku, serta ketajaman Nick Woltemade.

Semua itu terjadi di era Nagelsmann. Bahkan performa Sane dan Goretzka saat melawan Slovakia justru mengonfirmasi kepercayaannya pada mereka.

Namun, ketegangan dalam percakapan seputar tim ini sesungguhnya menggambarkan posisi Jerman saat ini. Inilah yang biasanya terjadi pada negara besar di antara dua turnamen besar.

Mereka menguliti diri sendiri, memperdebatkan hal-hal kecil, dan melihat bayang-bayang persoalan. Mereka mencemaskan skenario terburuk dan membayangkan lawan-lawan tangguh yang siap mengeksploitasi setiap celah.

Kecemasan itu makin terasa di Jerman, mengingat luka dari dua Piala Dunia terakhir, tersingkir di fase grup pada 2018 dan 2022, belum benar-benar sembuh.

Bagaimanapun, mereka kini mendapat kesempatan untuk menebus itu semua. Seberapa jauh Jerman bisa melangkah? Tak perlu dijawab sekarang. Semua akan terungkap musim panas mendatang.

Sumber: The Athletic - NY Times