Sukses


Mourinho-Ranieri dan Nasib Chelsea di Jurang Degradasi

Bola.com — Dalam diri manajer Chelsea, Jose Mourinho, tidak jelas antara batas angan-angan dan kenyataan. Baginya, mimpi dan angan-angan selalu bisa menjadi kenyataan. Karena hal itulah, julukan "Special One" disematkan kepada manajer asal Portugal tersebut. 

Namun, Mourinho kini seakan tak lagi spesial, mengacu berbagai hasil buruk Chelsea di ajang Premier League 2015-16. Teranyar, kekalahan 1-2 dari Leicester, di Stadion King Power, Senin (14/12/2015), membuat Chelsea hanya terpaut satu poin lagi dari zona degradasi.

Kemenangan Leicester ditentukan gol Jamie Vardy pada menit ke-34 dan Riyad Mahrez (48'). Sementara itu, Chelsea baru dapat memperkecil kedudukan berkat torehan Loic Remy.

Ekspresi kiper Chelsea, Thibaut Courtois, setelah gawangnya dibobol striker Leicester, Riyad Mahrez, pada laga lanjutan Premier League, di King Power Stadium, Senin (14/12/2015).

Menurut catatan Premier League, sepanjang pertandingan, Chelsea hanya melepaskan tiga tembakan titis dari lima percobaan, dengan penguasaan bola 65 persen. Adapun Leicester menciptakan lima peluang emas dari delapan usaha.

Bagi Chelsea, hasil ini adalah kekalahan kesembilan dari 16 laga Premier League musim ini. Terakhir kali Chelsea mengalami situasi tersebut terjadi pada 36 tahun silam, dan kala itu The Blues terdegradasi. 

Sebaliknya, bagi Leicester, kemenangan ini kembali memantapkan posisi mereka di puncak klasemen sementara. Skuat asuhan Claudio Ranieri tersebut berada di peringkat pertama dengan poin 35, atau unggul dua angka dari Arsenal di posisi kedua dengan perolehan poin 33.

Ranieri

Hasil tersebut kembali memunculkan nama Mourinho dan Ranieri di halaman depan media-media Inggris. Maklum, keduanya sempat mengisi pemberitaan utama, ketika Mourinho didaulat menjadi pelatih Chelsea menggantikan posisi Ranieri pada 31 Mei 2004.

Di saat Mourinho meniti karier bersama Chelsea, Ranieri memutuskan bergabung dengan Valencia. Bersama skuat Kelelawar Mestalla, pelatih asal Italia itu mempersembahkan Piala Super Eropa 2004 usai menang 2-1 atas Porto, yang dilatih oleh suksesor Mourinho, Victor Vernandez.

Setelah dipecat karena Valencia menuai hasil buruk pada musim berikutnya, Ranieri kemudian melanjutkan kiprah bersama Parma (2007), Juventus (2007-2009), AS Roma (2009-2011), Inter Milan (2011-2012), AS Monaco (2012-2014), dan tim nasional Yunani (2014).

Sementara itu, Mourinho menuai kesuksesan di Inggris setelah berhasil merebut gelar Premier League pada 2005 dan 2006, sekaligus mematahkan dominasi Manchester United. Meski sempat berkarier bersama Inter Milan dan Real Madrid, Mourinho kembali ke Stamford Bridge pada 2013.

Claudio Ranieri saat resmi menjabat sebagai pelatih Leicester City. (BBC).

Dua tahun berikutnya, giiran Ranieri kembali ke Premier League untuk menangani Leicester. Pelatih berusia 64 tahun itu pun sukses meramu skuat The Foxes dengan sangat baik, meski hanya dengan mengandalkan pemain-pemain "kelas dua" seperti Jamie Vardy dan Mahrez.

Alhasil, hingga pekan ke-16, Leicester secara mengejutkan mampu bertengger di puncak klasemen Premier League. Performa mereka pun cukup impresif karena sejak ditekuk Chelsea 1-3 pada April 2015, Leicester hanya baru sekali menelan kekalahan 2-5 dari Arsenal, 26 September.

Leicester akhirnya sukses balas dendam kepada Chelsea pada 14 Desember. Toh, kemenangan mereka semakin menegaskan, segalanya bisa terjadi dalam sepak bola. Maklum, memutar kembali ingatan pada 14 Desember 2014, Leicester paham betul rasanya berjuang keluar zona degradasi karena berada di peringkat ke-16, sementara di sisi lain, Chelsea nyaman bercokol di puncak klasemen Premier League 2014-15.

Degradasi

Di balik persaingan itu, ada cerita menarik di dalam autobiografi Ranieri berjudul Proud Man Walking (2013). Cerita mengenai perbincangan singkat Ranieri dengan pemilik Chelsea, Roman Abramovich. Setelah menang 1-0 atas Leeds United pada laga terakhir musim 2003-04, para pemain Chelsea, staf pelatih, dan petinggi klub menggelar perjamuan makan malam.

Pada kesempatan itu, Abramovich menghampiri Ranieri. "Jadi, kapan para pemain bisa kembali ke performa terbaiknya?" tanya pengusaha asal Rusia itu. Ranieri pun tersenyum dan hanya menjawab singkat, "Ketika ada pelatih baru yang mereka inginkan." Keduanya sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya larut dalam tawa.

Manajer Leicester City, Claudio Ranieri, pada pertandingan melawan Chelsea, di Stadion King Power, Senin (14/12/2015). (Telegraph)

Dua pekan berselang, Chelsea memecat Ranieri dan mengumumkan perekrutan Mourinho. "Tolong jangan sebut saya arogan. Namun, saya adalah juara Eropa dan, menurut saya, saya adalah 'The Special One'," lantang Mourinho, saat jumpa pers perkenalan di Stamford Bridge.

Namun, kini ucapan Mourinho tersebut kiranya bakal memunculkan pertanyaan: Apa yang ada di benak Mourinho saat berjabat tangan dengan Ranieri lalu berjalan menyusuri lorong ganti stadion usai laga Leicester melawan Chelsea?

Melihat berbagai hasil buruk yang dituai Chelsea hingga pekan ke-16, jawabannya pun bisa jadi, Mourinho sekarang berpikir sama seperti Ranieri saat pertama kali mengemban tugas melatih Leicester, yaitu bagaimana cara menyelamatkan timnya agar tidak terdegradasi.

Sumber: Berbagai sumber

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, Liga Italia, dan Liga Prancis dengan kualitas HD di sini

                                                      This video is presented by ballball

Video Populer

Foto Populer