Akankah Musim Ini Jadi Tarian Terakhir Pep Guardiola Bersama Man City?

Andai jalan ceritanya berbeda, Guardiola mungkin sudah menikmati pensiun di Maladewa atau Portugal. Ia memilih bertahan, terutama karena awal musim lalu begitu sulit, hanya musim kedua tanpa trofi sejak ia datang.

Guardiola tak ingin meninggalkan Man City dalam kondisi kacau. Ia juga sadar pergantian pelatih lebih mudah dilakukan pada musim panas tanpa beban tambahan Piala Dunia Antarklub.

Guardiola akhirnya memperpanjang kontrak hingga 2027. Namun, tugas membangun tim juara baru kali ini terasa berbeda.

Dari skuad yang menjuarai Liga Champions 2023 di Istanbul, 15 pemain, termasuk Kevin De Bruyne, Ederson, Kyle Walker, dan Ilkay Gundogan, kini sudah hengkang atau tersisih.

Selain kehilangan banyak pilar, Guardiola harus menyesuaikan diri dengan perubahan peta kekuatan Premier League.

Ia sempat menyinggung kebangkitan tim-tim seperti Newcastle, Bournemouth, dan Brighton dengan menyatakan, "Sepak bola modern bukan lagi soal posisi, tapi soal mengikuti ritme."

Komentar itu terasa janggal dari sosok yang membangun reputasi dengan sistem posisi dan pergerakan yang kaku.

Bahkan setelah tersingkir dari Real Madrid di Liga Champions Februari lalu, ia berkata, "Taktik saya tidak lagi bekerja seperti dulu."

Kendati berulang kali menegaskan tidak akan mengubah keyakinannya soal "seribu, sejuta operan", Guardiola tampak mulai menerima bahwa ia harus beradaptasi.

Musim ini, ia mencoba menggabungkan gaya kontrol khasnya dengan pressing tinggi dan serangan cepat, mencerminkan tren di liga.

Satu di antara alasan ia merekrut Pep Lijnders sebagai asisten adalah karena sang pelatih asal Belanda dianggap kunci dalam membentuk gaya heavy metal football Jürgen Klopp di Liverpool.

Namun, eksperimen ini tidak mulus. Setelah membuka musim 2025/26 dengan kemenangan 4-0 di markas Wolves, Man City justru kalah di dua laga berikutnya.

Baik Tottenham maupun Brighton mencetak gol hampir serupa, memanfaatkan celah besar di lini belakang akibat garis pertahanan tinggi yang dipengaruhi Lijnders.

Kelemahan itu pasti sudah dipelajari Ruben Amorim, pelatih Manchester United, jelang derbi di Etihad akhir pekan ini.

Man City memulai laga satu poin dan empat peringkat di bawah rival sekota. Mereka juga tertinggal enam poin dari juara bertahan Liverpool, yang kini diperkuat striker baru 125 juta paun, Alexander Isak.

Sejarah pun tak berpihak. Sejak MU musim 1992/93, belum ada tim yang kalah dua dari tiga laga awal lalu tetap keluar sebagai juara liga.

Bagi Guardiola, jarak ini sudah cukup lebar untuk dikejar jika ingin kembali merebut trofi yang ia menangkan enam kali dalam tujuh musim terakhir.

Guardiola masih punya kontrak dua tahun, tetapi prediksi soal masa depannya selalu sulit ditebak.

Di internal City Football Academy, ada yang yakin musim ini bisa jadi yang terakhir. Ada pula yang percaya pelatih berusia 54 tahun itu bisa diyakinkan memperpanjang kontrak lagi, tergantung energi yang tersisa serta hubungan kerjanya dengan direktur sepak bola baru, Hugo Viana, pengganti sahabat lamanya, Txiki Begiristain.

Apa pun yang terjadi, manajemen Man City sudah lama sepakat Guardiola berhak menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia pergi. Ia bahkan mengakui musim lalu buruk bagi standar Man City, dan di klub top lain mungkin ia sudah dipecat.

Sir Alex Ferguson menutup 26 tahun bersama MU dengan gelar liga pada 2013. Guardiola, dengan pencapaiannya di Man City, dianggap layak mendapat akhir yang sama.

Untuk itu, ia harus kembali merajut sebuah tim besar yang mampu bersaing di era baru Premier League.

Tantangan berikutnya menanti, mungkin yang terakhir dalam perjalanan panjangnya bersama Man City.

Sumber: Man City